Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Alasan inilah yang membuat keberadaan batik dijaga sedemikian rupa agar tetap eksis hingga hari ini. Daerah-daerah yang menjadi cikal bakal batik pun masih bisa ditemukan seantero negeri. Desa-desa tersebut bahkan masih menjaga kesetiaan mereka pada batik.
Salah satunya adalah Kampung Laweyan, yang merupakan pusat batik tertua di Kota Solo, Jawa Tengah. Kampung ini memiliki luas area sekitar 24,83 hektare dengan populasi kurang lebih 2.500 jiwa. Sesuai predikatnya, sebagian besar penduduknya bekerja sebagai pedagang dan pembuat batik.
Di sepanjang gang Laweyan, terdapat beragam show room batik yang menjajakan kain-kain batik khas kampung ini. Tak heran, Laweyan jadi surganya bagi para pemburu kain batik.
Ini juga menjadi salah satu bukti bahwa batik—sampai kapanpun—akan selalu punya penggemar fanatik. Sehingga dari sinilah, denyut ekonomi di Laweyan juga tetap terjaga, bahkan terus berkembang.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, eksistensi ini tidak cukup memuaskan bagi Wiji, salah satu pendiri Forum Pengembangan Kampung Batik Laweyan. Putra asli Laweyan ini tetap tak puas meski batik di kampungnya laris manis diburu wisatawan, bahkan bisa terjual sampai negara seberang.
Menurut Wiji, kalau hanya sekadar mencari kain batik, Solo punya banyak sentra batik, tidak harus ke Laweyan. Wisatawan juga bisa menemukan batik dengan mudah di PGS, di Kauman, bahkan di Pasar Klewer.
Namun, menurutnya jual beli batik justru membuat orang tidak peduli dengan makna batik yang sesungguhnya. Mereka hanya tahu batik itu bagus dan uangnya besar.
Padahal, bagi Wiji, pemahaman soal batik seharusnya jadi hal yang paling penting, apalagi bagi Laweyan yang berpredikat sentra batik tertua. Itulah alasan yang mendasari Wiji mendirikan Forum Pengembangan Kampung Batik Laweyan.
ADVERTISEMENT
“Orang jualan yang penting laku, tapi sering mengenyampingkan edukasinya. Yang saya inginkan, orang datang ke Laweyan mau belanja atau tidak, itu silakan. Tapi paling tidak, pulang dari Laweyan, orang bisa membedakan mana batik, mana bukan batik. Itu aja,” ungkap Wiji saat berbincang dengan kumparan di Pendopo Kelurahan Laweyan, Solo, belum lama ini.
Wiji gusar, sebab jangankan memaknai batik, saat ini masih banyak masyarakat yang tidak bisa membedakan antara kain batik yang asli dengan kain batik tiruan.
Orang hanya sebatas tahu, kain yang mereka gunakan punya motif batik. Lalu mereka lantas beranggapan, bahwa mereka sudah mengenakan busana batik. Padahal menurut Wiji batik adalah proses.
“Yaitu proses mulai dari lilin panas yang ditorehkan dengan alat bernama canting atau cap dari tembaga pada sebuah kain yang kemudian menghasilkan motif bermakna. Itu baru batik,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Sehingga, jika sebuah kain bermotif batik, tetapi dalam prosesnya tidak dilukis menggunakan canting atau cap tembaga, artinya kain tersebut tak layak disebut batik.
“Ya namanya sablon. Tiruan batik itu kain bermotif batik. Bahasa alusnya printing, padahal, ya, sablon. Itulah yang dikonsumsi masyarakat,” ujar Wiji.
Untuk itu, sejak 2004 Wiji mulai melawan kegusarannya dengan lantang menyuarakan edukasi soal batik, bahwa batik tidak hanya sekadar produk kain bermotif saja. Namun, batik juga bicara soal proses panjang di dalamnya, yang mengandung nilai otentik dan tidak boleh diganggu gugat.
Dengan kata lain, keberadaan batik sablon menurut Wiji telah menciderai batik itu sendiri. Tentunya, ini juga mengancam keberadaan para pembatik.
Apalagi kini banyak oknum yang hanya peduli dengan uang besar dari menjajakan batik. Alhasil segala cara digunakan untuk meraup uang, batik sablon dilabeli batik asli supaya mereka bisa pasang harga tinggi.
ADVERTISEMENT
Karena tak ada pengetahuan yang tepat, wisatawan pun terbuai dengan rayuan-rayuan marketing para pedagang. Banyak yang mengira bahwa kain motif batik yang mereka beli merupakan kain batik.
“Contoh kecilnya lihat saja itu para Pegawai Negeri Sipil (PNS). Yang penting asal seragam, yang penting motifnya batik. Tapi nyatanya belum tentu batik, kan?” tutur Wiji.
Rantai ketidaktahuan inilah yang ingin diputus oleh Wiji dan penggiat lainnya di Forum Pengembangan Kampung Batik Laweyan.
Mengedukasi Wisatawan Lewat Workshop
Salah satu langkah konkret yang dilakukan Wiji adalah dengan mengadakan wisata workshop batik di pendopo Kantor Kelurahan Laweyan. Workshop ini menyediakan kursus singkat selama dua jam kepada wisatawan. Mereka bisa langsung praktik membatik dan membawa pulang hasil karyanya.
ADVERTISEMENT
Dalam workshop inilah Wiji membagikan edukasi yang tepat mengenai batik. Sore itu, saat kumparan berkunjung ke pendopo, Wiji menunjukkan empat buah kain berbingkai kayu, berukuran 50 cm x 50 cm.
Masing-masing kain berbingkai yang mulai lusuh tersebut memuat tahapan proses membatik. Wiji mengambil kain pertama, memperlihatkan kain putih dengan gambar ikan di dalamnya. Kain ini mewakili tahap awal membatik.
Tahap awal membatik ditandai dengan menggambar pola. Setelah itu, masuk tahap kedua dengan membatik pola menggunakan lilin cair atau disebut malam. Di sini Wiji juga menjelaskan cara yang benar untuk memegang canting, sama persis seperti memegang pensil ataupun pena, katanya.
Canting dipegang tidak boleh terlalu di ujung, sebab nanti goresan lilin jadi kurang mantap. Tidak boleh juga terlalu dekat dengan gayung, karena cairan lilin cukup panas.
ADVERTISEMENT
“Batik yang benar, lilinnya tembus sampai belakang kain. Begitu juga dengan warnanya. Makanya batik yang asli, terlihat dari motif dan warnanya hampir sama persis di kedua sisi kain. Tapi kalau lihat ada batik, di satu sisinya bagus, satunya pudar sudah jelas itu sablon,” jelas Wiji.
Jika goresan lilin atau malam tersebut tidak tembus, maka proses batik akan diulang di sisi sebaliknya. Proses ini biasa disebut nerusi.
Tahap selanjutnya adalah proses pewarnaan. Ketika goresan lilin mantap, maka goresan tersebut akan jadi sekat antara ruang satu dengan ruang yang lain. Ini membuat proses pewarnaan jadi mudah dan detail.
Kemudian, kain ini dilumuri cairan untuk mengunci warna. Lalu, kain direbus untuk meluruhkan cairan lilin atau malam. Proses peluruhan ini disebut lorot. Hasilnya, lilin yang luruh tersebut meninggalkan jejak warna putih, alias bagian kain yang tidak tersentuh warna.
ADVERTISEMENT
“Sebenarnya butuh waktu 24 jam agar warna itu kering sempurna,” ujar Wiji.
Di Laweyan ini, ada ratusan corak batik yang sudah dipatenkan, salah satu ciri khasnya adalah pilihan warna yang terang. Selain masih menjaga motif-motif batik tradisional, Wiji menyatakan, para pembatik juga menciptakan motif dan corak warna baru, mengikuti tren mode yang berkembang. Tujuannya supaya batik tetap up to date dan tak ketinggalan zaman.
Buka Kelas Workshop dengan Harga Terjangkau
Untuk mengikuti kelas workshop ini, Forum Pengembangan Kampung Batik Laweyan menyediakan pilihan paket, mulai kelas untuk rombongan hingga perseorangan. Harganya pun cukup terjangkau, berdasarkan kategori yang disediakan, yaitu membatik pada kain berukuran 50 cm x 50 cm atau 30 cm x 30 cm.
Untuk kain 50 cm, harga dibedakan dari jumlah peserta. Untuk rombongan lebih dari 50 orang, biayanya Rp 85 ribu untuk turis asing dan Rp 60 ribu untuk turis lokal. Sedangkan jika hanya datang berlima atau bahkan hanya berdua, harganya dibandrol Rp 100 ribu untuk turis asing dan Rp 75 ribu untuk turis lokal.
ADVERTISEMENT
Lalu, untuk ukuran kain 30 cm, harga juga dibedakan sesuai jumlah peserta. Untuk rombongan lebih dari 50 orang biayanya Rp 65 ribu untuk turis asing dan Rp 40 ribu untuk turis lokal. Namun, jika hanya datang sendiri maupun berdua, harganya menjadi Rp 75 ribu untuk turis asing dan Rp 50 ribu untuk turis lokal.
Dengan biaya yang cukup terjangkau ini, wisatawan bisa merasakan langsung proses membatik, dan juga dapat pengetahuan baru. Nantinya, uang tersebut akan masuk sebagai kas desa, dan digunakan seutuhnya untuk kelestarian Kampung Batik Laweyan.
Meski demikian, Wiji tidak menampik ada banyak show room batik alias pengusaha batik yang juga membuka kelas serupa. Namun, menurut Wiji, lagi-lagi tujuannya berbeda.
ADVERTISEMENT
Kelas-kelas yang ada di masing-masing toko seolah hanya jadi pemanis dan daya tarik untuk wisatawan. Sedangkan kelas batik di forum ini, ditujukan lebih dari sekadar agar turis mau belanja.
“Kan di forum kami tidak jualan batik . Kami hanya menyediakan edukasi. Ada juga paket wisata untuk mengunjungi pabrik-pabrik batik yang ada di Laweyan, kami bisa fasilitasi itu,” tutup Wiji.