Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Manten Kucing, Tradisi Unik Masyarakat Tulungagung Kala Meminta Hujan
9 Juni 2022 7:20 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Dianugerahi beragam budaya dan suku membuat Indonesia memiliki banyak tradisi unik yang bisa ditemui. Salah satunya adalah tradisi masyarakat Tulungagung , Jawa Timur, kala meminta hujan .
ADVERTISEMENT
Bernama Manten Kucing, ritual ini bertujuan untuk meminta hujan ketika musim kemarau panjang terjadi di daerah tersebut. Upacara adat itu biasanya dilakukan oleh masyarakat di Desa Pelem, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung, Provinsi Jawa Timur.
Dikutip laman kebudayaan.kemdikbud.go.id, Manten Kucing berasal dari dua kata, yaitu "Manten" yang dalam bahasa Jawa diartikan sebagai "pengantin", dan kucing yang menjadi bagian dari ritual tersebut. Meski dinamakan demikian, tradisi ini sebenarnya merupakan ajang memandikan kucing Condromowo di area Coban Kromo.
Candramawa sendiri merupakan kucing dengan 3 warna dasar corak. Kucing tersebut menurut adat kepercayaan masyarakat Jawa sekitar, merupakan kucing istimewa yang jarang ditemukan.
Prosesi Ritual Manten Kucing
Prosesi upacara ini dilakukan dengan memandikan dua kucing Condromowo jantan dan betina, di sebuah sumber air di bukit Coban Kromo. Sumber mata air desa ini konon dipercaya sebagai tempat bersemayamnya arwah pendiri desa.
ADVERTISEMENT
Prosesi ritual akan dimulai dengan pemilihan kucing yang diambil dari dua dukuh yang berbeda. Nantinya, dua kucing yang telah terpilih akan dipertemukan di balai desa setempat dan bersama-sama diarak menuju Coban Kromo.
Sepanjang jalan menuju tempat pemandian, kucing ini akan digendong oleh laki-laki dan perempuan yang menggunakan jarit (kain batik panjang).
Kemudian, warga desa akan mengikuti dan diiringi bermacam kesenian khas Tulungagung.
Sebelum kucing dimandikan, para sesepuh desa akan berdoa di lokasi yang dipercaya sebagai makam pendiri desa. Setelahnya, proses pemandian kucing yang hanya bisa dilakukan oleh kepala desa baru bisa dilakukan.
Kucing Condromowo tersebut dimandikan dengan air telaga yang dicampur kembang setaman yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu. Usai dimandikan, kedua kucing tersebut diarak menuju lokasi pelaminan.
ADVERTISEMENT
Pelaminan tersebut sudah disiapkan aneka uburampe, kemudian pasangan kucing jantan dan betina itu dipertemukan. Uniknya, kucing yang berada di pangkuan laki-laki dan perempuan juga memakai pakaian pengantin.
Ritual ini kemudian akan diteruskan dengan prosesi slametan, pembacaan ujub (doa dalam bahasa Jawa), dan diakhiri dengan Tiban.
Tiban merupakan sebuah tarian yang dilakukan oleh dua orang lelaki bertelanjang dada, dengan cara mencambuk satu sama lain menggunakan lidi aren.
Tak sampai di situ, Manten Kucing merupakan salah satu tradisi yang sudah dilakukan sejak lama. Bahkan, kabarnya ritual ini sudah ada sejak zaman Belanda.
Ritual Sejak Zaman Belanda
Mengutip jurnal ilmiah berjudul "Budaya Manten Kucing dalam Perspektif Hukum Islam", kebudayaan Manten Kucing diperkirakan telah ada sejak zaman Belanda, yakni antara tahun 1870-an. Tradisi ini bermula saat kemarau panjang yang melanda Desa Pelem.
ADVERTISEMENT
Pada saat yang sama seorang sesepuh Desa bernama Eyang Sangkrah, mandi bersama kucing yang bernama Condromowo di coban krama yang dianggap membuat turunnya hujan. Pada saat itu belum dikenal istilah ritual, karena belum ada tata cara tertentu pada peristiwa tersebut.
Istilah ritual baru muncul pada masa Demag Sutomedjo, yang mendapatkan wangsit untuk melaksanakan ritual memandikan kucing di coban krama pada saat terjadinya kemarau panjang. Ritual ini kemudian diteruskan oleh anak-anaknya, yaitu Lurah Suwardi dan Bapak Djani.
Perkembangan yang pesat terjadi pada Manten Kucing di masa Kepala Desa Pelem saat itu, Nugroho Agus. Sebab, kata Agus sekerandahnya lah yang mengawali ritual Manten Kucing.
Sudah Mulai Ditinggalkan
Hanya saja, ritual ini pernah mendapat kecaman dari MUI pada tahun 2010. Ritual tersebut dianggap melecehkan agama Islam.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan surat peringatan dari MUI, ritual ini dianggap melecehkan agama, karena menampilkan pernikahan kucing layaknya manusia. Persoalan ini kemudian berbuntut pada pelarangan penampilan ritual di ruang publik.
Ritual Manten Kucing kemudian perlahan-lahan memudar, karena dipengaruhi faktor internal lainnya. Salah satunya karena kuatnya pengaruh agama, yang membuat sebagian masyarakat enggan berperan dalam melaksanakan ritual.
Selain itu, berkembangnya teknologi pertanian, seperti pompa air, memungkinkan masyarakat menemukan cara lain untuk menyuplai kebutuhan air selain dari hujan. Serta perubahan komoditas pertanian dari padi ke tembakau, yang membutuhkan sedikit air juga menjadikan ritual ini akhirnya ditinggalkan.