news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Edinburgh: Manisnya Cokelat dan Pahitnya Aksi Rasialisme

9 Juli 2017 13:02 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Old City of Edinburgh. (Foto: Maria Sattwika Duhita/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Old City of Edinburgh. (Foto: Maria Sattwika Duhita/kumparan)
ADVERTISEMENT
Saya tiba di Edinburgh, Skotlandia, dengan lingkar hitam di bawah mata. Maklum, perjalanan 16 jam di angkasa (ditambah dengan delapan jam menunggu di Turki) cukup menguras energi yang semula membuncah-buncah saat berada di atas pesawat. Tapi, antusiasme menyesap cokelat hangat di Edinburgh lebih kuat mendekap ketimbang rasa lelah bertubi-tubi akibat duduk salah posisi di pesawat.
ADVERTISEMENT
Kali pertama mata menyapu daratan Edinburgh, saya tahu saya dengan mudahnya jatuh cinta pada kota ini. Dengan sajian kastil-kastil cantik dan bangunan klasik --padahal cuma toko souvenir-- yang begitu rapi dan apik, kaki saya tak bosan menapakki setiap trotoar berbatu yang dibangun di kota ini.
Tiba pukul 17.00 sore di Edinburgh International Airport, saya bersama delegasi dari beberapa negara lain untuk konferensi Future News Worldwide 2017 harus mengejar waktu untuk mengikuti seremoni pembukaan yang diadakan di Scottish Parliament Building, tempat kami akan bercengkerama selama tiga hari lamanya untuk mengikuti berbagai kegaiatan, mulai dari sesi diskusi hingga workshop. Tak sabar, saya mulai mengangkat koper yang beratnya nyaris 20 kg, ditambah ransel yang begitu penuh dan saya jinjing dengan sepenuh hati ingin keluar bandara.
ADVERTISEMENT
Langkah kaki agak terseret-seret. Udara dingin seketika menyeka wajah. Rasa heran dengan sigap menyergap, loh bukannya ini lagi summer, ya? Kok adem gini? Anginnya kencang benar? tanya saya dalam hati sepenuh jiwa. Cuaca serupa pernah saya temui kala musim dingin di Romania. Namun, bukankah ini summer di Edinburgh?
Rumah gemas lainnya di Edinburgh. (Foto: Maria Sattwika Duhita/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Rumah gemas lainnya di Edinburgh. (Foto: Maria Sattwika Duhita/kumparan)
Dan belakangan, salah seorang staf Scottish Building Parliament bercerita kalau --yup, surprise--, musim dingin di Edinburgh bukan berarti ‘matahari menyembul setiap saat’, melainkan hari yang berangin dan hujan yang turun (hampir setiap hari). Sehingga, tak heran kalau Anda datang ke Edinburgh di musim ‘panas’, simpan saja baik-baik celana pendek dan kaos tipis yang anda bawa. Karena mungkin, baju itu hanya bisa anda pakai di hotel dan itu pun dekat heater.
ADVERTISEMENT
Dengan cuaca yang cukup berangin serta berawan, saya jalan menuju sebuah bus tingkat yang sudah setia menunggu di depan bandara. Perjalanan dari bandara menuju Brae House Student Accomodation, hotel yang akan saya tinggali selama konferensi berlangsung, memakan waktu sekitar satu jam. Bus pun mulai dipenuhi oleh beberapa warga lokal. Beberapa memberi senyum, sedang beberapa lainnya hanya menatap sedikit…...‘heran’.
Saya mencoba untuk tak peduli dengan tatapan ‘heran’ itu. Edinburgh terlalu indah untuk dilewatkan dengan kesal dan sederetan gibahan.
Jarak halte bis dan Brae House sangatlah dekat; hanya memakan waktu lima menit dengan berjalan kaki. Sehingga, menenteng koper hampir 20 kg dan ransel 8 kg bukanlah masalah besar hari itu. Saya begitu antusias untuk tiba di kamar dan segera merujuk ke Scottish Parliament Building.
ADVERTISEMENT
Tempat saya menginap cukup nyaman, lengkap dengan meja belajar, kasur nyaman, ditambah kamar mandi pribadi. Segera saya taruh seluruh barang di dalam kamar, lalu bergegas menuju Scottish Parliament Building yang jaraknya hanya lima menit dengan berjalan kaki --walau setelah itu, kaki akan dengan mudahnya kram akibat cuaca dingin.
Scottish Parliament Building, jelas tergambar dari namanya, berfungsi sebagai gedung parlemen selayaknya gedung DPR/MPR yang kita punya di Jakarta. Sayang sekali, saya hanya boleh mengabadikan beberapa ruangan --itu pun hanya bagian yang digunakan untuk kegiatan Future News Worldwide 2017 oleh British Council UK.
Acara kami berlangsung di lantai dasar dan di lantai empat. Karena kapasitas elevator yang terbatas, saya kerap menggunakan tangga untuk naik-turun ke lantai empat (selain karena tidak ingin ambil risiko naik elevator yang kelebihan muatan, juga resolusi kurus akhir tahun 2017 harus terlaksana CIAATT!). Tapi, yang manis dari Scottish Parliament adalah: toh anda harus naik tangga hingga empat lantai, anda disuguhi pemandangan Arthur’s Seat yang aduhai rancaknya yang hijau membentang dari jendela kaca di tiap ujung tangga. Sehingga, naik-turun tangga pun tak terasa lelahnya.
Pemandangan Arthur's Seat dari jendela. (Foto: Maria Sattwika Duhita/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pemandangan Arthur's Seat dari jendela. (Foto: Maria Sattwika Duhita/kumparan)
Well, selain gedungnya yang nan estetik, ada satu hal yang tak kalah “menarik” untuk disoroti dari Edinburgh --dan secara khusus, Scottish Parliament, yakni: katering yang memasok makanan selama acara berlangsung.
ADVERTISEMENT
Apa yang membuatnya menarik?
Menu makan siang dan malamnya. Anda bertanya-tanya ada apa dengan makanan dan minumnya? Yak, menu makan siang dan malam paling “berat” yang disajikan oleh pihak katering adalah… *drum rolls*
Ya. Mungkin anda sudah bisa menebaknya. It’s only sandwich, ladies and gentlemen.
Mungkin karena lidah hingga perut saya yang sudah begitu nasionalisnya, makan siang hingga malam dengan menu sandwich tentunya cukup menyiksa --walau Anda bisa ambil sebanyak-banyaknya yang anda mampu kunyah. Tapi tetap saja, apalah arti makan siang tanpa nasi (padang atau pecel lele)? Tapi tak apa, mungkin ini salah satu cara agar resolusi #kurusakhirtahun2017 tercapai (kita punya amin di sini? Amin. )
Selepas acara di Scottish Parliament, saya dan seorang kawan Mahnoor namanya, melenggang keluar gedung untuk mencari segelas cokelat hangat di tengah dingin angin yang sibuk menyapu tubuh kami yang salah kostum mengenakan pakaian cukup tipis dan jaket yang tak terlalu tebal. Kami duduk di sebuah kafe yang berfungsi juga sebagai reading room, sehingga kamu bisa minum cokelat hangat sembari membaca buku di sana.
Kafe di Royal Mile, Edinburgh. (Foto: Maria Sattwika Duhita/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kafe di Royal Mile, Edinburgh. (Foto: Maria Sattwika Duhita/kumparan)
Kafe ini tak terlalu besar, hanya terdiri dari beberapa meja yang sudah dilipat karena akan tutup dalam waktu 30 menit. Karenanya, kami tak bisa berlama-lama memilih buku untuk dibaca sembari menikmati cokelat hangat yang kami pesan. Dengan waktu yang sempit, kami memilih untuk habiskan waktu dengan bercerita tentang diri masing-masing. Mahnoor datang dari Pakistan. Dengan mudahnya ia menyebut arti nama saya yang kerap membuat bingung orang.
ADVERTISEMENT
“Ah, Sattwika! I think it;s originally ‘Sattvika’, which means ‘goddess’, or the highest order of human,” katanya. Sementara Duhita berarti perempuan. Saya mengangguk seraya mendengarkan Mahnoor menjelaskan arti nama saya. Walau belakangan, saya ketahui bahwa Sattvika --yang berasal dari kata Satva-- juga bisa diartikan ‘emotional’ atau perasa.
Obrolan kami begitu ngalor-ngidul, mulai dari bahas arti nama, hingga berujung pada masalah rasisme yang terjadi di tempat kami masing-masing. Saya pun dengan ‘semangat’nya bercerita tentang kasus ‘ganyang Cina’ yang sempat ramai dibicarakan di Indonesia. Tentang bagaimana mereka yang terlihat bermata sipit lengkap dengan warna kulit kuning langsat alias ‘Cina’ kerap didiskriminasi dan dianggap seakan hama di dalam tubuh masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Padahal, jelas terekam dalam sejarah tentang bagaimana mereka yang dipanggil ‘Cina’ nyatanya ikut dalam merintis kemerdekaan bangsa ini, seperti Lie Eng Hok yang turut mendorong pergerakan masyarakat Banten melawan pemerintahan Hindia Belanda di tahun 1926. Sayangnya, masih ada banyak mereka di dalam masyarakat Indonesia yang dengan mudahnya iri dan dengki, lantas berusahan mengecilkan dan menihilkan perjuangan mereka dalam rekam sejarah.
Obrolan itu begitu berapi-api, sampai lupa kalau kafe sudah hendak tutup lima menit lagi. Saya dan Mahnoor pun bergegas mengambil jaket yang digantung di pojok ruangan, lalu menyeberang jalan untuk kembali menuju ke penginapan.
Suasana di jalan kota Edinburgh. (Foto: Maria Sattwika Duhita/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana di jalan kota Edinburgh. (Foto: Maria Sattwika Duhita/kumparan)
Saya dan Mahnoor menunggu sinyal lampu pejalan kaki berubah dari merah menjadi hijau sembari menengok kanan-kiri dan melempar canda pada satu sama lain. Kaki kami baru melangkah satu ke depan saat tiba-tiba sebuah mobil biru berisi dua orang laki-laki --kulit putih, tentunya-- berjalan perlahan persis di depan kami, lalu membuka jendela dan mengacungkan jari tengah ke arah kami berdua.
ADVERTISEMENT
Tawa saya sirna sekejap. Seriously? Nampaknya efek Islamophobia dan rasisme coloured people sudah sampai di Edinburgh. Sejujurnya, saya kesal setengah mati sampai ingin rasanya nekat melempar payung ke arah mobil itu. Tapi, risiko menjadi kriminal di negeri orang membuat saya bergidik dan memilih untuk mengumpat dalam hati. Mahnoor pun terlihat kesal dan tak berkutik. Kami berdua melenggang dalam diam akibat kesal setengah mati.
Mengesalkan. Keramahan Edinburgh lantas tercoreng oleh aksi dua manusia yang tak saya kenali itu. Walau begitu, saya perlahan nikmati kekesalan itu, lalu biarkan dia larut dalam hangat dan elok Edinburgh yang dibawa oleh keindahan alam dan manusia lainnya yang kerap membantu kala orang asing seperti saya terlihat bingung di persimpangan jalan pusat kota.
ADVERTISEMENT
Although some humans suck, but I know Edinburgh never fails me. Has never. Will never. Ever.
It's Edinburgh, fellas! (Foto: Maria Sattwika Duhita/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
It's Edinburgh, fellas! (Foto: Maria Sattwika Duhita/kumparan)