Menilik Tradisi Minum Kopi di Warkop Masyarakat Belitung, Ada Sejak Abad ke-19

19 Februari 2021 7:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Panorama keindahan pantai wisata di Bangka Belitung. Foto: Pemprov Banga Belitung
zoom-in-whitePerbesar
Panorama keindahan pantai wisata di Bangka Belitung. Foto: Pemprov Banga Belitung
ADVERTISEMENT
Negeri Laskar Pelangi di Belitung memiliki destinasi wisata alam yang memukau. Selain pesona alam, Belitung juga dikenal dengan tradisi menyesap kopi. Bahkan, Belitung dikenal dengan surganya warkop atau warung kopi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tak diketahui sejak kapan masyarakat Melayu Belitung mulai mengkonsumsi kopi sebagai minuman. Dilansir laman resmi Kementerian Kebudayaan RI, masyarakat Melayu Belitung sudah memiliki tradisi minum kopi sejak berabad-abad lalu, seiring dengan proses Islamisasi di Belitung yang dibawa oleh para ulama dari Pasai, Aceh, yaitu Syekh Abubakar Abdullah atau lebih terkenal dengan gelar Datuk Gunong Tajam.
Jauh sebelum adanya coffee shop atau tempat ngopi mewah, warkop memang sudah menjadi wadah untuk menyatukan seluruh generasi dan kasta dalam satu meja di negeri Laskar Pelangi tersebut. Di Belitung, warung kopi adalah satu wahana yang mempertemukan berbagai usia, latar belakang suku, agama, dan profesi.
Ilustrasi kopi rempah Foto: Shutter Stock
Wilayah di Belitung yang terkenal sebagai gudang warung kopi adalah Manggar. Beberapa warung kopi yang terkenal adalah warung kopi Lohen, warung Kopi A Ngi, dan Warung Kopi Atet. Warung kopi tersebut rata-rata berdiri sejak tahun 1949.
ADVERTISEMENT
Pada zaman dulu, warung kopi tersebut berperan untuk melayani para pencinta kopi dari kelas menengah ke atas seperti elite China dan Eropa. Sedangkan, warung kopi kelas bawah berada di dekat lokasi pertambangan timah. Salah satunya warung kopi Kong Djie, terletak di Siburik, Tanjung Pandan.
Biasanya, mereka akan mengawali aktivitas dengan minum kopi di pagi hari. Kemudian, siang hari setelah makan siang, mereka juga akan 'nongkrong' di warung kopi.
Bagi masyarakat Belitung, tradisi menyesap kopi seperti ibadah yang harus dilakukan pagi hingga malam.
Kebiasaan tersebut tetap tumbuh meskipun penambangan skala besar yang dulu dioperasikan NV Billiton Maatshcappij dan PN Timah telah berhenti beroperasi pada 1992. Namun, situasi tersebut justru membuat Belitung semakin dibanjiri warung kopi.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan lika-liku perjalanan warung kopi di Belitung, warung kopi di Manggar dan Tanjung Pandan memiliki fungsi, dan karakteristik yang berbeda. Warung kopi di Tanjung Pandan lebih tua dibanding dengan Kota Manggar, karena Kota Tanjung Pandan lebih dulu berkembang daripada Manggar.
Dilihat dari fungsi dan karakteristiknya, warung kopi di Tanjung Pandan memiliki peran dan pengunjung yang berbeda-beda. Di sana, pengunjung menggunakan warung kopi sebagai tempat bekerja, tawar-menawar, budaya, dan politik.
Pantai Tanjung Tinggi Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Sedangkan, warung kopi di Manggar memiliki karakteristik pengunjung yang seragam. Di Manggar, fungsi sebagian warung kopi ganda, tidak hanya sebagai warung yang menyuguhkan minuman berkafein, warkop juga digunakan sebagai penyedia prostitusi.
Warung kopi di Belitung memang turut menjadi saksi perkembangan pulau itu sejak abad ke-19 pada masa kolonial Belanda. Tradisi menyeruput kopi di Belitung pertama kali dilakukan saat para penduduk bekerja sebagai pekerja tambang timah.
ADVERTISEMENT
Tradisi minum kopi perlahan mengubah pandangan itu. Warung kopi kian dibutuhkan.
Belakangan, kedai kopi modern di kota besar menjamur, begitu pula di Belitung. Bahkan, tradisi minum kopi menjadi identitas Kabupaten Belitung.
Pada 2009, Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung meresmikan Manggar sebagai kota 1.001 kopi. Saat itu, Museum Rekor Dunia Indonesia mencatatkan Manggar sebagai kota dengan rekor 17.070 orang meminum kopi bersama.
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona).