Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Lebih dari 1.300 penari berlenggak-lenggok menampilkan kepiawaiannya menari di Pantai Marina Boom, Banyuwangi, dalam Festival Gandrung Sewu yang digelar Sabtu (12/10) lalu.
ADVERTISEMENT
Mengenakan mahkota dengan dominasi warna emas dan selendang berwarna merah, para penari itu menarikan tarian Gandrung Sewu sambil diiringi alunan gamelan yang khas, perpaduan Jawa dan Bali.
Menari di tepi pantai berlatarkan Selat Bali, para penari ini berhasil membuat ribuan wisatawan yang hadir berdecak kagum sekaligus terhibur. Festival Gandrung Sewu 2019 merupakan pagelaran yang kedelapan kalinya dihelat oleh Banyuwangi.
Saking indahnya, walau telah berkali-kali digelar, Festival Gandrung Sewu selalu mampu mendapatkan animo tinggi, baik dari wisatawan dalam maupun luar negeri. Tari Gandrung sendiri adalah tari khas Banyuwangi yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia.
Dibalik kesuksesan festival tersebut, ternyata ada resep rahasia yang selalu jadi pegangan sang empunya acara, siapa lagi kalau bukan Kabupaten Banyuwangi. Kepada kumparan, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, menyatakan bahwa kunci suksesnya festival tersebut adalah pada kolaborasi antara pemerintah dan semua lapisan masyarakat, yang terutama yaitu gotong-royong dan toleransi.
“Seandainya festival itu dibiayai semua oleh pemerintah, kami hitung rata-rata Rp 6 miliar setiap kali penyelenggaraan. Tapi kemarin pemkab hanya menyiapkan sekitar Rp 800 juta. Selebihnya adalah gotong-royong dan partisipasi masyarakat,” ujar Azwar di Jakarta beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
Tari ini semula hanya dibawakan oleh dua atau tiga orang. Para penari Gandrung biasanya tampil dari kampung ke kampung, sehingga saat itu tak menarik untuk ditonton. Hingga akhirnya tercetuslah ide untuk membuat Tari Gandrung bisa ditampilkan secara kolosal, yaitu oleh 1.000 penari.
Sesuai harapan, penyelenggaraan Festival Gandrung Sewu pun sangat disambut baik oleh masyarakat Banyuwangi, bahkan wisatawan domestik dan mancanegara. Uniknya, Azwar mengatakan kini pihaknya kesulitan mencari 1.000 penari. Alhasil, pada gelaran beberapa waktu lalu, ada 1.300an penari yang tampil.
“Mereka begitu berebut ternyata. Jadi sulit untuk mencari 1.000 penari saja. Sekarang bahkan yang daftar sudah 3.000 penari,” ujarnya.
Selain gotong-royong, penyelenggaraan ini juga sukses, karena adanya rasa toleransi yang kuat di tengah-tengah masyarakat. Festival ini tak mengenal etnis, suku, maupun agama, sehingga semua warga Banyuwangi boleh ambil bagian di dalamnya.
ADVERTISEMENT
“Dari gelaran budaya ini tidak kenal etnis, tidak kenal agama. Lintas agama, semua mengantar anaknya menari, semua damai,” ujarnya.
Menjadi salah satu agenda tetap pariwisata daerah, Gandrung Sewu selalu tampil istimewa dengan tema-tema yang berangkat dari sejarah dan kisah perjuangan masa lalu. Tahun 2019, Panji-Panji Sunangkoro menjadi tema yang ditampilkan.
Tema ini mengisahkan perlawanan prajurit pahlawan Rempeg Jogopati yang terus melakukan perlawanan terhadap Belanda. Mereka mendapat dukungan secara diam-diam dari Bupati Banyuwangi pertama, Mas Alit. Namun, dukungan ini terendus oleh VOC, dan Mas Alit dipanggil ke Semarang.
Penjajah lalu melakukan langkah licik dengan menaikkan Mas Alit ke kapal berbendara VOC. Para prajurit yang sudah siap melakukan perlawanan di laut dengan membawa Panji Sunangkoro, begitu melihat kapal VOC melintas mereka langsung menyerang kapal tersebut, tanpa tahu bahwa di dalamnya ada Mas Alit.
ADVERTISEMENT
Perlawanan gigih terhadap kolonial inilah yang divisualisasikan penari Gandrung Sewu dalam sebuah pagelaran seni kolosal.