Telegram Disebut Jadi Rumah Baru bagi Hacker
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Penelitian yang dilakukan oleh perusahaan keamanan siber Cyberint, bersama dengan media The Financial Times, menemukan bahwa para hacker menjual dan membagikan kebocoran data di Telegram, karena mudah digunakan dan tidak terlalu dimoderasi.
Praktik penjualan kumpulan data pribadi biasanya dilakukan di dark web, yang hanya dapat diakses menggunakan browser dan login khusus. Hacker menganggap dark web ini menarik, karena berada di sudut internet yang dalam. Domain ini yang tidak akan muncul di mesin pencari — bahkan lebih terkunci dari pengamat dan penyusup dari luar.
Semua hambatan itu tentu ada harganya, karena tidak sembarang pengguna internet dapat mengakses dark web. Di sinilah Telegram mengambil peran, sebagai platform yang mudah untuk di-download dan gampang dalam membuat akun.
Aplikasi juga punya layanan Secret Chat, obrolan rahasia yang menggunakan sistem enkripsi end-to-end untuk privasi tambahan. Platform juga punya chat grup, meski tak memiliki perlindungan yang sama dengan Secret Chat, sanggup menampung hingga 200.000 pengguna.
ADVERTISEMENT
"Kami baru-baru ini menyaksikan peningkatan sebesar 100 persen dalam penggunaan Telegram oleh penjahat siber," kata analis Cybyerint, Tal Samra, seperti dikutip The Financial Times.
"Layanan pesan terenkripsinya semakin populer di kalangan pelaku kejahatan siber yang melakukan aktivitas penipuan dan menjual data curian... karena lebih nyaman digunakan daripada dark web."
Telegram tempat populer untuk hacker
Studi Cyberint juga menemukan bahwa ada pasar untuk hacker di Telegram. 'Marketplace' ini menjajakan data keuangan, dokumen pribadi, malware, dan panduan peretasan — selain kredensial akun online tentunya.
Di dark web sendiri, peneliti Cyberint juga menemukan banyak link atau tautan yang mengarah ke aplikasi besutan Nikolai dan Pavel Durov, jumlahnya pun meningkat dari tahun ke tahun. Link ke Telegram yang dibagikan di dark web antara 2020 dan 2021 meningkat dari 172 ribu menjadi lebih dari 1 juta tautan.
Namun, ketika investigasi ini naik ke Financial Times, Telegram diketahui menutup beberapa kanal dengan sekitar 47.000 pengguna di saluran itu. Menurut keterangan Telegram kepada Financial Times, kebijakan perusahaan adalah menghapus data pribadi ketika dibagikan tanpa persetujuan.
ADVERTISEMENT