Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
‘Zombie Unicorn’ bukanlah sebuah kondisi perusahaan rintisan atau startup bergelar unicorn sedang diserbu kawanan zombi. Istilah ini muncul sebagai representasi startup yang memiliki valuasi nilai yang besar namun sedang dalam kondisi goyah. Beberapa perusahaan startup di Silicon Valley tercatat mengalami keterpurukan tahun ini.
ADVERTISEMENT
Dikutip NBC News, startup dengan julukan zombie unicorn adalah mereka yang membutuhkan investor baru dalam pendanaan perusahaan. Meski begitu, startup yang sedang dalam kondisi tersebut tidak akan tutup.
Saham perusahaan zombie ini anjlok. Sebagai contoh, harga saham Peloton, startup olahraga yang bernaung di Silicon Valley , turun drastis. Saham Peloton yang tercatat mencapai 163 dolar AS pada 2020 turun menjadi sekitar 17 dolar AS pada 5 Mei lalu.
“Mereka tidak berarti apa pun untuk banyak investor (di tahap selanjutnya), setidaknya hingga orang-orang ekuitas swasta muncul,” jelas Justin.
David Sacks, seorang Venture Capitalist dan mantan eksekutif PayPal mengungkapkan adanya fenomena ‘zombie unicorn’ karena adanya sentimen negatif dari para investor di Silicon Valley.
ADVERTISEMENT
“Sentimen investor di Silicon Valley merupakan paling terburuk sejak kehancuran dot-com,” ucap Sacks.
Sebagai catatan, peristiwa kehancuran dot-com atau dikenal dengan dot-com bubble merupakan tragedi kelam perusahaan teknologi pada awal 2000. Tercatat banyak bursa saham di negara industri yang naik tajam secara ekuitas yang memicu tumbuhnya industri berbasis teknologi.
Banyak perusahaan di masa itu meraih kesuksesan secepat kilat. Namun, mereka pun hilang dan bangkrut tak lama setelah didirikan. Akibat fenomena tersebut, rata-rata saham perusahaan teknologi di masa itu turun hingga 75 persen.
Seorang investor teknologi, Zach Coelius, pun menyebut sentimen investor di Silicon Valley telah terjadi sejak awal tahun. Kondisi itu, menurutnya, ikut diperburuk oleh kenaikan suku bunga Amerika dan pasar saham publik.
ADVERTISEMENT
Dan Primack, melalui tulisannya di laman Axios mengungkapkan, perusahaan zombie memiliki tantangan di masa mendatang. Ia menyebutkan, menjaga moral karyawan bagi perusahaan zombie menjadi suatu keharusan terlebih saat mereka terbiasa dengan peningkatan nilai ekuitas perusahaannya.
Selain itu, Primack juga menjelaskan perusahaan zombie tidak perlu mementingkan opsi saham saat merekrut talenta baru.
“Banyak dari perusahaan teknologi yang tidak mengira kepercayaan investor dari modal ventura akan melambat,” ucap Primack.
Akibatnya, perusahaan pun banyak yang harus melewati gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), beberapa waktu terakhir.
Beberapa perusahaan rintisan di Silicon Valley dilaporkan telah menjadi ‘zombie unicorn’. Perusahaan di bidang e-commerce, Thrasio, telah menghentikan sekitar 20 persen karyawannya. Hal itu pun diikuti oleh GoPuff, startup yang melayani jasa pengiriman barang serta makanan secara instan, memangkas 3 persen dari jumlah karyawannya.
ADVERTISEMENT
Senada dengan dua perusahaan sebelumnya, Robinhood. Perusahaan dengan latar belakang fintech itu harus merelakan 9 persen karyawannya demi tetap bisa beroperasi.
Bahkan sekelas Netflix pun melakukan PHK pada beberapa karyawannya, termasuk karyawan di Tudum. Kurang lebih ada sekitar 25 orang termasuk di dalamnya manajer editorial yang di-PHK oleh Netflix.
Meski begitu, Netflix mengungkapkan jika Tudum tidak akan ditutup.
“Laman penggemar kami, Tudum adalah prioritas penting bagi perusahaan,” ujar juru bicara Netflix yang dikutip dari Tech Crunch.