Menengok Museum Sumpah Pemuda yang Semakin Cantik Setelah Revitalisasi

7 Mei 2018 12:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Museum Sumpah Pemuda. (Foto: .Shika Arimasen Michi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Museum Sumpah Pemuda. (Foto: .Shika Arimasen Michi/kumparan)
ADVERTISEMENT
Jika bicara tentang museum yang paling mudah diakses di Jakarta, Museum Sumpah Pemuda adalah salah satunya. Berada di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, pengunjung hanya perlu berjalan 130 meter dari halte busway PAL Putih. Gedung museum itu tampak mencolok dengan gaya arsitekur yang kuno dan bendera Merah Putih yang menjulang tinggi di halamannya sehingga mudah ditemukan.
ADVERTISEMENT
Dengan akses transportasi yang demikian mudah, kumparanTRAVEL mengira museum itu akan ramai pengunjung. Namun, ternyata kami hanya menjadi pengunjung ke-12 pada Jumat (4/5) itu. Padahal dua jam kemudian, jam operasional museum sudah berakhir.
“Biasanya bisa sampai 500 pengunjung kalau ada rombongan. Tapi kalau tidak ada, 20 orang itu sudah bagus,” tutur Dwi Nurdadi, pemandu Museum Sumpah Pemuda.
Pengunjung di Museum Sumpah Pemuda. (Foto: Shika Arimasen Michi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pengunjung di Museum Sumpah Pemuda. (Foto: Shika Arimasen Michi/kumparan)
Perlu diketahui, gedung itu merupakan lokasi Kongres Pemuda II atau yang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda. Di sanalah para pemuda Indonesia mengesampingkan ego kedaerahannya untuk berikrar mengakui satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa, yakni Indonesia.
Terdiri atas 8 ruangan, sejarah pergerakan pemuda Indonesia dipaparkan secara lengkap lewat dinding-dinding yang dipenuhi naskah informatif. Selain itu, di sana juga terdapat patung-patung yang menggambarkan aktivitas sehari-hari di gedung itu. Mulai dari diskusi mahasiswa hingga mendengar berita dari radio.
Pengunjung di Museum Sumpah Pemuda. (Foto: Shika Arimasen Michi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pengunjung di Museum Sumpah Pemuda. (Foto: Shika Arimasen Michi/kumparan)
Sebelumnya, gedung itu merupakan rumah indekos untuk mahasiswa yang dimiliki Sie Kong Liang. Sejak 1927, gedung itu menjadi sekretariat Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI). Setahun kemudian, ikrar Sumpah Pemuda dan instrumen Indonesia Raya terdengar di sana.
ADVERTISEMENT
Meski memiliki sejarah yang demikian panjang dan akses yang mudah, tampaknya tak cukup bagi Museum Sumpah menjadi ramai, seperti museum-museum di luar negeri. Menurut Dwi, sebenarnya terdapat peningkatan jumlah pengunjung yang signifikan sejak revitalisasi pada 2012 silam. Sebelumnya, jumlah pengunjung harian seringkali nihil.
Museum yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu dipercantik. Mulai dari perbaikan lighting, menambah AC, dan perangkat multimedia.
“Total pengunjung 2017 kemarin sekitar 22 ribu orang. Kalau dibandingkan dengan Museum Nasional memang masih jauh. Karena museum ini tematis, khusus bahas tentang Sumpah Pemuda,” tambah Dwi.
Pengunjung di Museum Sumpah Pemuda. (Foto: Shika Arimasen Michi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pengunjung di Museum Sumpah Pemuda. (Foto: Shika Arimasen Michi/kumparan)
Selain revitalisasi, Museum Sumpah Pemuda juga rajin promosi lewat media sosial, seperti Instagram dan Twitter sejak dua tahun terakhir. Bahkan mereka juga memiliki buletin dan komik sejarah yang bisa dibawa pulang untuk murid sekolah setelah berkunjung.
ADVERTISEMENT
Progam untuk menarik pengunjung pun diperbanyak seperti diskusi tentang tokoh sejarah, lomba sosiodrama, lomba lukis sejarah, hingga lomba pidato. Setidaknya sebulan sekali, pihak museum mengundang sekolah-sekolah untuk berpartisipasi dalam program tersebut.
Buletin terbitan Museum Sumpah Pemuda. (Foto: .Shika Arimasen Michi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Buletin terbitan Museum Sumpah Pemuda. (Foto: .Shika Arimasen Michi/kumparan)
Belum merasa cukup, Museum Sumpah Pemuda kini sedang mencari inovasi multimedia agar pembaca tak merasa lelah terus-terusan hanya membaca teks-teks yang berbaris rapat di dinding.
“Kami juga masih memikirkan media apa yang bisa diakses tanpa pemandu, yang cocok dipasang di museum ini. Yang sekiranya memudahkan, biayanya tidak besar, aman bagi anak-anak. Kalau bisa sih memanfaatkan handphone masing-masing, berbasis applikasi,” tutup Dwi.