Menelusuri 402 Km, Menjelajah Sisi Lain Jepang (1)

31 Desember 2023 9:02 WIB
·
waktu baca 11 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ini tentang perjalanan kumparan bersama seorang jurnalis senior asal Korea Selatan dan influencer dari Australia ke sisi lain Jepang. Ditemani tiga penerjemah dan seorang tour leader, kami menjelajah ke berbagai tempat wisata di wilayah San’in.
ADVERTISEMENT
Wilayah ini mencakup Prefektur Tottori dan Shimane, dua provinsi yang menghadap Laut Jepang dengan latar belakang Pegunungan Chugoku. Menyusuri perjalanan ratusan kilometer via darat, beragam wisata di San’in boleh dibilang masih sangat underrated.
Sarat dengan ketenangan, mitos, unsur tradisional dan budaya, serta keindahan alamnya, San’in sangat layak dikunjungi wisatawan yang benar-benar butuh healing dan jauh dari keramaian. Seperti apa perjalanannya? simak cerita perjalanan kumparan ke sana November lalu.
***
Suasana malam di Prefektur Tottori, Jepang. Foto: Erandhi Hutomo Saputra/kumparan
Jam di ponsel baru menunjukkan pukul 20.00 waktu setempat, ketika kami keluar dari kedai sushi di Kota Tottori, Jepang, Senin malam. Udara pun semakin dingin, karena hujan rintik-rintik mulai turun.
Sembari berjalan sekitar 500 meter menuju hotel, kami melanjutkan percakapan hangat soal latar belakang pribadi dan budaya di negara masing-masing. Di tengah perbincangan, Kim Tae-Kyung, jurnalis senior asal Korsel, tiba-tiba menyeletuk, “Kota ini sangat tenang, sepi sekali”.
ADVERTISEMENT
Celetukan Kim sama seperti yang kumparan rasakan ketika tiba di Tottori sehari sebelumnya atau Minggu malam. Dalam perjalanan ke hotel malam itu, di jalanan tak banyak kendaraan atau orang lalu lalang di trotoar.
Tapi saat itu semuanya masih asumsi. Sampai di pagi harinya kumparan mencoba jalan-jalan di sekitar hotel yang berada di tengah kota, tepat di sebelah Stasiun Tottori.
Ketika itu jam menunjukkan pukul 07.00-08.00, waktu di mana seharusnya lalu lintas lagi padat-padatnya, karena orang pergi kerja atau anak-anak berangkat ke sekolah.
Tapi yang kumparan lihat saat itu, jalanan begitu lengang. Suasana sepi itu juga terjadi di siang dan malam hari ketika kumparan selesai makan di kedai sushi. Sama sekali tidak terlihat kepadatan manusia atau macet berjam-jam yang bagi warga Jakarta dianggap biasa.
Suasana pagi hari di Prefektur Tottori, Jepang. Foto: Erandhi Hutomo Saputra/kumparan
Label daerah yang sepi itu bukan mengada-ada. Data Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi Jepang menunjukkan, Prefektur Tottori dengan luas wilayah sekitar 3.507 km2, hanya dihuni 547 ribu penduduk. Sementara Prefektur Shimane dengan luas 6.078 km2, cuma memiliki 659 ribu penduduk.
ADVERTISEMENT
Jika dibandingkan dengan Jakarta, luas Tottori 5 kali lebih besar dengan penduduk 19 kali lebih sedikit. Sedangkan Shimane lebih luas 9 kali lipat, dengan penduduk yang 16 kali lebih rendah.
Adapun jika dibandingkan dengan Prefektur Tokyo, wilayah Tottori lebih luas 1,6 kali lipat, namun dengan jumlah penduduk hanya 4 persennya. Sementara Shimane punya wilayah hampir 3 kali lipat lebih besar ketimbang Tokyo, tapi dengan jumlah penduduk tak sampai 5 persennya.
Praktis, Tottori dan Shimane adalah dua prefektur dengan populasi terendah dan tersepi di Jepang. Kedua prefektur itu berbeda dengan bayangan umum wisatawan ketika pertama kali ke Jepang.
Suasana malam di Shibuya Crossing, Tokyo, Jepang, November lalu. Foto: Erandhi Hutomo Saputra/kumparan
Di sana tidak ada kelap-kelip neon billboard layaknya di Shinjuku, gedung-gedung pencakar langit seperti di Tokyo, Osaka, dan Yokohama, atau ramainya pejalan kaki seperti di persimpangan Shibuya yang tersohor itu.
ADVERTISEMENT
Bahkan layaknya area ‘terasing’ dan demi menjaga unsur tradisionalnya, wilayah San’in tidak dilewati jalur kereta cepat Jepang, Shinkansen. Namun, bukan berarti San’in sulit diakses. Terdapat 4 bandara sebagai gerbang masuk San’in dari Tokyo, yakni Tottori, Iwami, Yonago, dan Izumo.
Jika menggunakan kereta api, bisa naik kereta sleeper malam Sunrise Express dari Tokyo menuju Izumo, atau Shinkansen yang transit di Kyoto, Osaka, dan Okayama untuk kemudian lanjut dengan kereta ekspres.
Fakta unik San’in itu semakin membuat kumparan penasaran. Selama 5 hari, kami menempuh jalur darat sejauh 402 kilometer. Kami menjelajah berbagai lokawisata di wilayah yang menurut mitologi Jepang dipercaya sebagai tempat berkumpulnya para dewa.
Perahu yang membawa wisatawan keliling di Pesisir Uradome, Tottori, Jepang. Foto: Erandhi Hutomo Saputra/kumparan

Hari Pertama

Pesisir Uradome

Senin pagi pukul 09.00, kendaraan microbus berkelir putih sudah menunggu kami di samping hotel. Tak berselang lama, kendaraan kami langsung menuju ke arah timur, mendekat ke Laut Jepang.
ADVERTISEMENT
Sekitar 20 menit perjalanan, kami sampai di sebuah bangunan di samping sungai Gamou, dekat muara Laut Jepang. Berjalan turun ke terowongan bawah tanah, kami keluar di pinggir dermaga. Di sana sudah berjejer perahu yang akan membawa kami menyusuri Pesisir Uradome.
Selama 40 menit perjalanan, kami menyaksikan berbagai formasi bebatuan yang unik. Batu-batu di Pesisir Uradome berjenis granit yang telah berusia sekitar 30 juta tahun. Batu-batu itu terbentuk ketika Jepang masih menyatu dengan daratan benua Asia, dan belum ada Laut Jepang.
Batuan granit di Pesisir Uradome Jepang Foto: Erandhi Hutomo Saputra/kumparan
Gelombang Laut Jepang dan angin musim dingin selama puluhan juta tahun, kemudian mengikis batuan granit menjadi rekahan maupun patahan. Jika cuaca bersahabat, wisatawan bisa bermain kano dan masuk ke gua-gua di bebatuan. Bahkan bisa pula memberi makan burung camar di atas perahu.
ADVERTISEMENT
Wisata perahu di Pesisir Uradome bisa dinikmati dari Maret sampai November. Di luar periode tersebut perahu tidak berlayar, karena gelombang tinggi. Tarifnya sebesar 1.500 yen atau sekitar Rp 163 ribu untuk dewasa, dan 750 yen atau sekitar Rp 82 ribu untuk anak-anak.
Selepas tur, wisatawan bisa membeli berbagai oleh-oleh khas Uradome, seperti bumbu kari dengan tinta cumi atau es krim tinta cumi.
Kepiting Laba-laba di Museum Akuarium Tottori, Jepang. Foto: Erandhi Hutomo Saputra/kumparan

Museum Akuarium Kepiting

Menjelang siang, kami bergerak ke timur menuju Museum Akuarium Kepiting (KanikkoKan). Akuarium ini gratis dan tutup tiap Selasa. Di sana, kami melihat berbagai jenis kepiting, seperti kepiting laba-laba Jepang dan kepiting salju.
Prefektur Tottori memang terkenal dengan produksi kepitingnya. Menurut salah satu pemandu wisata kami, Yasuko, orang Jepang berbondong-bondong ke Tottori setiap akhir tahun hingga Maret demi makan kepiting. Sebab, pada bulan-bulan tersebut, nelayan-nelayan di Tottori sedang panen kepiting. Kepiting yang paling menjadi buruan adalah kepiting salju Matsuba.
ADVERTISEMENT
Menurut laman San’in Tourism Organization, Prefektur Tottori adalah salah satu daerah penghasil kepiting terbesar di Jepang. Jumlah tangkapan kepiting di Tottori mencapai 45 persen dari total produksi nasional di Jepang, yaitu sebanyak 20 ribu ton per tahun.
Bahkan, Michelin Guide yang menjadi rujukan kuliner dunia menyebut Tottori sebagai surganya pecinta kepiting.
Kami pun mencoba kepiting yang jadi primadona Tottori di sebuah restoran di sebelah akuarium. Rasa dagingnya manis dan lembut.
Museum Pasir Tottori, Jepang. Foto: Erandhi Hutomo Saputra/kumparan

Museum Pasir Tottori

Selepas makan siang, kami menuju Museum Pasir Tottori. Ini adalah satu-satunya museum dalam ruangan di dunia yang didedikasikan untuk seni patung pasir. Tiket masuknya 800 yen atau sebesar Rp 87 ribu untuk dewasa, dan 400 yen atau sekitar Rp 44 ribu untuk anak dan siswa sekolah.
ADVERTISEMENT
Sejak dibuka pada 2006, museum ini sudah menampilkan 14 tema yang berbeda mengenai sebuah wilayah atau negara. Pada tahun ini, tema yang ditampilkan adalah Mesir.
Negara-negara di Asia Tenggara pernah menjadi tema di museum pasir pada 2013 lalu. Ketika itu, patung pasir yang menggambarkan Indonesia adalah Wayang dan Candi Borobudur.
Museum Pasir Tottori, Jepang. Foto: Erandhi Hutomo Saputra/kumparan
Patung pasir di museum ini dibuat oleh puluhan pemahat. Pada tema Mesir, ada 20 pemahat dari 11 negara yang terlibat. Sayangnya, tidak ada pemahat dari Indonesia.
Patung hanya dibuat dengan pasir dan air, tanpa lem atau zat sejenisnya, kemudian dipadatkan menjadi balok-balok untuk kemudian diukir. Walau tema berganti, pasir yang dipakai tetaplah sama.
Ekshibisi dengan tema Mesir ini telah ditampilkan sejak 30 Juli 2022 hingga 3 Januari 2024. Museum akan tutup per 10 Januari sampai 28 Februari 2024 untuk pemeliharaan dan berganti tema.
Bukit Pasir Tottori di Jepang Foto: Shutter Stock

Bukit Pasir Tottori

ADVERTISEMENT
Tak jauh dari museum, kami langsung menuju Bukit Pasir Tottori (Tottori Sand Dunes). Ini adalah tempat wisata paling ikonik di Tottori dan gratis. Lebih dari 1 juta wisatawan berkunjung ke sana tiap tahunnya.
Bukit Pasir Tottori membentang sepanjang 16 km, dengan luas sekitar 2 km dan puncak tertinggi bukit setinggi 50 meter.
Bukit pasir ini terbentuk selama 100 ribu tahun ketika batuan granit di Pegunungan Chugoku lapuk menjadi pasir, dan terbawa oleh Sungai Sendai yang bermuara di Laut Jepang.
Pasir-pasir itu kemudian terbawa oleh angin dan gelombang ke pesisir, sehingga membentuk bukit.
Bukit Pasir Tottori di Jepang Foto: Shutter Stock
Suguhan utama di tempat ini adalah pemandangan memukau Laut Jepang. Namun, untuk melihatnya harus mendaki bukit pasir yang cukup memakan energi. Tetapi jika sudah sampai di atas bukit, semua lelah pasti terbayar.
ADVERTISEMENT
Jika masuk musim dingin, bukit pasir semakin indah, karena warna pasir berubah menjadi putih tertutup salju
Di sana juga ada atraksi lain, seperti naik unta atau kuda, serta naik paralayang atau berselancar di pasir. Namun, beberapa atraksi tersebut perlu reservasi ke penyedia jasa setempat.
Koleksi baju zirah samurai di Museum Watanabe, Tottori, Jepang. Foto: Erandhi Hutomo Saputra/kumparan

Museum Seni Watanabe

ADVERTISEMENT
Bergerak dari bukit pasir, kumparan bersama rombongan menuju Museum Seni Watanabe. Ini adalah museum pribadi yang isinya koleksi milik seorang dokter kelahiran Tottori bernama Hajime Watanabe.
Terdapat lebih dari 30 ribu barang antik koleksi Watanabe selama 60 tahun yang dipamerkan di museum ini.
Koleksi yang menjadi sorotan ialah 250 set baju zirah samurai Jepang -hanya 100 yang dipajang- beserta pedangnya. Mayoritas baju zirah samurai itu berasal dari zaman Edo di tahun 1615-1868.
ADVERTISEMENT
Tiket masuk ke museum ini sebesar 900 yen atau sekitar Rp 98 ribu untuk dewasa, dan 300-500 yen atau sekitar Rp 33 ribu-Rp 55 ribu untuk anak-anak sampai siswa SMA.
Suasana di Museum Mainan Warabekan, Tottori, Jepang. Foto: Erandhi Hutomo Saputra/kumparan

Museum Mainan Warabekan

Beranjak dari Watanabe, kami berkunjung ke Museum Mainan Warabekan. Dari namanya, tempat ini cocok bagi wisatawan yang membawa anak-anak.
Museum dengan 3 lantai ini dulunya adalah Perpustakaan Umum Prefektur Tottori. Kemudian dipugar dan dijadikan museum sejak tahun 1995. Museum ini memiliki 2 tema, yakni lagu anak-anak dan mainan.
Di lantai 1, kami disuguhi berbagai lagu anak-anak khas Jepang sejak era pasca-perang sampai era modern. Di lantai 2, terdapat area playground dan laboratorium mainan, di mana anak-anak bisa bermain balok dsb.
ADVERTISEMENT
Sementara di lantai 3, ada berbagai macam action figure dan pajangan, serta bisa mencoba beberapa mainan tradisional Jepang.
Tiket masuk museum ini cukup terjangkau. Bagi pengunjung asing dibuktikan dengan paspor, cukup bayar 250 yen atau sebesar Rp 28 ribu, sedangkan anak-anak gratis.
Dari Warabekan, kami kembali ke hotel. Perjalanan kami keenam tempat tersebut menempuh jarak 49 km.
Museum Pir Nijisseiki di Tottori, Jepang. Foto: Erandhi Hutomo Saputra/kumparan

Hari Kedua

Museum Pir Nijisseiki

Berangkat pagi-pagi dari hotel, kami menuju timur ke arah Kurayoshi. Perjalanan selama 50 menit tak terasa karena suguhan pemandangan perbukitan dan desa-desa yang rapi.
Kami pun akhirnya tiba di Museum Pir Nijisseiki. Yap, selain terkenal dengan kepitingnya, Tottori juga tersohor sebagai salah satu prefektur penghasil buah pir di Jepang. Jenis pir yang jadi ciri khas Tottori adalah Nijisseiki yang artinya abad ke-20.
ADVERTISEMENT
Bangunan museumnya juga mirip pir. Di tengah-tengah bangunan, terdapat pohon pir raksasa dengan diameter cabang-cabangnya mencapai 20 meter. Pohon tersebut dulunya adalah pohon pir Nijisseiki terbesar di Jepang yang mampu menghasilkan 4.000 buah pir per tahun, lebih banyak 5 kali lipat dari rata-rata.
Di sana, kumparan mencicipi pir Nijisseiki yang rasanya manis berair dengan tekstur yang renyah. Ada juga es krim rasa pir. Namanya museum pir, ada beragam buah pir dari berbagai negara yang dipajang di sana.
Buat yang tertarik, tiket masuk ke museum ini cuma 300 yen atau sekitar Rp 33 ribu untuk dewasa, dan 150 yen atau sebesar Rp 17 ribu untuk anak-anak.
Wisata di Prefektur Tottori dan Shimane Jepang. Foto: Erandhi Hutomo Saputra/kumparan

Kurayoshi’s Shirakabe Storehouse

Tak jauh dari museum pir, kami berhenti di Shirakabe Storehouse. Ini adalah tempat berbagai bangunan tradisional sejak zaman Edo dan Meiji (1603-1912). Kawasan ini telah ditetapkan sebagai salah satu distrik pelestarian arsitektur tradisional Jepang.
ADVERTISEMENT
Dulunya, kawasan ini banyak digunakan sebagai tempat pembuatan bir dan penyulingan kecap. Kini berbagai bangunan di sana dipakai sebagai toko oleh-oleh, kedai teh, sampai tempat makan.
Sungai Tamagawa dan jembatan kecil di masing-masing bangunan menjadi ikon di tempat ini. Berjalan menyusuri kawasan ini seperti merasakan lagi aura masa lalu. Eits gak perlu khawatir, jalan-jalan di sini gratis, kok.
Tokoh Joker di Museum Kurayoshi. Foto: Erandhi Hutomo Saputra/kumparan

Museum Figur Kurayoshi

Istirahat sejenak dan makan siang, kami lalu bergeser ke Museum Figur Kurayoshi. Bangunan museum ini unik berbentuk lingkaran dengan 3 lantai, dan dulunya adalah sekolah dasar.
Museum ini memajang lebih dari 2.000 action figure dengan berbagai tema. Mulai dari dinosaurus, anime, sampai tokoh superhero seperti Batman, Superman, atau Wonder Woman.
Bukan cuma lihat, di museum ini juga bisa coba main bongkar pasang action figure dengan berbagai latar belakang diorama. Seperti Warabekan, museum ini cocok buat anak-anak.
ADVERTISEMENT
Tiketnya 1.000 yen atau sekitar Rp 109 ribu untuk siswa SMA sampai dewasa, dan 500 yen atau sebesar Rp 55 ribu untuk siswa SD-SMP. Gratis untuk anak di bawah 5 tahun.
Wisata di Prefektur Tottori dan Shimane Jepang. Foto: Erandhi Hutomo Saputra/kumparan

Gosho Aoyama Manga Factory (Museum Detektif Conan)

Puas main action figure, selanjutnya kami menuju Kota Hokuei yang berjarak 13 km dari Kurayoshi. Tujuan kami adalah Gosho Aoyama Manga Factory atau yang lebih dikenal Museum Detektif Conan.
Begitu masuk ke Hokuei, seakan kota ini memang didedikasikan untuk Conan, sebuah serial manga yang diciptakan Gosho Aoyama.
Di Hokuei yang merupakan tempat kelahiran Gosho, ada sekitar 25 patung soal Conan yang berjejer di jalanan dari stasiun sampai ke museum. Bahkan terdapat jalan dan jembatan yang diberi nama Conan.
Adapun di museumnya, memang didesain untuk memanjakan para penggemar Conan. Di bagian depan museum sudah ada mobil VW Beetle kuning punya Prof Agasa.
Wisata di Prefektur Tottori dan Shimane Jepang. Foto: Erandhi Hutomo Saputra/kumparan
Masuk ke museum, ada banyak hasil gambar dan manuskrip hasil coretan Gosho Aoyama, serta berbagai bentuk patung Conan. Masuk ke bagian tengah, ada replika ruang kerja Gosho Ayoama dan berbagai komik Conan di beberapa negara.
ADVERTISEMENT
Gak cuma itu, kumparan juga coba skateboard sama 3D karakter Conan. Ada pula projection mapping dan game kuis Conan. Toko suvenirnya juga lengkap jual berbagai aksesoris dan makanan tentang Conan.
Tiket masuk museum ini sebesar 700 yen atau sekitar Rp 77 ribu untuk dewasa, dan 300-500 yen atau sekitar Rp 33 ribu-Rp 55 ribu untuk siswa SD-SMA. Buat anak-anak yang masih balita gratis.
Menjelang petang, kami menuju hotel di Kota Yonago dengan perjalanan sejauh 43 km dari museum Conan. Perjalanan di hari kedua kami tempuh sejauh 101 km.
Bagaimana cerita perjalanan kumparan di San’in pada hari ketiga dan seterusnya, simak di artikel berikut: