Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Negara Antariksa Asgardia: Realitas Masa Depan atau Mimpi Belaka?
27 Juli 2017 14:52 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
ADVERTISEMENT
Pernahkah anda membayangkan hidup di sebuah ruang hampa udara dan melayang-layang di antariksa? Setidaknya 5.183 orang dari berbagai wilayah di Indonesia membayangkan hal tersebut. Mereka tercatat mendaftar sebagai warga negara antariksa pertama, Asgardia.
ADVERTISEMENT
Namun mungkinkah manusia, yang didesain untuk hidup di Bumi, mampu bertahan dan melanjutkan kehidupan di antariksa dalam sebuah benda raksasa--stasiun antariksa Asgardia?
Kemungkinan selalu ada. Toh selama ribuan tahun, manusia telah membuktikan bahwa apa yang mereka anggap sebagai batas, selalu bisa diatasi--terus-menerus--sehingga membuat mereka berani berucap, “peradaban semakin maju”.
Limit itu seakan terus mundur ke belakang, dan manusia belum berhenti memaksimalkan akal budinya.
Penelitian puluhan tahun para ilmuwan tentang alam semesta bahkan menghasilkan misi begitu ambisius: mencari rumah lain bagi umat manusia selain di planet Bumi.
Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan mendorong banyak orang untuk optimistis akan adanya kemungkinan itu terjadi di masa depan.
Saat peluncuran Asgardia pada Oktober 2016, Independent menulis bahwa proyek tersebut diharapkan memiliki tujuan untuk melindungi kemanusiaan dari bahaya antariksa, dan melindungi antariksa dari bahaya kemanusiaan. Berat betul harapan itu.
ADVERTISEMENT
“Esensi dari Asgardia adalah kedamaian di antariksa, dan pencegahan konflik-konflik Bumi dipindahkan ke antariksa. Asgardia juga unik dari aspek filosofis--untuk melayani seluruh umat manusia dan setiap orang, terlepas dari kesejahteraan pribadinya dan kemakmuran negara tempat mereka dilahirkan,” kata Dr. Igor Ashurbeyli, 13 Oktober 2016.
Tak sedikit orang justru mengolok-olok misi tersebut. Sebagian mempertanyakan kenapa untuk melindungi kemanusiaan kok jauh-jauh amat mesti ke atas nun jauh di sana yang justru tidak ada manusianya.
Ada pula argumen yang menyebut bahwa bahaya terbesar yang mengancam kemanusiaan justru manusia itu sendiri. Misalnya karena pemanasan global, kelaparan, dan perang nuklir.
Terlepas dari itu semua, Deputi Bidang Sains Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Afif Budiyono berpendapat, membangun kehidupan di antariksa masih sekadar angan.
ADVERTISEMENT
“Kalau menurut saya, itu baru sekadar mimpi-mimpi para ilmuwan,” ujar Afif kepada kumparan, Kamis (27/7).
Ia sendiri belum bisa membayangkan bagaimana bentuk negara antariksa tersebut. Paling tidak, kata dia, kemungkinan akan seperti International Space Station (ISS)--benda raksasa yang melayang-layang di lautan semesta dan menjadi rumah sementara bagi para astronot.
Para astronot yang melakukan penelitian di angkasa memang bisa bertahan hidup di ISS, namun hanya selama beberapa waktu, bukan selamanya. Sebab salah satu persoalannya ialah pemenuhan logistik pangan.
Bagaimanapun, makanan tetap dipasok dari Bumi. Semisal, mau berkebun di mana di angkasa raya? Itu hanya satu contoh sederhana.
Artinya, jika negara antariksa Asgardia ingin membangun kehidupan manusia secara berkelanjutan di dalamnya, salah satu tantangan utamanya ialah cara memenuhi kebutuhan perut manusia--misalnya untuk sekitar 500 ribu orang yang sudah mendaftar sebagai warga negara imajiner tersebut.
ADVERTISEMENT
ISS sendiri merupakan proyek keilmuan dan mesin internasional yang paling kompleks, dengan struktur paling besar dalam sejarah manusia. Untuk membuat ISS saja membutuhkan biaya 100 miliar dolar AS dan melibatkan sekitar 15 negara.
Ide untuk melakukan koloni di orbit Bumi sebenarnya sudah pernah dicetuskan oleh NASA. Dilansir Daily Mail, seorang pakar kontraktor dan permukiman NASA, Dr. Al Globus mengatakan, membuat koloni di orbit Bumi merupakan langkah logis. Ia bahkan menyebut umat manusia bisa memiliki habitat mengambang yang mengorbit Bumi pada akhir abad ini.
“Apakah (permukiman antariksa) akan terwujud atau tidak, sulit untuk dikatakan. Apakah itu akan terjadi, tentu saja,” kata Globus pada 2015.
“Jika kita menginginkan untuk melakukan itu, kita bisa melakukannya. Kita punya kapabilitas keilmuan, finansial. Tidak ada pertanyaan kenapa kita tidak bisa melakukannya. Jika tidak ada bencana besar melanda dalam beberapa abad kemudian, saya akan tercengang jika kita tidak bisa melakukannya,” ujar Globus.
ADVERTISEMENT
Globus menyebut permukiman di antariksa dapat diwujudkan dalam hitungan dekade, bukan abad. Permukiman antariksa itu, menurutnya, tentu akan berukuran besar--bayangkan perbandingannya dengan besarnya teritori sebuah kota.
Namun, menurut Globus, ada beberapa kendala dalam membuat permukiman antariksa, dan itu mesti diatasi sebelum manusia bisa hidup di tengah alam raya niroksigen.
Kendala pertama adalah biaya yang begitu mahal. Untuk membuat ISS saja dibutuhkan sekitar 100 miliar dolar AS. Itu pun ISS hanya untuk kepentingan penelitian dan rumah sementara bagi 6 astronot setiap kali penggarapan proyek.
Kedua, terkait berbagai perlengkapan pendukung kehidupan. Sebuah permukiman antariksa benar-benar perlu membangun kemandirian dalam mengadakan bahan pangan dan energi untuk menjalankan seluruh teknologi penopang kehidupan.
Anda bisa membayangkan, semua yang biasanya mudah kita lakukan di Bumi--dengan ketersediaan tanah, air dan sebagainya, akan tidak sama mudahnya dilakukan di permukiman angkasa.
ADVERTISEMENT
“Jika anda ingin bertahan dalam jangka panjang sebagai peradaban, anda memerlukan lebih dari satu keranjang untuk memasukkan telur anda. Kami menginginkan basis mandiri di luar angkasa atau di dunia lain. Alternatifnya adalah diam saja semua berbaring dan mati, atau apakah kita ingin manusia eksis?” ujar David Rothery, profesor geosains bidang keplanetan, dilansir Independent.
Sebuah koloni antariksa juga memerlukan perisai radiasi untuk melindunginya dari sinar kosmik dan matahari yang berbahaya.
Untuk saat ini, kata Rothery, perlu diakui bahwa teknologi dan infrastuktur masih belum memadai untuk membangun permukiman antariksa. Tetapi Globus percaya diri bahwa itu akan terjadi cepat atau lambat.
“Dalam dua atau tiga dekade, mungkin kita akan memiliki beberapa hotel kecil di orbit, dan orang-orang akan berpindah ke sana dalam waktu yang reguler,” kata dia.
ADVERTISEMENT
Dari semua biaya yang diperlukan itu, konsekuensi logisnya tentu setiap orang yang bermukim di sana akan dikenakan biaya sangat tinggi.
Ada persoalan lain lagi, secara khusus, untuk merealisasikan negara antariksa Asgardia. Sampai saat ini belum ada hukum internasional yang mengatur pendirian sebuah entitas negara di antariksa. Yang ada hanya mengatur tentang negara peluncur objek antariksa.
Jadi, keinginan pemimpin Asgardia, Igor Ashurbeyli, untuk bergabung dalam keanggotaan PBB belum terakomodasi hukum internasional--meski sampai saat ini Asgardia belum memiliki wujud riil di antariksa. Pun hukum soal koloni antariksa hingga kini masih menjadi debat panjang para ilmuwan.
Terkait ucapan Ashurbeyli bahwa seluruh manusia yang tinggal di Bumi boleh menjadi warga negara Asgardia, hal ini jelas akan bertubrukan dengan negara-negara yang tidak menganut sistem dwikewarganegaraan. Contohnya Indonesia yang tak mengakui kewarganegaraan ganda.
ADVERTISEMENT
Maka semua warga negara Indonesia yang berjumlah sekitar 5.183 yang sudah mendaftar menjadi warga negara Asgardia, otomatis harus menggugurkan kewarganegaraan Indonesianya, jika Asgardia memang sudah diakui sebagai negara nanti--terlepas dari apa alasan mereka bergabung ke negara antariksa ciptaan ilmuwan dan pebisnis Rusia Igor Ashurbeyli itu.
“Saya tidak tahu persis apa motivasi mereka. Mungkin hanya penasaran dengan luar angkasa,” ujar Afif Budiyono.
Akhirnya, negara antariksa Asgardia maupun permukiman antariksa sampai hari ini masih angan semata.
Manusia sebagai makhluk yang barangkali dikodratkan sebagai penjelajah, memang tak pernah berhenti untuk mencoba membuat sesuatu yang baru dan menyusuri tempat-tempat yang belum dijamah.
Tapi bagaimanapun, Bumi masih menjadi tempat yang mungkin paling baik bagi manusia dan perlu dijaga manusia, seraya mereka menjaga kemanusiaan itu sendiri.
ADVERTISEMENT