Penangkapan CEO Telegram Pavel Durov di Prancis Memicu Pro - Kontra

28 Agustus 2024 10:44 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pendiri sekaligus CEO Telegram, Pavel Durov Foto: Muhammad Fikrie/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pendiri sekaligus CEO Telegram, Pavel Durov Foto: Muhammad Fikrie/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Penangkapan Pavel Durov, CEO Telegram, di Prancis memicu perdebatan soal batasan kebebasan berbicara di dunia maya. Bagaimana perusahaan bertanggung jawab atas konten di aplikasinya juga menjadi topik diskusi yang sengit.
ADVERTISEMENT
Durov ditangkap di bandara Paris pada 24 Agustus 2024. Penahanan ini langkah awal dari penyelidikan polisi karena Telegram dinilai kurang tegas dalam moderasi konten yang bisa memicu aksi kriminal.
Pemerintah Prancis menyebut Telegram menolak bekerja sama dengan otoritas dalam upaya menghentikan penyebaran konten pornografi anak, narkoba, dan pencucian uang di platformnya. Presiden Prancis, Emmanuel Macron, mengeklaim tidak ada motif politik di balik penahanan Durov.
Penangkapan Durov memicu reaksi keras dari beberapa pihak yang mengecam tindakan pemerintah Prancis melampaui batas. Edward Snowden, mantan kontraktor intelijen AS, misalnya, menilai penahanan itu sebagai serangan terhadap hak asasi manusia untuk berbicara dan berasosiasi.
"Saya terkejut dan sangat sedih bahwa Macron telah turun ke tingkat penyanderaan sebagai sarana untuk mendapatkan akses ke komunikasi pribadi. Ini tidak hanya merugikan Prancis, tetapi juga dunia," katanya di akun X (dulu Twitter) pribadinya.
ADVERTISEMENT
Pemilik media sosial X, Elon Musk, juga ikut bersuara dengan tagar '#FreePavel'. Begitu pun dengan pendiri blockchain Ethereum, Vitalik Buterin, yang bilang penahanan Durov membuat khawatir masa depan software dan kebebasan berbicara di Eropa.
Beberapa pengguna di media sosial juga khawatir penangkapan ini membuat pemerintah semakin berani untuk mengadili CEO perusahaan teknologi karena gaal menyerahkan data pengguna. Ini bisa menyebabkan efek mengerikan, dengan platform terlalu memoderasi konten karena takut dituntut secara pidana.
“Menuntut platform bertanggung jawab atas ujaran pengguna akan mendorong mereka untuk lebih berhati-hati dengan menghapus konten apa pun yang dapat menimbulkan masalah hukum, meskipun itu sah,” kata Aaron Terr, direktur advokasi publik untuk Foundation for Individual Rights and Expression (FIRE), kepada TIME.
ADVERTISEMENT
"Dampak yang mengerikan itu adalah alasan mengapa Amerika Serikat memiliki perlindungan konstitusional dan hukum yang memastikan platform dapat menampung berbagai ide tanpa menghadapi konsekuensi hukum yang melumpuhkan."
CEO Telegram Pavel Durov Foto: ANTARA FOTO/Galih Pradipta
Durov sendiri cenderung anti-regulasi. Ia yakin warga yang tinggal di negara dengan pemerintah yang represif membutuhkan sistem komunikasi terenkripsi.
Dengan semangat itu, Durov mendirikan Telegram pada 2013 lalu. Aplikasi ini memungkinkan pengguna untuk mengobrol secara personal maupun dalam grup, atau berlangganan saluran publik yang menyebarkan informasi.
Namun, kurangnya moderasi membuat Telegram disalahgunakan banyak pihak. Ekstremis macam ISIS dan Proud Boys memanfaatkan aplikasi untuk berkomunikasi dan merekrut anggota secara anonim, sesuatu yang tidak bisa ditawarkan Facebook hingga YouTube.
Telegram juga menjadi rumah bagi konten antisemit yang paling ekstrem, menurut lembaga advokasi Inggris Hope not Hate pada 2021. Kelompok neo-Nazi diduga menggunakan aplikasi ini, menyebabkan Brasil sempat memblokir sementara Telegram pada 2023.
ADVERTISEMENT
Aplikasi juga tidak memiliki kebijakan eksplisit terhadap penyebaran video pelecehan seksual anak dalam pesan pribadi. Lembaga Stanford Internet Observatory menyatakan Telegram gagal melaksanakan penegakan konten dasaar di saluran publik, memungkinkan pornografi anak menyebar luas.
Ilustrasi aplikasi WhatsApp dan Telegram saling berdampingan. Foto: AlexandraPopova/Shutterstock
Beberapa pejuang kebebasan berpendapat menyarankan pengguna media sosial untuk tidak terlalu cepat mengambil kesimpulan terkait penangkapan Durov. Daphne Keller, seorang pakar regulasi platform dari Standford Cyber Policy Center, misalnya, mengatakan kasus Durov pada pandangan pertama tampak seperti masalah sederhana tentang pelanggaran hukum yang dilakukan.
"Konten pelecehan seksual anak, teroris, dan penjualan obat-obatan semuanya diatur oleh hukum pidana federal," tulis Keller di akun LinkedIn pribadinya. "Platform tidak memiliki kekebalan terhadap hukum tersebut."
Ditambah, Uni Eropa memiliki Undang-Undang Layanan Digital (Digital Services Act/DSA) sejak 2022. Aturan ini memaksa Telegram dan aplikasi lain untuk mematuhi standar transparansi dan moderasi, termasuk mengambil langkah proaktif untuk mengawasi konten yang berbahaya dan ilegal.
ADVERTISEMENT
Telegram sendiri sudah angkat bicara soal penahanan CEO-nya. Perusahaan menegaskan mereka mematuhi hukum Uni Eropa dan Durov 'tidak menyembunyikan apa pun'.