Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Emil Salim soal Wisata di Pulau Komodo: Jangan yang Penting Uang, Uang, dan Uang
21 Juli 2022 18:05 WIB
·
waktu baca 6 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Meski jadi favorit, hal ini justru berdampak menjadi suatu ancaman bagi ekosistem di Taman Nasional Komodo, karena minimnya kesadaran wisatawan akan pengetahuan lingkungan pada destinasi yang dituju.
Hal itulah yang membuat destinasi wisata yang masih dalam bagian satu dari lima Destinasi Wisata Super Prioritas (DSP) tersebut memerlukan adanya program konservasi, dan penerapan pariwisata berkelanjutan dalam menunjang kelestarian. Hal ini berguna untuk mempertahankan ekosistem makhluk hidup di dalamnya.
Termasuk menjaga kelestarian kehidupan satwa liar (wildlife) dari komodo, yang sejak September 2021 statusnya terancam punah dan telah termasuk dalam daftar merah International Union for Conservation (IUCN).
Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Pertama (1978 - 1993), Prof H Emil Salim, MA, PhD yang pada awal masa jabatannya menetapkan Taman Nasional Komodo sebagai salah satu Taman Nasional pertama di Indonesia mengatakan, bahwa Taman Nasional Komodo merupakan wisata yang berbeda dengan wisata Bali, wisata kebudayaan, atau wisata tempat lain.
ADVERTISEMENT
"Wisata komodo adalah wisata dengan living creature yang unik yang merupakan binatang historis," ujar Emil, dalam audiensi Daya Dukung Daya Tampung berbasis Jasa Ekosistem di Taman Nasional Komodo pada tanggal 7 Juli 2022 lalu bersama Tim Pelaksana Penguatan Fungsi Taman Nasional Komodo, seperti dikutip dari keterangan resmi yang diterima kumparan.
Prof Emil menambahkan wisata komodo adalah wisata dengan nyawa hewan. Bukan wisata barang mati, seperti Borobudur atau lainnya. Komodo adalah makhluk hidup yang keunikannya justru menjadi daya tarik.
"Nah, jika demikian halnya, maka komodo sebagai makhluk hidup, harus kita pertahankan," ujarnya.
Oleh karena itu, strategi pariwisata di daerah komodo jangan diletakkan pada jumlah kuantitas tamu, tapi pada keterbatasan kualitas tamu.
ADVERTISEMENT
"Maka jangan jumlah pengunjung menjadi kriteria. Yang menjadi objek wisata adalah makhluk hidup, bukan barang mati. Apabila ekosistemnya terganggu bisa mengganggu ekuilibrium kehidupan komodo, yang mana kita tidak punya ahlinya," papar Emil.
Komodo Wajib Dilindungi
Menurutnya, selama ini komodo dianggap objek yang berhak dimanfaatkan, tak peduli ekosistem berubah atau tidak. Tidak peduli berapa pengunjung yang datang.
Binatang tidak hidup sendiri, bergantung pada ekosistem di sekitarnya. Sedangkan pemerintah masih melakukan pembangunan, tak peduli dengan dampak lingkungan.
Ia pun menambahkan, tanggung jawab kita sebagai Bangsa Indonesia adalah memelihara anugerah Allah yang diberikan kepada tanah air Indonesia. Komodo adalah makhluk pemberian Allah yang jutaan tahun usianya.
Hal inilah yanh membuat komodo terlalu luhur untuk menjadi objek semata. Dia adalah simbol dari anugerah Tuhan untuk mengingatkan manusia, bahwa masyarakat pernah dan harus mengenal makhluk hidup yang sudah ada dari jutaan tahun lalu. Karena itu, NTT, memikul tanggung jawab yang amat berat.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan hal itu, Prof Emil menyarankan orientasi terhadap komodo harus berubah. Komodo bukan sebagai objek turis saja, tapi sebagai makhluk unik.
"Ribuan tahun masih hidup di Republik Indonesia ini. Masha Allah, ini adalah kekayaan luar biasa," ujarnya.
Dalam audiensi tersebut, Prof Emil juga menyampaikan bahwa suatu binatang tidak bisa hidup sendiri, melainkan ia bergantung pada ekosistem di sekitarnya, sementara kita sembarangan mengakses habitatnya. Termasuk membuang sampah sembarangan hingga melakukan penggunaan lahan.
Maka dari itu, ke depannya strategi pengelolaan Taman Nasional Komodo tidak hanya menjadikan jumlah wisatawan sebagai patokan, melainkan berapa besar toleransi yang dapat diterima oleh ekosistem komodo dan makhluk hidup lainnya. Selain itu, harga masuk perlu dinaikan sebagai kompensasi untuk mengembalikan apa yang hilang dari ekosistem Komodo dan makhluk hidup lainnya di kawasan.
Tidak hanya untuk mewujudkan pariwisata yang bertanggung jawab, tetapi juga mengedepankan prinsip serta praktik konservasi dalam melestarikan kekayaan bangsa Indonesia yang tidak ada duanya.
ADVERTISEMENT
"Perlakukan Komodo sebagai binatang yang terhormat dan luhur. Jangan rombak pulau, jangan datangkan wisata demi perut semata," imbuhnya.
Kajian Daya Dukung Daya Tampung Pulau Komodo
Dalam menunjang program konservasi dan pariwisata berkelanjutan, Kajian Daya Dukung Daya Tampung berbasis Jasa Ekosistem dilakukan untuk mengetahui batas kemampuan Taman Nasional Komodo dalam menampung jumlah wisatawan.
Berdasarkan pertumbuhan wisatawan dan ekonomi, pertumbuhan wisatawan 1,33 kali (2013-2016) menjadi 2,05 kali (2016-2019), dan nilai ekonomi manggarai barat sebesar 1,7 kali (2013-2016) mengalami penurunan menjadi 1,5 kali (2016-2019).
Ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi berbanding terbalik dengan pertumbuhan wisatawannya.
Kepadatan pariwisata yang terjadi di Taman Nasional Komodo secara tidak langsung dapat mempengaruhi kelangsungan hidup Komodo dan makhluk hidup lainnya.
ADVERTISEMENT
Diperoleh dari hasil kajian, bahwa kapasitas ideal Taman Nasional Komodo dalam menampung wisatawan ialah sebanyak 219.000 dan maksimal sebanyak 292.000 kunjungan per tahun.
Jumlah tersebut sudah dihitung-hitung dari panjang jalur terpendek trekking, lama berjalan rata-rata wisatawan, lama berkunjung wisatawan dan tingkat kenyamanan berwisata serta dengan mempertimbangkan Nilai Jasa Ekosistem di dalamnya.
Jika jumlah kunjungan lebih dari nilai maksimal dapat menyebabkan Jasa Ekosistem berkurang yang diperkirakan nilainya mencapai Rp 11 triliun. Sedangkan jika dilakukan pembatasan, maka nilai yang hilang menurun menjadi Rp 10 miliar dan masih mampu dilakukan perbaikan serta pemulihan dengan tetap mendapatkan nilai manfaat secara ekonomi dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Pengurangan nilai Jasa Ekosistem dipengaruhi oleh dua faktor, faktor geologis dan faktor sosial.
ADVERTISEMENT
Faktor geologis ditunjukkan dengan adanya pengaruh dari perubahan iklim terhadap kadar produktivitas primer (oksigen) dalam keterbatasan Daya Dukung dan Daya Tampung wilayah ke depannya.
Untuk nilai produktivitas primer pada tahun 2021 sebesar 2.198.677.815 kg/tahun yang bersumber dari luasan hutan, savana, terumbu karang serta ketersediaan zona pelagis, dan akan pada tahun 2045 akan mengalami penurunan menjadi sebesar 1.099.338.907 kg/tahun.
Sedangkan faktor sosial, seperti penggunaan lahan untuk pembangunan homestay yang mengakibatkan terjadinya pengurangan cadangan air tanah, banyaknya sampah ataupun limbah dari wisatawan baik di darat maupun wilayah perairan.
Pembatasan Jumlah Kunjungan Wisatawan di Pulau Komodo
Sementara itu, Dr. Irman Firmansyah, yang memimpin Tim Kajian Daya Dukung Daya Tampung Berbasis Jasa Ekosistem di Taman Nasional Komodo, mengatakan salah satu upaya konservasi di Pulau Komodo yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan pembatasan kunjungan wisatawan.
ADVERTISEMENT
Sebab, jika upaya konservasi yang ketat tidak diberlakukan, dan kunjungan wisatawan tidak dibatasi, pihaknya menilai akan terjadi penurunan signifikan dalam nilai jasa ekosistem di dalam Taman Nasional Komodo terutama di Pulau Komodo dan Pulau Padar.
"Jangan heran jika kegiatan pariwisata pun akan ikut punah. Maka dari itu, sudah saatnya untuk kita membuka mata dan bekerja sama dalam mewujudkan pariwisata yang berkelanjutan serta melestarikan ekosistem makhluk hidup di dalamnya. Ke depannya, semua hasil kajian akan dipublikasikan dalam bentuk jurnal internasional dan buku hasil kajian yang dapat diakses dan dibaca oleh khalayak umum.” ujar Dr. Irman.