Ini Pengalaman kumparan Nyobain Tur Virtual Keliling Kuningan di Jakarta Selatan

17 April 2020 17:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
com-Traveloka, ilustrasi tur Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
com-Traveloka, ilustrasi tur Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Pandemi virus corona bikin enggak bisa keluar rumah. Untuk menemani masa WFH kamu, ada banyak tempat wisata dan museum yang akhirnya meluncurkan tur virtual. NASA yang 'ruang kerjanya' di luar angkasa pun enggak ketinggalan.
ADVERTISEMENT
Dasar penasaran. Saya pun akhirnya mencoba mengikuti salah satu tur virtual yang tersedia di Jakarta. Saya memilih tur virtual bersama Jakarta Good Guide. Jakarta Good Guide adalah salah satu penyedia walking tour dengan sistem biaya pay-as-you-wish, atau bayar sukarela.
Menurut unggahan di Instagram dan situs resminya, karena sekarang sedang masa karantina, otomatis pembayarannya dilakukan melalui transfer. Nantinya, tur akan dilakukan dengan menggunakan aplikasi Zoom.
Nah, saya jadi tambah penasaran. Apa jangan-jangan ada guide yang benar-benar jalan ke lokasi tujuan tur sambil video call kita dengan Zoom? Begitu pikir saya.
Akhirnya pada Senin sore (13/4), saya meluncur langsung ke situs resmi mereka, mendaftarkan nama, dan memilih tanggal. Tak lama setelahnya, ada email berisi nomor ID dan password room yang akan digunakan.
ADVERTISEMENT
Selasa sore, tepat pukul 16.00 WIB, saya masuk ke dalam room chat Zoom sesuai dengan instruksi. Agak terlambat memang, karena mestinya sudah masuk duluan sekitar 10 menit sebelum waktu tur dimulai.
Di dalam room, sudah ada Farid yang akan menjadi pemandu tur virtual kami hari itu. Ia tengah menyapa teman-teman lain yang akan bergabung bersama kami. Setelah menyapa, ia kemudian menjelaskan aturan dalam tur virtual kali ini.
Starting point dalam tur virtual Kuningan X Ereveld Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Setelah peserta mengangguk sebagai tanda mengerti, maka tur pun dimulai. Farid mematikan microphone, sehingga hanya suaranya saja yang bisa didengarkan oleh peserta.
"Nanti bakalan ada sesi tanya jawab, ya," katanya.
Ia membuka Google Maps. Perjalanan dimulai di Pasar Festival atau yang kerennya dikenal sebagai Pasfes. Kalau tur tidak dilakukan secara daring, tempat ini jugalah yang dijadikan sebagai meeting point sebelum memulai perjalanan.
ADVERTISEMENT
Farid pun memulai tugasnya. Sebagai pemandu, ia mulai menjelaskan satu persatu yang ada di sekitaran kawasan ini. Ia bercerita soal sejarah penamaan kawasan Karet Kuningan. Kamu bisa membacanya pada tautan di bawah ini.
Setelah menjelaskan sejarah Karet Kuningan, ia kemudian menjelaskan pula tentang pahlawan bernama Rasuna Said yang dijadikan sebagai nama jalan di Kuningan, Jakarta Selatan.
"Oke, kalau begitu sekarang kita bergeser sedikit ke sini," ujar Farid seperti sedang menggerakkan rombongan tur di lapangan.
Tak lupa ia pun menggeser titik yang ada di Google Maps. Kini kami berada di GOR Soemantri Brodjonegoro yang berada tak jauh dari Pasfes.
"Oh, begini rupanya tur virtual," gumam saya dalam hati.
ADVERTISEMENT
Awal Perjalanan ini saja sudah berhasil menjawab pertanyaan dan kegundahan hati saya soal apakah ada orang yang benar-benar ke luar rumah hanya demi jadi guide untuk tur ini. Rupanya enggak. Semua dilakukan dengan nyaman dari dalam rumah.
Cuplikan film Darah dan Doa, karya Usmar Ismail yang ditayangkan dalam acara tur virtual Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Perjalanan kami pun dilanjutkan menuju Pusat Perfilman H. Usmar Ismail. Usmar Ismail dinobatkan sebagai Bapak Film Indonesia. Salah satu karyanya yang ikonik dan melegenda adalah Darah dan Doa atau yang dikenal pula sebagai The Long March of Siliwangi.
Darah dan Doa dianggap sebagai film Indonesia pertama, karena seluruh kru hingga pemainnya adalah orang-orang Indonesia. Tanggal pembuatannya, yaitu 30 Maret kemudian dijadikan sebagai Hari Film Nasional.
Supaya perjalanan makin berkesan, Farid kemudian memutarkan film itu dan memperlihatkannya pada kami. Video tersebut diputarkan dari YouTube. Ia juga menjelaskan apa saja bagian dalam film yang direstorasi, serta bagaimana penampakan sebelum dan sesudahnya.
Suasana di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Foto: Shutter Stock
Setelah menjelaskan panjang lebar dan mengajak kami menikmati tiga cuplikan karya Usmar Ismail, perjalanan tur pun dilanjutkan. Kami menyusuri kawasan Casablanca yang terowongannya terkenal karena urban legend-nya.
ADVERTISEMENT
Eits, bagian ini tentu saja tak boleh dilewatkan. Sebagai orang Indonesia yang senang hal mistis tapi takut kalau melihat sendiri, saya tentu ikut antusias mendengarkan. Kolom chat mulai ramai diisi rasa ingin tahu, penasaran, serta pertanyaan dari anggota tur.
Pelan-pelan Farid menjelaskan. Mulai dari asal mula nama kawasan Casablanca, urban legend Casablanca, macetnya daerah itu, hingga kuburan yang ada di sekitarnya.
"Mungkin sekarang kuntilanaknya yang takut, bukan kitanya, soalnya macet terus di sana," kata Farid berkelakar.
Sedikit bocoran, dari penuturan Farid, rupanya TPU Menteng Pulo yang tak jauh dari salah satu mal ternama itu dulu sangat luas. Tapi atas nama pembangunan, banyak yang akhirnya digusur dan dijadikan jalan raya atau bangunan.
Kawasan pekuburan Belanda Ereveld Menteng Pulo di Jakarta Selatan Foto: Shutterstock
Setelah mengeksplorasi kawasan Kuningan dan sekitarnya, kami pun melanjutkan perjalanan menuju titik akhir, yaitu Ereveld Menteng Pulo. Ereveld Menteng Pulo adalah kawasan pemakaman Belanda.
ADVERTISEMENT
Jauh dari kesan seram, kawasan pemakaman ini nampak terawat dan tertata dengan sangat rapi. Salib berwarna putih berdiri tegak, berbaris dengan rapi di atas hamparan rumput yang hijau.
Ereveld Menteng Pulo tak hanya diperuntukkan bagi panglima atau perwira perang Belanda saja, tetapi juga warga sipil. Salib yang bentuknya lurus dan tegas menunjukkan bahwa sang pemilik nisan adalah laki-laki.
Sementara salib dengan bentuk hiasan bunga diperuntukkan untuk perempuan. Menariknya, seluruh kuburan di tempat ini bentuknya sama. Tidak ada yang membedakan, jadi kamu tak akan tahu siapa yang lebih tinggi pangkat atau derajatnya. Semua disamakan.
Kawasan Ereveld Menteng Pulo, Jakarta Selatan Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Salib berukuran kecil menunjukkan bahwa si pemilik nisan meninggal dalam usia yang masih muda. Walau dikenal sebagai kuburan Belanda, nyatanya ada juga kawasan di dalamnya yang digunakan untuk mengubur warga sipil Indonesia.
ADVERTISEMENT
Nisan yang digunakan pun disesuaikan dengan agamanya. Penganut agama Nasrani diberi nisan berlambang salib, penganut agama Islam menggunakan batu nisan, sementara yang menganut agama Yahudi memiliki batu nisan dengan gambar bintang daud.
"Ereveld ini dijaga dan dilestarikan dengan tujuan menyampaikan bahwa perang itu tidak ada yang menang. Semua orang yang dikuburkan adalah korban. Karena mereka juga mati saat masih muda. Salibnya yang kecil itu menunjukkan bahwa mereka meninggal muda. Ada juga orang-orang Indonesia yang meninggal di sini, kebanyakan adalah tentaran KNIL," jelas Farid lagi.
Jenderal asal Belanda, Simon Spoor yang dimakamkan di Ereveld Menteng Pulo Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Ia juga lantas menjelaskan tentang salah seorang jenderal bernama Simon Spoor yang dulu menjadi pimpinan Belanda ketika bergerilya untuk mencari Jenderal Soedirman. Spoor adalah salah satu tokoh penting Belanda yang dimakamkan di pemakaman ini.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan informasi Farid, wisatawan diperbolehkan masuk dan berkunjung secara bebas ke tempat ini. Ereveld Menteng Pulo dibuka untuk wisatawan setiap harinya, kecuali pada 4 Maret dan 15 Agustus.
Pada kedua tanggal itu, masyarakat Belanda di Indonesia, khususnya di Jakarta, akan datang berkunjung dan melaksanakan acara untuk mengenang peristiwa bersejarah mereka. 4 Maret yaitu saat Belanda jatuh ke tangan Jerman, dan 15 Agustus untuk mengenang masa saat Belanda kalah perang di Eropa.
Suasana di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Foto: Shutter Stock
Usai melakukan eksplorasi ke seluruh titik Ereveld Menteng Pulo, maka berakhirlah tur virtual kami hari itu. Waktu 90 menit yang digunakan untuk tur habis tanpa terasa. Rasanya menyenangkan sekali, seperti membaca sejarah tanpa takut digurui.
Penjelasannya pun terasa ringan, sehingga mudah dipahami. Hal yang sama juga dirasakan oleh Felicia dan Cunay, dua dari 23 peserta tur virtual Kuningan X Ereveld. Kedua perempuan ini sepakat dengan saya.
ADVERTISEMENT
Mereka mengatakan tur virtual sangat menarik untuk dicoba, bahkan bisa bikin kamu jadi tertarik untuk mencoba versi aslinya. Lalu, apa kekurangannya? Menurut Felicia, tur virtual punya kelemahan pada segi koneksi.
"Mungkin tergantung koneksinya, ya, kalau koneksinya bagus, turnya jadi seru," tuturnya pada kumparan ketika tur kami berakhir.
Partisipan yang ikut dalam tur virtual Jakarta Good Guide untuk rute Kuningan X Ereveld, Selasa (14/4) Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
"Buat aku, kekurangannya, enggak bisa ngerasain langsung, masih pengin yang live. walaupun tetap bagus. Bikin orang jadi pengin ikutan yang beneran," tambah Cunay lagi.
Saya setuju pada mereka berdua. Urusan koneksi memang jadi salah satu hal utama. Kalau sinyal kamu hilang, sudah pasti informasi yang kamu dapatkan jadi ikutan hilang-hilangan.
Dan, ya, setuju atau tidak, esensi jalan-jalan terasa sangat kurang. Sebab, kamu enggak bisa langsung datang ke tempatnya, melihat sendiri kondisi kawasannya, dan merasakan vibe-nya. Cuma memang tur virtual bisa jadi pilihan bagus untuk mengobati rasa kangen jalan-jalan selama pandemi belum berakhir.
ADVERTISEMENT
Kelebihannya, tentu saja kamu enggak mesti capek jalan kaki, panas-panasan, atau basah karena keringat. Kekurangannya untuk saya yang senang berfoto tentu saja enggak bisa selfie. Sebab, apa artinya jalan-jalan tanpa selfie? Iya, enggak?
***
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!