news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Menelusuri Sejarah Tugu Yogyakarta, Ikon Kota Gudeg yang Terkenal

8 Juli 2018 8:05 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tugu Jogja Pada Malam Hari  (Foto: dok : Flickr / Kusuma Aprianto)
zoom-in-whitePerbesar
Tugu Jogja Pada Malam Hari (Foto: dok : Flickr / Kusuma Aprianto)
ADVERTISEMENT
Setiap kota pasti memiliki ikon yang menjadi identitas wilayah tersebut. Termasuk, Yogyakarta yang terkenal dengan tugu putihnya.
ADVERTISEMENT
Ikon Kota Pelajar ini berada di tengah perempatan antara Jalan Mangkubumi, Jalan Jendral Sudirman, Jalan A.M Sangaji, dan Jalan Diponegoro. Sepanjang hari, ada banyak wisatawan asing maupun lokal yang mengambil foto di sekitarnya.
Tak hanya menjadi spot foto atau ikon kota saja. Sejatinya, ada sejarah panjang dibalik megahnya Tugu Jogja.
Awalnya, bangunan ini merupakan penanda batas utara kota tua Jogja. Pertama kali didirikan pada 1755 silam oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I, sang pendiri Keraton Yogyakarta. Konon, saat dahulu Sultan melakukan meditasi, beliau menjadikan tugu ini sebagai patokan arah menghadap Gunung Merapi.
Tugu Jogja di Yogyakarta  (Foto: dok : Flickr / Rama Nusjirwan)
zoom-in-whitePerbesar
Tugu Jogja di Yogyakarta (Foto: dok : Flickr / Rama Nusjirwan)
Bentuknya pun tak seperti saat ini. Dahulu, tugu berbentuk silinder yang mengerucut ke atas, pada bagian dasar berupa pagar yang melingkar, sedangkan puncaknya berbentuk bulat, dan memiliki tinggi mencapai 25 meter.
ADVERTISEMENT
Bangunan ini menggambarkan filosofi Jawa, yaitu Manunggaling Kawula Gusti yang berarti semangat persatuan rakyat dan penguasa untuk melawan penjajahan. Semangat itu terlihat dari bentuk bangunan, yaitu silinder atau giling, dengan puncak berbentuk bulat atau golong. Maka dari itu, Tugu Jogja juga disebut Tugu Golong-Giling.
Namun pada 10 Juni 1867, gempa tektonik mengguncang Kota Gudeg dan hampir sepertiga pilar tugu patah. Peristiwa ini dikenal dalam candra sengkala yang berbunyi Obah Trus Pitung Bumi, yang berarti tujuh bumi terus berguncang, merujuk pada angka 1769 tahun Jawa.
Selama beberapa waktu setelahnya, keadaan tugu masih terbengkalai. Akhirnya, saat pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII, tugu tersebut dibangun kembali dan diresmikan pada 3 Oktober 1889.
ADVERTISEMENT
Tapi, pemerintah mengubah bentuknya menjadi persegi, sedangkan bagian puncak menjadi kerucut yang runcing. Dan di tiap sisi bawah ada semacam prasasti yang menunjukkan orang-orang yang terlibat dalam pembuatan tugu.
Pada sisi barat berbunyi, "YASAN DALEM INGKANG SINUHUN KANJENG SULTAN HAMENGKUBUWANA KAPING V", yang berarti bahwa tugu ini dibangun pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII.
Untuk sisi timur berbunyi, "INGKANG MANGAYUBAGYA KARSA DALEM KANJENG TUWAN RESIDHEN Y. MULLEMESTER", yang berarti Y. Mullemester, Residen Yogyakarta waktu itu, menyambut baik pembangunan tugu. Pernyataan tersebut menunjukkan bawah pemerintah Belanda tidak terlibat dalam pendanaan.
Sisi selatan berbunyi, "WIWARA HARJA MANGGALA PRAJA, KAPING VII SAPAR ALIP 1819". Wiwara Harja Manggala Praja berarti sengkalan yang menandai selesainya pembangunan Tugu Golong Giling yang baru.
ADVERTISEMENT
Wiwara berarti gerbang, yang mewakili angka sembilan. Harja memiliki makna kemakmuran dan mewakili angka satu. Sedangkan Manggala bermakna pemimpin, mewakili angka delapan. Dan Praja bermakna negara.
Panorama Tugu Jogja
 (Foto: dok : Flickr / rifqi_deaz)
zoom-in-whitePerbesar
Panorama Tugu Jogja (Foto: dok : Flickr / rifqi_deaz)
Sengkalan ini menunjukan angka 1819, sesuai dengan tahun yang ditulis di bawahnya. Di atas tulisan juga terdapat lambang padi dan kapas dengan tulisan HB VII, juga lambang mahkota Belanda di puncaknya. Lambang ini merupakan lambang resmi yang dipakai Sri Sultan Hamengku Buwono VII.
Sedangkan, sisi utara berbunyi "PAKARYANIPUN SINEMBADAN PATIH DALEM KANJENG RADEN ADIPATI DANUREJA INGKANG KAPING V. KAUNDHAGEN DENING TUWAN YPF VAN BRUSSEL. OPSIHTER WATERSTAAT", artinya pelaksanaan pembangunan tugu dipimpin oleh Patih Danurejo V (1879-1899) dan arsitektur tugu dirancang oleh YPF Van Brussel, seorang petugas Dinas Pengairan Belanda yang bertugas di Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Untuk ketinggian tugu pun turut berubah, awalnya 25 meter menjadi 15 meter. Bangunan juga dicat putih, maka tak heran, sejak saat itu Tugu Jogja sering disebut De White Paal atau Tugu Pal Putih.
Hingga kini, bentuk tugu masih tetap sama dan tidak ada perubahan. Hanya ada perawatan dan penataan kawasan di sekelilingnya saja.