Pasar Smartphone Indonesia Dikuasai Brand Asing, ke Mana Brand Lokal?

3 Desember 2019 15:49 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Advan G2 Pro. Foto: Aulia Rahman Nugraha/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Advan G2 Pro. Foto: Aulia Rahman Nugraha/kumparan
ADVERTISEMENT
Pasar smartphone Indonesia pada 2019 dikuasai oleh produsen-produsen asing. Perusahaan asal China seperti Oppo, Xiaomi, Vivo, dan Realme, serta raksasa teknologi asal Korea Selatan, Samsung, silih berganti menduduki posisi lima teratas vendor smartphone dengan pangsa pasar terbesar di Indonesia selama 2019.
ADVERTISEMENT
Dari peringkat ini, kita melihat fenomena di mana brand-brand lokal gagal bersaing dan menembus posisi lima besar. Padahal, sebelumnya Advan menjadi salah satu brand lokal terdepan di Indonesia dan sempat menembus posisi lima besar pangsa pasar terbesar.
Menurut Risky Febrian, seorang analis dari firma intelijen pasar IDC, kemunduran brand lokal disebabkan oleh tidak tersedianya segmen pasar yang benar-benar mereka kuasai. Sejak masuk ke Indonesia pada 2016-2017, beberapa produsen smartphone China sangat agresif untuk memasarkan produk di segmen mid-range (200-400 dolar AS) dan low-end (100-200 dolar AS). Hal ini membuat produsen lokal sulit untuk berkompetisi di kedua segmen tersebut dan menggeser fokus mereka ke produk smartphone di segmen ultra low-end (kurang dari 100 dolar AS).
ADVERTISEMENT
“Namun, beberapa kuartal terakhir, brand besar seperti Xiaomi, Realme, dan Samsung juga mulai agresif di segmen ultra low end tersebut. Menawarkan produk dengan spesifikasi yang jauh lebih unggul dibandingkan produk dari brand lokal,” ungkap Risky, kepada kumparan, Senin (2/12).
Pedagang ponsel di ITC Roxy Mas, Jakarta. Foto: Bianda Ludwianto/kumparan
“Hal ini menyebabkan posisi brand lokal makin tertekan dan kesulitan untuk berkompetisi di pasar smartphone, hingga akhirnya belakangan ini para brand lokal mulai merambah bisnis di produk lain seperti smart TV, smart home, dan wearable device,” sambungnya.
Senada dengan Risky, menurut Lucky Sebastian, pengamat gadget yang terkenal dengan akun @gadtorade, brand lokal kalah bersaing dengan brand China untuk menyediakan smartphone murah. Pasalnya, brand dari China punya jumlah dan pemasaran yang sudah global, sehingga mereka punya sumber daya yang mencukupi untuk membuat smartphone murah dengan spesifikasi yang mumpuni.
ADVERTISEMENT
“Faktor terpenting dari smartphone kategori mid to low-end, bagi pembeli tidak ada yang namanya brand loyality. Mereka cenderung hanya melihat harga. Siapa yang bisa memberikan harga terbaik dengan spesifikasi yang mirip, itu yang dipilih,” ungkap Lucky.
“Harga yang cenderung terjangkau, spesifikasi yang bagus, nama yang semakin dipercaya, akhirnya membuat banyak pembeli memilihnya (brand China) dibanding brand lokal,” imbuhnya.
Suasana gerai smartphone di Roxy, Jakarta Pusat, Selasa (26/11). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Lantas, apa yang perlu dilakukan oleh brand lokal di tengah gebrakan brand China? Menurut Risky, brand lokal dapat memperpanjang napas mereka dengan tak bergantung hanya pada produk smartphone. Dalam hal ini, brand lokal bisa mengeluarkan produk smart home, smart TV, ataupun wearable devices.
Adapun Lucky punya saran yang berbeda. Menurutnya, brand lokal dapat bersaing dengan vendor asing selama mereka dapat mem-branding diri mereka sendiri. Caranya adalah dengan memberikan gebrakan teknologi dan spesifikasi yang lebih ketimbang produk yang ditawarkan brand asing.
ADVERTISEMENT
“Tidak perlu spesifikasi yang merata, tetapi fokus di sisi spesifikasi yang dianggap penting oleh konsumen, misal kemampuan kamera,” jelas Lucky. “Mungkin saja brand lokal bisa kolaborasi dengan brand teknologi kamera kenamaan atau yang lebih terjangkau ‘tuning’ bersama dari sisi software dengan fotografer kenamaan.”