Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
ADVERTISEMENT
Semua hal perlu diuji sebelum dipuji. Begitulah yang seharusnya juga diterapkan pada klaim-klaim Dwi Hartanto, mahasiswa doktoral asal Indonesia di Universitas Teknik Delft (TU Delft), Belanda, atas sederet karya dan prestasi spektakuler yang ia klaim di bidang teknologi satelit dan pengembangan roket.
ADVERTISEMENT
Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin, mengatakan ketika ada klaim dari seorang peneliti bahwa ia menciptakan suatu teknologi, maka kolega-kolega terdekat dari peneliti tersebut perlu dikonfirmasi.
“Kalau itu dari (mahasiswa) TU Delft, ya mestinya kan dia bukan satu-satunya mahasiswa di sana. Mungkin (bisa dikonfirmasi) dari alumninya atau mahasiswa lain yang sedang sekolah di sana,” kata Thomas saat ditemui kumparan di kantornya, Jakarta, pekan lalu.
Selain itu, imbuh Thomas, perlu mengonfirmasi lembaga terkait yang topiknya berhubungan dengan karya peneliti. “Kalau itu klaim-klaim yang terkait dengan penerbangan dan antariksa, ya bisa dikonfirmasi ke lembaga terkait, misalkan LAPAN, apakah betul klaim-klaim tersebut.”
Kebohongan Dwi yang baru ramai terbongkar pada Oktober 2017 ini, setelah ia sendiri merilis surat klarifikasi dan permohonan maaf, bermula saat dia mengunggah sejumlah foto dan tulisan di media sosialnya pada Juni 2015 lalu yang menyebutkan keberhasilannya menciptakan dan meluncurkan roket The Apogee Ranger V7s (TARAV7s).
ADVERTISEMENT
Klaim-klaim bohong Dwi itu kemudian ditangkap dan diberitakan sejumlah media tanpa lebih dulu mengonfirmasi pihak-pihak terkait.
Setelah banyak media mengutip klaim-klaim tersebut sebagai berita yang memopulerkan namanya, Dwi kemudian membuat sederet kebohongan lain hingga tahun 2017. Hingga pertengahan tahun ini, masih banyak media yang memberitakan prestasi-prestasi terbaru Dwi yang sebenarnya hanya karangan semata.
Bersama Thomas, kumparan mendiskusikan klaim-klaim ilmiah yang pernah dibuat oleh Dwi. Secara sains, apakah klaim-klaim tersebut memang masuk akal?
Tahun 2017 ini, Dwi sempat mengklaim pernah melakukan penelitian berjudul Lethal Weapon in the Sky (Senjata Mematikan di Angkasa). Riset soal pesawat tempur generasi ke-6 itu ia klaim telah mengantarkan ia dan timnya memenangi kompetisi riset teknologi dunia antar-Badan Antariksa di Köln, Jerman.
ADVERTISEMENT
Klaim Dwi tersebut kemudian dijadikan berita oleh sejumlah media di tanah air.
Dalam analisisnya, Thomas menyebut judul Lethal Weapon in the Sky cenderung seperti istilah di dalam science fiction (fiksi ilmiah). Menurutnya, dalam bidang teknologi terkait persenjataan, senjata mematikan seperti yang diklaim Dwi biasanya bersifat rahasia.
“Apalagi ini diumum-umumkan. Jadi saya kira itu sesuatu yang bukan pada tempatnya,” kata Thomas.
Terkait riset tersebut, Dwi mengklaim pesawat tempur generasi ke-6 yang sedang dikembangkan dia dan timnya menggunakan teknologi hybrid air-breathing rocket engine. Teknologi tersebut, ia klaim, memungkinkan pesawat melesat hingga ketinggian 300 kilometer.
Pada titik ini, menurut Thomas, ketinggian 300 kilometer sesungguhnya sudah termasuk ke dalam wilayah ruang antariksa. Maka teknologi yang digunakan pun seharusnya teknologi antariksa, bukan pesawat tempur.
ADVERTISEMENT
“Jadi kalau sekadar pesawat tempur, biasanya hanya sampai ketinggian stratosfer. Ketinggian stratosfer itu hanya sekitar belasan kilometer sampai 20-an kilometer,” ujarnya.
Kembali pada klaim Dwi, lelaki 35 tahun itu mengatakan dalam pesawat tempur yang dikembangkan timnya terdapat teknologi temur mode baru, yakni electromagnetic radar jamming yang mampu mengacaukan dan merusak sistem avionik pesawat musuh.
Dwi mengklaim teknologi itu sudah diuji coba dan mampu mengacaukan radar Sukhoi Su-35 Rusia, dan F-22 Raptor serta F-15 Eagle buatan AS.
Menurut Thomas, sebenarnya teknologi dalam pesawat tempur yang mampu mengacaukan atau mematikan radar pesawat lawan, adalah teknologi yang sudah biasa. Sudah banyak sistem kendali pengacau radar terprogram (computerized) yang dibuat oleh beberapa negara.
“Masing-masing negara itu membuat atau menyempurnakan sistem mereka (yang sudah ada sebelumnya). Tetapi saya kira ini juga tidak akan diumbar ke media seperti itu,” kata Thomas.
ADVERTISEMENT
Jadi, imbuh Thomas, lagi-lagi adalah suatu kejanggalan jika Dwi kemudian menyampaikan sesuatu yang umumnya bersifat rahasia. Sebab, teknologi militer adalah teknologi yang biasanya memang dirahasiakan.
Terlepas dari bidang penelitian yang diklaim Dwi bersifat rahasia, Thomas mengatakan umumnya setiap peneliti hidup dalam dunia sunyi karena ingin sungguh-sungguh mengerjakan sesuatu untuk menghasilkan suatu karya.
Menurutnya, tidak pada tempatnya jika ada peneliti yang mempromosikan temuannya secara berlebihan seperti yang dilakukan Dwi lewat media sosialnya. Sebab, temuan ilmiah umumnya dipromosikan melalui publikasi-publikasi dalam jurnal atau konferensi ilmiah.
“Bahwa kemudian nanti karyanya itu memberikan manfaat, biarlah komunitas ilmiah yang memberikan apresiasi. Kalau itu kemudian memberikan manfaat kepada publik, biarlah publik yang nantinya mengapresiasi,” ujar Thomas.
ADVERTISEMENT
Apa yang telah terjadi--kebohongan Dwi yang disokong pemberitaan tanpa klarifikasi--harus menjadi pelajaran serius agar tak terulang.