Teknologi Kian Canggih, Kenapa Mendarat di Bulan Kini Susahnya Minta Ampun?

22 Januari 2024 10:02 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kru Apollo 11 Buzz Aldrin, terlihat memberi hormat bendera Amerika Serikat di permukaan Bulan. Foto: AFP/NASA
zoom-in-whitePerbesar
Kru Apollo 11 Buzz Aldrin, terlihat memberi hormat bendera Amerika Serikat di permukaan Bulan. Foto: AFP/NASA
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Roket Vulcan Centaur memecah kegelapan malam Cape Canaveral, AS, pada Senin, 8 Januari 2024. Roket itu membawa pesawat ruang angkasa Peregrine untuk misi pendaratan di Bulan. Ini adalah salah satu misi NASA dan AS untuk kembali mendaratkan manusia di Bulan.
ADVERTISEMENT
Awalnya pesawat melaju pada lintasan yang sempurna. Sayang beribu sayang, ada penghambat besar. Astrobotic, perusahaan yang dipercaya mengoperasikan Peregrine, menemukan kebocoran propelan pada pesawat. Tanpa bahan bakar yang cukup, peluang mendarat sempurna di Bulan menjadi sirna.
Cerita ini berbeda dengan setengah abad yang lalu, di mana NASA mendaratkan astronaut AS di bulan dan membawa mereka semua pulang dengan selamat. Bukankah seharusnya pendaratan di bulan saat ini merupakan hal yang mudah? Bukankah ilmu roket pertengahan abad ke-20 sudah menjadi ilmu dasar abad ke-21?
Tunggu dulu. Mendaratkan wahana atau manusia enggak segampang itu. Peregrine bukan satu-satunya misi yang gagal.
Masih ingat roket Luna 25 milik Rusia yang juga mengalami kegagalan? Roket lepas kendali dan jatuh ke permukaan Bulan gara-gara permasalahan teknis saat masuk orbit.
ADVERTISEMENT
"(Roket) bergerak ke orbit yang tidak dapat diprediksi dan lenyap akibat tabrakan dengan permukaan Bulan," kata lembaga antariksa Rusia, Roskosmos, mengutip Reuters.
Eks Dirjen Badan Antariksa Eropa (ESA), Jan Wörner, membeberkan kepada The Guardian, bahwa salah satu tantangan antariksawan dalam menerbangkan roket, adalah soal bobot dari wahana itu sendiri.
Selain itu, hampir setiap pesawat ruang angkasa adalah prototipe. Terlepas dari kasus yang jarang terjadi, seperti satelit komunikasi Galileo, pesawat ruang angkasa adalah mesin yang dibuat khusus.
Mereka tidak diproduksi secara massal dengan sistem dan desain yang telah dicoba dan diuji. Begitu mereka ditempatkan di luar angkasa, mereka harus ‘berdikari.’
Pesawat luar angkasa Apollo 11 lepas landas. Foto: AFP/NASA
“Jika kamu mengalami masalah dengan mobilmu, kamu dapat memperbaikinya. Namun, di luar angkasa, hal itu tidak mudah dilakukan,” kata Wörner. “Luar angkasa adalah dimensi yang berbeda.”
ADVERTISEMENT
Itu soal roket. Bagaimana dengan Bulan? Satelit alami Bumi ini memiliki gravitasi. Kekuatannya 1/6 dari gravitasi Bumi dan tak memiliki atmosfer layaknya Mars.
Di Mars, pesawat luar angkasa dapat mendarat dengan mengurangi kecepatan pakai parasut. Di Bulan, pendaratan bergantung sepenuhnya pada kemampuan mesin roket.
Jika penerbangan memiliki mesin tunggal, seperti yang cenderung dilakukan oleh wahana yang lebih kecil, mesin harus dapat dikendalikan, karena tidak ada cara lain untuk mengurangi kecepatannya.
Mesin harus memiliki throttle, yang memungkinkan daya dorong diputar ke atas dan ke bawah.
“Biasanya Anda menyalakannya dan menghasilkan daya dorong yang stabil. Mengubah daya dorong selama proses mendarat, akan menambah lebih banyak kerumitan manuver,” kata Nico Dettmann, pemimpin kelompok eksplorasi bulan ESA.
Jejak sepatu astronaut di Bulan dalam misi Apollo 11. Foto: NASA
Selama perlombaan luar angkasa, NASA telah menggelontorkan 25 miliar dolar AS untuk proyek Apollo. Lagi-lagi, ia mencatat kegagalan demi kegagalan sebelum mencapai bulan. Kini mereka memiliki pengalaman dan pengetahuan serta kultur perancangan, pembangunan, dan pengujian pesawat ruang angkasa.
ADVERTISEMENT
Kini, di bawah skema Layanan Muatan Bulan Komersial (CLPS) yang baru, badan tersebut berupaya memangkas biaya dan menstimulasi industri luar angkasa AS. Artinya, NASA kini membayar perusahaan swasta, seperti Astrobotic dan Intuitive Machines yang berbasis di Houston, untuk mengirimkan instrumennya ke bulan.
Minusnya? Risiko kegagalan yang lebih besar, sehingga lebih banyak misi gagal diperkirakan akan terjadi.
“Perusahaan-perusahaan ini semuanya relatif baru. Sebagai perbandingan, mereka melakukan misi ini dengan uang saku,” kata Dr Joshua Rasera, peneliti di Imperial College London.
Walau begitu, strategi ini akan membuahkan hasil, katanya, karena perusahaan belajar dari kegagalan mereka. “Alat ini tetap lebih murah dibandingkan jumlah total misi, bahkan jika beberapa misi pertama mungkin mengalami kegagalan,” ujarnya.
ADVERTISEMENT