Mengenal Keunikan Adat Suku Osing di Banyuwangi

6 Januari 2020 12:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Masyarakat Osing di Kemiren, Banyuwangi Foto: Gitario Vista Inasis/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Masyarakat Osing di Kemiren, Banyuwangi Foto: Gitario Vista Inasis/kumparan
ADVERTISEMENT
Saat traveling, akan ada banyak cerita yang kamu temukan dari tempat yang dikunjungi. Mulai dari keindahan alam hingga keanekaragaman budaya dan adat istiadat, semuanya bisa kamu dapatkan ketika traveling.
ADVERTISEMENT
Seperti halnya ketika kamu traveling ke kota Banyuwangi di Jawa Timur. Selain bisa mengunjungi tempat-tempat wisatanya yang eksotis atau berburu kulinernya yang lezat, Banyuwangi juga terkenal akan salah satu sukunya yang masih memegang teguh nilai-nilai tradisi.
Ya, kamu bisa mengenal lebih dekat dengan Suku Osing atau ‘Wong Blambangan’ yang merupakan penduduk mayoritas di Banyuwangi.
Lalu, seperti apa asal-usul Suku Osing sendiri? Yuk, simak ulasan berikut.
Asal-usul Suku Osing
Suasana di Desa Adat Osing Kemiren. Foto: Helmi Afandi/kumparan
Kamu tentu sudah tahu kalau Suku Osing merupakan salah satu suku asli Banyuwangi yang masih menjalankan tradisinya. Suku Osing sendiri merupakan masyarakat yang tersisa dari Kerajaan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di Pulau Jawa.
Tak cuma itu, Suku Osing sendiri tersebar di beberapa kecamatan di Banyuwangi. Menurut salah satu Ketua Adat Desa Osing Kemiren yang bernama Suhaimi, Suku Osing sendiri tersebar di sembilan kecamatan di Banyuwangi.
ADVERTISEMENT
Salah satunya terletak di Desa Adat Kemiren atau Desa Wisata Osing Kemiren, sebuah desa adat yang terletak di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah di Kabupaten Banyuwangi.
Beberapa waktu lalu, kumparan bersama Blibli Sahabat Perjalananmu, berkesempatan untuk mengunjungi Desa Adat Osing Kemiren. Di sana kami bertemu dengan salah satu ketua adat Desa Kemiren yang bernama Suhaimi.
Seusai menyesap tehnya yang masih hangat, Suhaimi pun bercerita mengenai asal usul Desa Adat Kemiren dan Suku Osing.
Ketua Adat Desa Osing Kemiren Suhaimi Foto: Gitario Vista Inasis/kumparan
Desa Kemiren lahir pada zaman penjajahan Belanda, tahun 1830-an. Awalnya, desa ini hanyalah hamparan sawah dan hutan milik penduduk Desa Cungking yang merupakan cikal-bakal masyarakat Osing.
“Jadi pada awal penjajahan Belanda, masyarakat Cungking itu banyak yang pindah ke sini, karena menghindari penjajahan tadi, jadi tidak mau pulang ke sana lagi akhirnya menetap di sini dan sudah dijadikan dusun,” ujar Suhaimi saat berbincang dengan kumparan beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
Lalu pada tahun 1995, Kementerian Pariwisata melakukan penelitian untuk menetapkan desa mana yang layak dijadikan sebagai Desa Adat Osing di Banyuwangi hingga kemudian, terpilihlah Desa Kemiren.
“Ternyata yang terpilih di Desa Kemiren, karena adat istiadatnya terus tentang budayanya, perilaku masyarakatnya itu masih asli dan belum tercampur budaya lain termasuk bahasa,” ungkapnya.
Desa Adat Osing Kemiren di Banyuwangi Foto: Gitario Vista Inasis/kumparan
Pria paruh baya itu pun juga menceritakan bagaimana awal mula Suku Osing di Banyuwangi. Suhaimi, mengatakan kalau Suku Osing dahulunya merupakan bagian dari Kerajaan Majapahit.
“Orang Osing sejarahnya itu kan bagian dari rakyat Majapahit, di saat runtuhnya Kerajaan Majapahit dan masuknya Islam. Jadi bagian rakyat Majapahit datang ke sini mendirikan Kerajaan Blambangan, sekitar 200 tahun lalu,” tutur Suhaimi.
Setelah Majapahit runtuh sekitar abad ke-15, Blambangan berdiri sebagai satu-satunya kerajaan penganut ajaran Hindu di Jawa. Ia pun mengungkapkan, Suku Osing sendiri merupakan bagian dari masyarakat Kerajaan Blambangan yang tersisa.
Rumah Osing di Pendopo Banyuwangi Foto: Nur Syarifah Sa'diyah/kumparan
“Nah yang tinggal di sini itulah yang mengasingkan diri dari rombongan, ndak mau kompromi, ndak mau diajak kerjasama, itu Orang Osing, jadi mau diajak siapa pun enggak mau atau Osing. Osing itu artinya tidak. Makanya Orang Osing itu ada di pelosok-pelosok. Lalu, mengasingkan diri dari segala hal, Jadi diajak siapa pun ndak mau dan selalu menolak,” lanjut Suhaimi.
ADVERTISEMENT
Bahkan ketika Belanda menjajah Indonesia pada saat itu, Suku Osing selalu menolak untuk bekerjasama dan memilih untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah.
“Karena di saat penjajahan Belanda, Orang Osing itu tidak mau diajak kerja sama. Sedangkan, Belanda membutuhkan tenaga atau kerja, nah orang Osing ndak mau itu, menolak, lebih baik mengasingkan diri dan mengadakan perlawanan,” ujar Suhaimi.
Suku Osing tak hanya dikenal sebagai salah satu suku yang masih memegang teguh nilai-nilai tradisinya. Tapi, suku ini juga memiliki bahasa tersendiri yaitu Bahasa Osing. Bahasa tersebut merupakan bahasa turunan langsung dari bahasa Jawa Kuno, yakni Bahasa Osing dan gomo-krama.
Kedua jenis bahasa tersebut digunakan oleh Suku Osing dan masyarakat Banyuwangi sebagai bahasa sehari-hari dan memiliki keunikan dalam pengucapannya yang menggunakan diftong ‘ai’, contohnya saja kata “kopi” yang dibaca menjadi ‘kopai’. Menariknya lagi, Bahasa Osing juga memiliki campuran dengan Bahasa Bali.
ADVERTISEMENT
“Kalau Bali misalnya ‘Singnawang’ itu ‘tidak tahu’ kalau di sini itu ‘Singweruh’ juga ‘tidak tahu’, jadi sama-sama ‘Sing’. Hampir ada kesamaan, karena asal-usul memang satu,“ jelas Suhaimi.
Sementara itu, ia juga mengatakan bahwa Bahasa Osing menggunakan dialek Bahasa Osing, setelah pisah perpecahan masing-masing suku jadi menciptakan bahasa dialek sendiri atau logat masing-masing.
Selain bahasa, Suku Osing juga masih mempertahankan nilai-nilai tradisi. Seperti tradisi Tumpeng Sewu, Barong Ider Bumi, dan lain sebagainya. Suku Osing juga terkenal akan Tari Gandrung-nya yang lekat dengan kisah perjuangan melawan penjajahan.
Tari Gandrung dan Kisah Perjuangan Melawan Penjajah
Penari festival Gandrung Sewu di Pantai Marina Boom, Banyuwangi, Sabtu (12/10/2019). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Tari Gandrung dikenal sebagai ikon kesenian dan budaya Banyuwangi. Keberadaannya kian populer setelah Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menyelenggarakan pagelaran tahunan yang bertajuk "Festival Gandrung Sewu".
ADVERTISEMENT
Tari Gandrung yang dibawakan dalam Festival Gandrung Sewu memiliki perbedaan dengan Tari Gandrung klasik. Tari Gandrung klasik diperkirakan lahir sejak 1700-an. Tarian yang berasal dari Suku Osing, suku asli Banyuwangi ini pada mulanya dibawakan sebagai perwujudan rasa syukur kepada Dewi Sri setelah masa panen.
“Memang kalau Gandrung itu keseluruhan Banyuwangi, tapi yang jelas gandrung itu dari masyarakat Osing. Juga termasuk syair-syair gandrung yang menggunakan Bahasa Osing, wangsalan, dan lainnya,” ujar Suhaimi.
Selain menjadi perwujudan rasa syukur, Tari Gandrung juga memiliki kisah perlawanan terhadap penjajah pada tempo dulu. Di saat melawan penjajah dan ketika para pejuang Indonesia yang terdesak ke dalam hutan, seseorang yang bernama Marsan berdandan layaknya seorang penari Gandrung untuk membantu para pejuang Indonesia.
Penari festival Gandrung Sewu di Pantai Marina Boom, Banyuwangi, Sabtu (12/10/2019). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
“Jadi Gandrung pertama itu namanya Marsan, laki-laki bukan perempuan. Jadi punya inisiatif mengenakan kostum gandrung sekaligus mata-mata. Intinya untuk mendatangi desa ke desa untuk memberikan bantuan kepada para pejuang-pejuang kita yang memprihatinkan di medan perang,” lanjut Suhaimi.
ADVERTISEMENT
Penari Gandrung yang juga merupakan pejuang itupun berpakaian layaknya wanita. Karena jika tidak berkostum layaknya seorang penari, mereka pun akan langsung ditangkap oleh Belanda. Marsan, penari Gandrung laki-laki tersebut pun akhirnya menari dari satu desa ke desa lainnya dengan membawa misi untuk membantu para pejuang Indonesia yang mengalami kesulitan.
“Karena kalau ndak menggunakan kostum Gandrung atau seperti ngamen itu akan ditangkap oleh Belanda. Jadi kalau pakai pakaian biasa akan ditangkap oleh Belanda.
Kalau untuk penari enggak, karena istilahnya ngamen, sekaligus bisa masuk ke markas Belanda,” cerita Suhaimi.
Tidak mengherankan jika penari-penari Gandrung kostumnya sedikit terbuka dengan gerakan-gerakannya yang memikat dan menarik perhatian. Hal tersebut pun bertujuan untuk menarik para penjajah dan terlena, hingga akhirnya para penari tersebut bahkan diundang oleh Belanda untuk menari gandrung.
ADVERTISEMENT
“Akhirnya dengan ditampilkan Gandrung dengan gerak-gerakan Gandrung itu seperti menghipnotis, dengan tarian-tarian Gandrung. Karena memang dulu itu penari Gandrung juga punya mantra-mantra yang menarik perhatian. Dengan asyiknya menikmati Gandrung sambil minum-minum, lupa dengan tugasnya akhirnya. Dengan saat itulah, para pejuang-pejuang kita dengan mudah menyerang,” ujar Suhaimi.
Oleh sebab itulah, Tari Gandrung memiliki nilai-nilai perjuangan melawan penjajah. Bahkan tak cuma itu saja, busana yang dikenakan para penari Gandrung juga memiliki makna tertentu.
“Ada omprok, ada juga di sini ilat-ilat, termasuk ada kemben ada simbolnya merah putih di situ. Karena Gandrung itu termasuk pejuang, jadi kostum gandrung itu ada simbol merah putih,” tambah Suhaimi.
Barulah setelah Marsan tiada, penari Gandrung pun digantikan seorang perempuan. Menurut Suhaimi, penari gandrung perempuan pertama berasal dari Desa Cungking yang sekarang menjadi Desa Kemiren.
ADVERTISEMENT
“Perempuan bernama Semi dari Desa Cungking. Itu Gandrung pertama perempuan. Mulai saat itulah dinamakan Gandrung Terob,” imbuh Suhaimi.
Dahulu, Tari Gandrung dibawakan semalam suntuk hingga subuh. Dalam pementasannya, Tari Gandrung terbagi dalam empat bagian yakni jejer Gandrung, rapenan, paju Gandrung, dan seblang subuh. Tari Gandrung ini disebut juga Tari Gandrung Terob.
Sementara yang dipentaskan dalam festival Gandrung Sewu adalah Tari Gandrung Kreasi. Gandrung Kreasi bisa dipadukan dengan drama teatrikal. Seperti yang dipentaskan dalam Festival Gandrung Sewu.
Tertarik untuk mengetahui lebih dalam serta menikmati keindahan alam di Banyuwangi? Segera beli paket perjalananmu ke Banyuwangi di Blibli karena akan selalu ada promo dan kejutan yang menanti!