Berbincang Langsung dengan Haenyeo, Penyelam Perempuan Tangguh di Pulau Jeju

4 November 2024 11:03 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Salah satu Haenyeo senior, Han Soon Hwa, usai berbincang dengan kumparan dan beberapa jurnalis lain di Pulau Jeju, Korea Selatan. Foto: Gadi Kurniawan Makitan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu Haenyeo senior, Han Soon Hwa, usai berbincang dengan kumparan dan beberapa jurnalis lain di Pulau Jeju, Korea Selatan. Foto: Gadi Kurniawan Makitan/kumparan
ADVERTISEMENT
Orang-orang yang familiar dengan budaya Korea Selatan mungkin akrab dengan istilah Haenyeo. Secara harfiah, istilah itu berarti perempuan laut.
ADVERTISEMENT
Istilah ini disematkan pada para penyelam wanita ulung di Pulau Jeju, yang terletak di selatan Semenanjung Korea. Mereka terkenal karena mampu menyelam tanpa tabung oksigen hingga ke kedalaman hingga 10 meter, untuk memanen hasil laut demi menafkahi keluarga.
Sekalipun ketangguhan dan kepahlawanan mereka adalah kebanggaan Pulau Jeju, namun jumlah mereka makin sedikit. Tidak banyak generasi muda yang ingin meneruskan warisan budaya ini.
kumparan berkesempatan berbincang langsung dari salah satu haenyeo senior di Pulau Jeju, dalam perjalanan yang diorganisasi Jeju Tourism Organization dan maskapai Scoot.

Bermula dari Suami yang Meninggal

Dilansir Visitjeju.com, profesi haenyeo sudah berusia satu milenial. Awalnya, laki-laki dan perempuan di Pulau Jeju sama-sama menyelam. Laki-laki menangkap kerang abalon, sementara perempuan memanen rumput lalu.
ADVERTISEMENT
Seiring berjalannya waktu, banyak laki-laki meninggal karena melaut. Para istri pun mengambil alih pekerjaan mendiang suami mereka.
Ilustrasi haenyeo, para penyelam perempuan dari Pulau Jeju, Korsel. Foto: Shanae Ennis-Melhado/Shutterstock
Menyelam lalu menjadi profesi para perempuan ini. Profesi ini sangat menjanjikan, karena panen hasil laut mendatangkan penghasilan yang besar.
Park Geun Hyeon, penanggung jawab program Tur Desa Haenyeo di salah satu desa di Pulau Jeju, mengatakan bahwa para haenyeo-lah yang mengangkat perekonomian Pulau Jeju yang saat itu masih miskin.
"Karena haenyeo, desa-desa di Jeju menjadi sejahtera dan berkembang," ujarnya.
Park Geun Hyeon, penanggung jawab Tur Desa Haenyeo, Pulau Jeju, bersama salah satu Haenyeo, Han Soon Hwa. Foto: Gadi Kurniawan Makitan/kumparan
Selain membawa peningkatan ekonomi, haenyeo juga dihormati, karena nilai kebersamaan, serta penghormatan mereka terhadap alam. Mereka membatasi waktu panen laut demi keberlangsungan, dan mempertahankan teknik freediving untuk menghormati keterbatasan tubuh manusia.
Pada 2016, haenyeo masuk dalam Daftar Warisan Budaya Dunia Tak Benda UNESCO, karena nilai-nilai ketangguhan, ramah lingkungan, serta pemberdayaan perempuan yang diusung komunitas Haenyeo.
ADVERTISEMENT

Jumlah Haenyeo di Pulau Jeju Menyusut

Dilansir UNESCO, jumlah haenyeo pernah mencapai 20 ribu orang. Namun, pada 2023 menyusut jadi sekitar 3 ribu.
kumparan bersama beberapa jurnalis yang diundang ke Jeju oleh Jeju Tourism Organization dan maskapai Scoot berkesempatan berbincang dengan salah satu haenyeo senior yang berusia 75 tahun, Han Soon Hwa, soal menyusutnya jumlah haenyeo.
Han Soon Hwa mengatakan, saat ini haenyeo termuda berusia 63 tahun. Tidak ada lagi generasi muda yang berminat menjadi haenyeo.
Salah satunya faktornya adalah kondisi laut yang sudah berubah. Menurut Han Soon Hwa, pemanasan global membuat suhu air menjadi lebih hangat. Akibatnya, hasil laut tidak sebanyak dulu.
"Dulu kami naik kapal ke tengah laut dan mendapatkan banyak keong laut. Sekarang, susah sekali mendapatkannya," ujar Han.
Penyelam wanita tradisional di Pulau Jeju, juga disebut Haenyeo. Foto: Shutterstock
Pendapatan haenyeo pun lebih kecil dibandingkan masa kejayaannya dulu. Sekarang, menurut Han, bahkan pemerintah sampai harus mensubsidi haenyeo. Setiap satu kilogram keong laut yang mereka tangkap, pemerintah memberikan 1.000 won (Rp 11.300).
ADVERTISEMENT
Selain itu, haenyeo yang berusia di bawah 70 tahun mendapatkan subsidi 100.000 won (Rp 1,2 juta) setiap bulan. Sedangkan yang berusia di atas 70 tahun diberi 200.000 won (Rp 2,4 juta).
Han mengaku sedih, karena jumlah haenyeo semakin menyusut dan bahkan terancam punah. Sebab, bagi Han, haenyeo melambangkan kerja keras.
“Generasi kami bekerja sepanjang hari. Setelah menyelam, kami bekerja di kebun. Setelah bekerja di kebun, kami kembali menyelam,” tutur Han.
Menurut Han, generasi muda sekarang memilih menghindari kerja keras. Itu juga yang membuatnya sedih.

Usaha Melestarikan Budaya Haenyeo

Sadar akan bahaya kepunahan budaya haenyeo, pemerintah Pulau Jeju dan Korea Selatan telah melakukan usaha-usaha melestarikan budaya ini.
Salah satu usaha mereka adalah membuat sekolah haenyeo. Para haenyeo melatih perempuan-perempuan yang berminat memiliki keterampilan freedive untuk memanen hasil laut.
Salah satu diorama di Museum Haenyeo, Pulau Jeju, Korea Selatan. Foto: Gadi Kurniawan Makitan/kumparan
Selain itu, ada pula museum haenyeo di Pulau Jeju. Museum ini mengabadikan budaya haenyeo dengan cara yang menarik.
ADVERTISEMENT
Selain foto-foto dan artefak haenyeo, ada pula replika rumah haenyeo pada masa lampau, di mana banyak cerita soal kebiasaan Haenyeo bisa digali. Menurut Park Geun Hyeon, budaya ini sangat penting bagi Jeju, sehingga harus dilestarikan.
"Saya sangat suka dengan perkataan, "Jeju dibangun oleh haenyeo'," pungkasnya.