Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Menikmati Gerimis Kota Lama di John Dijkstra
26 November 2017 13:06 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB

ADVERTISEMENT
Gerimis sedikit menyurutkan niat kami untuk menjelajahi Kota Lama, Semarang. Namun, gerimis pula yang menuntun kami memasuki Jhon Dijkstra Library Cafe yang terletak dekat Gereja Blenduk, tepatnya di sebelah Spiegel Bar dan Bistro.
ADVERTISEMENT
Hanya ada papan kecil berwarna putih dengan tulisan ‘John Dijkstra Library Cafe’ di depannya. Saat masuk, di sebelah kiri dan kanan hanya ada aneka buku dan tumpukan hasil pertanian yang sempat menciutkan nyali kami untuk masuk.
“Ini benar enggak sih? Kok kayaknya kita salah masuk,” ungkap Tita, salah seorang rekan saya, sebelum kami menemukan selembar kertas petunjuk yang ditempelkan di tangga sebelah kanan, Kamis (23/11).
Ruang atas yang difungsikan sebagai kafe cukup luas. Saat menapaki tangga teratas, kami langsung disambut suara merdu Ed Sheeran menyanyikan lagu Perfect, serta sebuah foto Romo John Dijkstra, lengkap dengan kata mutiaranya.
“Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskan-Nya, sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkan-Nya.”

Semasa hidupnya, John Dijkstra lebih dikenal sebagai pastor asal Belanda yang cukup “gila” berperang memberdayakan masyarakat miskin di Indonesia. Tidak hanya dermawan dan merakyat, ia juga dikenal begitu berani membela kaum petani dan nelayan pada masanya.
ADVERTISEMENT
Usut punya usut, kafe ini dulunya merupakan rumah pelayanan sosial milik sang pastor saat masih hidup. Sesuai namanya, tidak hanya menjajakan makanan, kafe ini juga dilengkapi ratusan buku yang tertata rapi di rak buku ujung kanan ruangan. Di depannya, terbentang karpet coklat yang bisa digunakan untuk bersantai ria.
Kami memilih duduk di ujung, di sebelah panggung kecil sederhana berwarna biru. Gitar-gitar yang diletakkan begitu saja, justru mengundang kami untuk mencoba memetiknya tanpa segan.

Seorang pria berambut gondrong dan berkaos hitam menghampiri kami, menyapa dan meletakkan buku coklat buatan sendiri yang mereka sebut sebagai buku menu. Meski tak serapi buatan digital, tulisan dan gambar yang digoreskan menggunakan pena secara manual benar-benar lucu.
ADVERTISEMENT
“Gila! Lihat harganya! Murah banget,” ujar Tita yang takjub dengan deretan menu yang mematok harga tertinggi hanya Rp18 ribu untuk menu Aromatic Udang lengkap dengan nasi.

Selain Aromatic Udang, kafe ini juga menyediakan aneka spaghetti, makaroni, omelet, dan mi dengan harga kisaran Rp 15 ribu saja. Sementara untuk camilan berupa aneka popcorn, aneka popstick, berbagai variasi singkong, tahu bakso, kentang, mendoan, onion rings dan salad buah hanya dipatok harga Rp 8 ribu - Rp 10 ribu saja.
Harga aneka minumannya juga tak kalah edan. Untuk memesan berbagai jenis minuman seperti milkshake, coklat, squash, jus buah, kopi, teh, dan wedang jahe, cukup merogoh kocek antara Rp 5 ribu hingga Rp 13 ribu saja.
ADVERTISEMENT
Tita memesan secangkir cappucino, sementara saya memesan lemon squash dan onion rings.Pesanan saya tulis di kertas order dalam bentuk gambar, agar sama-sama ‘nyeni’ seperti kafenya. Total, kami hanya menghabiskan Rp 30 ribu saja.

Sambil menunggu menu kami diantarkan, saya berkeliling di penjuru kafe. Maklum, setiap sisi dalam kafe ini begitu artistik dan menarik untuk dilihat dari dekat. Misalnya saja patung-patung kayu yang ternyata tidak hanya berfungsi sebagai penghias, tapi juga juga barang dagangan. Sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui.
Di dekat pintu menuju teras, terdapat satu rak kecil yang menarik perhatian dengan kelap-kelip lampu kecilnya. Saat didekati, ternyata rak kayu tersebut berfungsi sebagai etalase dagangan barang-barang handmade.

Unik. Kafe mana lagi yang menjual buku kumpulan puisi buatan tangan dari kertas HVS biasa yang ditulis satu per satu dan dijual dengan harga seribu rupiah saja. Ingin lebih serius, saya sejujurnya sangat tertarik dengan notebook -- yang lagi-lagi handmade -- yang dijual dengan kisaran harga Rp 25 ribu - Rp 50 ribu saja.
ADVERTISEMENT
Menariknya, setelah dibuka, ternyata buku-buku ini dibuat dengan kertas daur ulang! Untuk mempercantik covernya yang terbuat dari kertas dupleks, dibuatlah aneka sketsa wajah dan bentuk lain dengan pulpen dan spidol. Kreativitasnya benar-benar mencuri hati.
Tidak hanya notebook, kafe ini juga menawarkan aneka aksesoris berbahan dasar kulit seperti gelang, kalung, anting dan gantungan kunci. Aksesoris yang dibuat dengan teknik laser cut dan emboss ini dijual dengan harga Rp 5 ribu hingga Rp 10 ribu saja.
Kesan cinta lingkungan semakin terlihat dengan boks putih bertuliskan ‘Donasi Forest ArtCamp Kelestarian Hutan dan Lingkungan’ yang diletakkan di sebelah rak.

“Ini minuman dan makanannya,” ujar mas-mas gondrong sambil meletakkan pesanan kami ke atas meja, seolah memanggil saya untuk kembali duduk manis.
ADVERTISEMENT
Untuk soal rasa, mungkin memang tidak ada yang terlalu spesial. Namun, kami sangat menikmati suasana kafe yang begitu tenang. Sayang, baru mencicip sedikit, ketua rombongan kami dari PT Angkasa Pura I sudah memanggil untuk melanjutkan city tour ke lokasi selanjutnya.
Yang jelas, kami bertekad untuk kembali lagi ke John Dijkstra dan benar-benar menikmati suasana yang ada di kunjungan selanjutnya. Entah kapan itu.