Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Menikahi Saudara Kandung, Tradisi Tak Lazim Suku Polahi di Gorontalo
23 Agustus 2022 7:00 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Bagi masyarakat umum, menikah dengan saudara kandung atau inses merupakan sebuah pantangan ataupun larangan. Namun, hal itu tidak berlaku bagi suku Polahi di pedalaman hutan Gorontalo.
Suku yang tinggal di lereng Gunung Boliyohuto, Desa Tamaila Utara, Kecamatan Tolangohula, Kabupaten Gorontalo ini memiliki tradisi untuk menikah dengan sesama saudara mereka.
Menurut salah satu anggota pencinta alam dari Korpala Gorontalo, Sutriyono Pulubuhu atau yang akrab disapa Leo, masyarakat Polahi melakukan tradisi tersebut sudah sejak lama.
“Dan untuk pernikahan antarsaudara itu memang masih ada dikarenakan mereka masih awam dengan hukum Islam dan masih memakai caranya mereka membolehkan untuk nikah antar saudara,” urai Leo seperti dikutip dari kumparanNEWS.
Menurut sejarahnya, ada alasan kenapa suku Polahi melakukan praktik perkawinan sedarah.
ADVERTISEMENT
Asal-usul Tradisi Perkawinan Sedarah Suku Polahi
Menurut sejarah, suku Polahi adalah orang-orang yang memilih mengasingkan diri sejak abad ke-17 atau zaman penjajahan Belanda di Nusantara.
Mereka memilih untuk tinggal di hutan belantara serta bertahan hidup secara nomaden, daripada harus dipekerjakan oleh Belanda.
Polahi berasal dari bahasa Gorontalo, yakni lahi-lahi, yang berarti 'pelarian'.
Karena minimnya agama dan minimnya pengetahuan, suku Polahi melakukan tradisi perkawinan sedarah. Tak hanya itu, orang Polahi yang tak berjumlah banyak menjadi alasan kenapa mereka melakukan tradisi tersebut.
Mereka tidak memiliki pilihan lain selain mengawini saudara atau pun anaknya sendiri. Suku Polahi menganggap perkawinan sedarah merupakan sesuatu yang wajar.
Dari sudut pandang agama dan medis, perkawinan sedarah dilarang karena berdampak buruk pada keturunan. Anak yang dihasilkan dari perkawinan sedarah berpotensi mengalami kelainan fisik dan mental.
Namun anehnya, hal itu tidak terjadi pada Suku Polahi. Anak yang terlahir dari perkawinan sedarah lahir dalam keadaan normal, tidak cacat. Anak-anak Suku Polahi juga mengalami pertumbuhan serta perkembangan seperti orang normal.
ADVERTISEMENT
“Kalau kejiwaan, sama sekali tidak ada, idiot tidak ada. Cuma, cara berbahasa mereka kita kurang paham. Mereka berbicara dengan Bahasa Gorontalo yang asli,” kata Leo.
Meski demikian, Leo memandang ada yang berbeda dari segi fisik masyarakat Polahi dengan yang lainnya.
“Untuk dari segi anatomi, berbeda dengan kita yang biasa. Itu di belakang di bawah lehernya itu dia mirip sapi bongko. Ada itu sapi yang besar itu,” sebut Leo.
Ia juga menambahkan, pernikahan sedarah ini nyatanya perlahan mulai ditinggalkan. Namun, beberapa di antara mereka masih tetap ada yang yang menerapkan praktik ini.