Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0

ADVERTISEMENT
Di tengah cuaca dingin Jepang pada Desember 2019, kumparan menemukan kehangatan dari sebuah desa di kaki Gunung Fuji. Iyashi No Sato, demikian nama desa itu. Ia begitu hangat. Membuat kumparan teringat tanah air tercinta, yang menyediakan makanan halal dan kemudahan beribadah bagi Muslim.
ADVERTISEMENT
Sejumlah kedai makanan adalah pemandangan awal ketika kumparan menginjakkan kaki di Iyashi No Sato. Kedai-kedai berada di pelataran, dekat area parkir kendaraan, sebelum memasuki desa wisata.
"Dari Indonesia?" tanya seorang pedagang.
kumparan dan rombongan jurnalis dari Jakarta yang ikut perjalanan International Roaming Smartfren di Jepang, langsung menyambut si pedagang.
Kami melihat-lihat apa yang ia jajakan. Ada buah apel fuji segar. Sejumlah makanan dan minuman khas Indonesia, seperti teh botol yang sering dijumpai di rumah makan sampai mi instan juga sempat kumparan lihat di kedai sederhana tersebut.
Pemandu wisata kami, Dwi Andi Listiawan, mengatakan bahwa kedai itu diberi nama 'Toko Nenek' oleh orang-orang Indonesia, lantaran yang berjualan adalah sepasang nenek dan kakek.
ADVERTISEMENT
"Mampir sini. Ada ikan segar. Enak. Halal," kata si nenek.
Di kedai ini juga terpampang sejumlah tulisan promosi agar pengunjung mau mampir di Toko Nenek. Ada tulisan dalam bahasa Indonesia, dan sejumlah bahasa daerah dari Indonesia. kumparan pun berjanji untuk mampir di Toko Nenek setelah menyelesaikan tur di Iyashi No Sato.
Kedai di sana mayoritas menyediakan makanan yang pas dengan selera orang Melayu. Kedai lainnya menyediakan ubi bakar yang manis. Maknyus betul makan ubi bakar di tengah udara dingin begini, batin kumparan.
Yang paling membuat kagum, ada kedai di sana yang menyediakan musala bagi Muslim untuk salat. Ada pula sebuah area bertenda yang didesain untuk sembahyang bagi segala agama. Tempatnya luas. Bagi Muslim, itu bisa dipakai untuk salat berjamaah.
Iyashi No Sato dahulu kala adalah sebuah desa yang rumah-rumahnya memakai atap jerami dan dinding kayu. Terpampang nyata Gunung Fuji sebagai latarnya. Ia ada di pesisir Danau Saiko.
ADVERTISEMENT
Pemerintah setempat telah merestorasi rumah-rumah itu hingga kini berdiri 20 rumah dengan gaya yang dipertahankan. Untuk masuk ke sana, kita perlu mengeluarkan 350 yen per orang.
Rumah-rumah di sana punya fungsi berbeda. Ada yang menjadi pusat untuk membuat kerajinan tangan, kuil untuk ibadah warganya di masa lalu, rumah yang menyewakan kimono dan baju perang armor samurai.
Sewa kimono dan armor di sini adalah yang termurah di Jepang, hanya 1.000 yen, sementara di tempat lain bisa empat kali lipatnya atau lebih. Tidak ketinggalan, di Iyoshi No Sato ada rumah yang menjual souvenir khas Jepang, termasuk keramik dan tanaman.
Tempat terbaik memandangi Gunung Fuji dari desa ini, ada pada sebuah jembatan di atas aliran sungai yang membelah desa. Beruntung sekali kumparan bisa melihat Gunung Fuji pada Sabtu pagi, 7 Desember 2019.
Saat itu, cuaca lagi bagus-bagusnya. Diperkirakan suhu sekitar 1 derajat Celcius. Tiada awan yang menutupi Fuji. Salju di puncaknya pun terlihat jelas. Gunung tertinggi di Jepang dengan ketinggian 3.776 meter ini terpampang nyata.
ADVERTISEMENT
Kenikmatan memandangi Fuji makin bertambah dengan dukungan suara lonceng yang digantung di pintu rumah dan suara air mengalir dari sungai. Kala itu suasana di desa ini masih sepi, belum ramai pengunjung, karena kami tiba di pagi hari.
kumparan kemudian membayangkan masa lalu desa ini yang begitu damai. Sayang, desa ini tidak menyediakan fasilitas penginapan, tetapi ada sejumlah penginapan di sekitarnya yang bisa ditempuh dengan mobil.
Nama lain Iyashi No Sato adalah healing village atau desa penyembuhan. Nama itu diberi karena ia dinilai penuh dengan ketenangan. Di masa lalu, desa ini menjadi tujuan warga untuk melepas penat dari segala kesibukan dan masalah lain.
Julukan itu mungkin relevan di masa lalu, tetapi sekarang, kumparan kurang merasakan makna itu. Apalagi ketika desa mulai diramaikan oleh pengunjung jelang siang hari. Semua "penyembuhan" itu hilang ketika suasana mulai bising oleh pengunjung. Banyak pula wisatawan yang berlomba mengambilalih jembatan sebagai tempat berfoto dengan latar belakang Gunung Fuji. Walau begitu, Iyashi No Sato tetap memuaskan untuk dikunjungi bagi yang mencari ketenangan di desa Jepang.
ADVERTISEMENT
Setelah puas berkeliling , kumparan bergerak kembali menuju ke pelataran. Memenuhi janji kembali ke Toko Nenek tuk makan ikan yang dia bilang enak. Namanya ikan ayu. Ia adalah jenis ikan air tawar yang hidup di sekitar desa ini.
Si nenek mengolah ikan ini dengan cara dibakar, lalu ditambahkan garam. Rasanya? Sumpah! Enak banget. Dimakan pas masih hangat. Ikannya segar, kulitnya gurih, dagingnya empuk dan ada sedikit manisnya.
Garam yang ditaburi si nenek sengaja dibuat tidak merata di seluruh badan ikan. Sensasi rasa asin yang jarang-jarang ini justru bikin penasaran. Akan sangat nikmat ketika menemukan bagian yang kedapatan asinnya dan akan lebih mantap jika makan dengan nasi, gumam kumparan. Dasar, orang Indonesia. Ha ha ha.
ADVERTISEMENT
kumparan akan merindukan sensasi makan ikan ayu yang sedap di Iyashi No Sato sambil menikmati kemegahan Gunung Fuji. Siapa tahu juga bisa kembali ke Toko Nenek. Jika kesempatan itu datang lagi, tentu kumparan akan menyempatkan diri ibadah di desa yang damai ini. Sampai jumpa, Iyashi No Sato.