5 Tradisi di Bali yang Hanya Ada Pada Hari Raya Galungan dan Kuningan

26 Desember 2018 19:00 WIB
clock
Diperbarui 15 Maret 2019 3:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Umat Hindu di Desa Penglipuran Menyiapkan Sajen. (Foto: REUTERS/Nyimas Laula)
zoom-in-whitePerbesar
Umat Hindu di Desa Penglipuran Menyiapkan Sajen. (Foto: REUTERS/Nyimas Laula)
ADVERTISEMENT
Memeriahkan Hari Raya Galungan dan Kuningan yang menjadi penanda menangnya kebaikan atau keburukan, masyarakat Hindu di Bali memiliki beragam tradisi unik yang menarik untuk disaksikan.
ADVERTISEMENT
Meski memiliki cara yang berbeda-beda di tiap daerahnya, tradisi Hari Raya Galungan dan Kuningan yang dilakukan masyarakat Hindu di Bali memiliki tujuan yang kurang lebih sama yaitu menolak bala, mengucap syukur, dan meminta berkat pada Sang Pencipta.
Bagi kamu yang menginginkan pengalaman traveling yang otentik dan berbeda, ada baiknya menjadwalkan liburanmu ke Bali pada Hari Raya Galungan dan Kuningan. Apa saja tradisinya?
1. Memasang Penjor
Penjor yang ramai menghiasai jalanan di Bali saat Galungan (Foto: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Penjor yang ramai menghiasai jalanan di Bali saat Galungan (Foto: Shutterstock)
Penjor merupakan ciri khas otentik yang menjadi penanda bahwa Hari Raya Galungan dan Kuningan telah tiba. Di Bali, ketika Hari Raya Galungan dan Kuningan dirayakan, kamu akan dengan mudah menemukan penjor di setiap sisi jalan dan di depan rumah penduduk setempat.
Sekilas, penjor terlihat seperti janur penanda di acara pernikahan, namun jika diperhatikan dengan seksama, penjor memiliki sampian atau gantungan yang diisi dengan hasil alam dan kain sebagai wujud syukur dan bakti pada berkat Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi).
ADVERTISEMENT
Saking pentingnya penjor pada Hari Raya Galungan dan Kuningan, biasanya para penjual penjor akan kebanjiran pesanan jelang momen berharga itu. Menariknya lagi, pada tahun 2018 kali ini di Bali, ada penjor istimewa setinggi 16 meter yang dibuat oleh penduduk Banjar Jambe, Desa Kerobokan.
Bagi masyarakat Hindu, penjor memiliki arti bahwa manusia hendaknya selalu melihat ke bawah dan menolong orang lain yang belum beruntung, sama seperti ujung penjor yang melengkung ke bawah.
2. Perang Jempana
Tradisi Jempana pada Hari Raya Galungan dan Kuningan di Bali (Foto: Flickr/Wayan Mardana)
zoom-in-whitePerbesar
Tradisi Jempana pada Hari Raya Galungan dan Kuningan di Bali (Foto: Flickr/Wayan Mardana)
Jika kamu berkesempatan menyambangi Bali saat Hari Raya Galungan dan Kuningan tiba, tidak ada salahnya untuk menyambangi Desa Paksebali, Klungkung. Pasalnya warga Banjar Panti Timrah di desa ini setiap tahunnya mengadakan tradisi yang dikenal sebagai Perang Jempana.
ADVERTISEMENT
Dikenal juga sebagai Dewa Masraman, Perang Jempana telah ada sejak tahun 1500. Perang Jempana biasanya dilakukan setiap 210 hari, tepat pada hari Saniscara Kliwon Kuningan. Saat melakukan tradisi Perang Jempana, penduduk setempat akan mengusung tandu (jempana) yang berisi sesajen dan simbol Dewata.
Puncak dari tradisi ini adalah Ngambeng Jempana, yaitu atraksi saling dorong antar warga yang membawa jempana sambil diiringi suara tabuhan gong baleganjur. Para warga yang terlibat biasanya sudah berada dalam kondisi tidak sadar.
Begitu Ngambeng Jempana berakhir, pemangku agama akan memercikkan air suci. Dan para dewa yang dilambangkan dengan uang kepeng dan benang tridatu dikeluarkan dari jempana serta kembali ditempatkan ke dalam Pura.
3. Ngurek
ADVERTISEMENT
Tradisi Ngurek di Bali  (Foto: Flickr @AKP_Agus Kurniawan Putra)
zoom-in-whitePerbesar
Tradisi Ngurek di Bali (Foto: Flickr @AKP_Agus Kurniawan Putra)
Mirip dengan atraksi debus, tradisi Ngurek juga menggunakan senjata tajam untuk melukai diri ketika partisipan berada dalam kondisi kerasukan. Dilaksanakan hampir di setiap daerah di Bali, tradisi Ngurek yang juga dikenal sebagai Ngunying dipercaya sebagai manifestasi pengabdian pada Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan yang Maha Esa).
Berasal dari kata 'Urek', Ngurek dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai melubangi atau menusuk. Biasanya orang-orang yang melakukan tradisi Ngurek akan menusuk dirinya dengan keris, tombak, atau senjata tajam lainnya.
Tradisi Ngurek di Bali pada Hari Raya Galungan dan Kuningan (Foto: Flickr/wdasmarafoto)
zoom-in-whitePerbesar
Tradisi Ngurek di Bali pada Hari Raya Galungan dan Kuningan (Foto: Flickr/wdasmarafoto)
Tapi uniknya, ia tidak akan merasa kesakitan, karena telah diberi kekuatan oleh roh-roh para leluhur. Jangankan berdarah, meski telah ditancapkan berulang-ulang dengan kuat, mereka yang kerasukan roh tersebut bahkan tidak akan tergores sedikit pun.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, Ngurek tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, sebab salah satu syaratnya tidak boleh ujub atau sombong. Tidak ada yang tahu kapan Ngurek mulai dilaksanakan, tapi konon, tradisi ini hadir pada jaman kejayaan kerajaan. Saat raja ingin membuat pesta syukuran pada Sang Pencipta sekaligus menyenangkan hati para prajurit.
4. Ngelawang Barong
Tradisi ngelawang di Denpasar, Bali. (Foto: Cisilia Agustina Siahaan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tradisi ngelawang di Denpasar, Bali. (Foto: Cisilia Agustina Siahaan/kumparan)
Memperingati Hari Raya Galungan dan Kuningan, anak-anak kecil yang berdomisili di Bali umumnya melakukan tradisi Ngelawang Barong. Masyarakat Hindu di Bali percaya melalui Ngelawang Barong dapat menolak bala, mengusir roh jahat, dan melindungi penduduk dari wabah penyakit.
Berasal dari kata 'Lawang' yang berarti pintu, Ngelawang dilakukan dengan mengarak barong bangkung dari rumah ke rumah sambil diiringi suara gamelan. Dilansir dari berbagai sumber, kabarnya menurut kepercayaan Hindu, Barong adalah lambang perwujudan Sang Banas Pati Raja yang melindungi manusia dari bahaya.
Tradisi Ngelawang Barong di Bali saat Hari Raya Galungan dan Kuningan (Foto: Flickr/Alain Secretan)
zoom-in-whitePerbesar
Tradisi Ngelawang Barong di Bali saat Hari Raya Galungan dan Kuningan (Foto: Flickr/Alain Secretan)
Sedangkan tradisi Ngelawang Barong berasal dari mitologi Dewi Ulun Danu yang berubah jadi raksasa yang membantu penduduk desa mengalahkan roh jahat. Dahulu, karena dianggap sebagai ritual yang sakral, apabila bulu barong tercecer, maka warga akan memungutnya dan menjadikannya sebagai benda bertuah.
ADVERTISEMENT
5. Gerebeg Mekotek
Tradisi Gerebeg Mekotek di Bali (Foto: Flickr/Calvin Damas Emil)
zoom-in-whitePerbesar
Tradisi Gerebeg Mekotek di Bali (Foto: Flickr/Calvin Damas Emil)
Gerebeg Mekotek merupakan tradisi tolak bala yang dilakukan masyarakat Hindu yang berdomisili di Desa Adat Munggu, Kecamatan Mengwi, Kab. Tabanan, Bali. Dilaksanakan secara rutin setiap 210 hari sekali menurut kalender Bali, Gerebeg Mekotek dilakukan tepat pada Hari Raya Kuningan, atau 10 hari setelah Hari Raya Galungan.
Dulunya tradisi Mekotek dijadikan sebagai acara penyambutan pasukan Kerajaan Mengwi yang menang perang melawan Kerajaan Blambangan. Pada zaman penjajahan Belanda, tepatnya pada tahun 1915, tradisi Mekotek sempat dihentikan karena pihak kolonial takut akan ada pemberontakan.
Sayangnya keputusan itu tidak berbuah baik, penduduk terkena wabah penyakit, sehingga akhirnya setelah melalui perundingan yang alot, Mekotek diizinkan untuk digelar kembali. Tradisi mekotek dilakukan dengan kayu sepanjang 2,5 meter yang telah dikupas kulitnya.
ADVERTISEMENT
Kayu digunakan untuk menggantikan peran tombak untuk menghindari terjadinya luka parah. Penduduk yang mengikuti tradisi Mekotek akan dibagi menjadi beberapa kelompok. Dan dari anggota kelompok, akan dipililh orang yang berani sebagai komando untuk memberi aba-aba dari atas puncak piramida tumpukan kayu.
Ia akan mengarahkan kelompoknya untuk menabrak kelompok lainnya. Selain untuk menolak bala, Mekotek juga dipercaya sebagai permohonan untuk mendapat berkah dan meminta kesuburan untuk lahan pertanian penduduk setempat.
Bagaimana denganmu, berani ambil bagian dalam tradisi Hari Raya Galungan dan Kuningan di Bali di atas?