Merasakan Riuh Rendah London Usai Serangan Bertubi-tubi

15 Juli 2017 20:32 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pesona London (Foto: Maria Sattwika/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pesona London (Foto: Maria Sattwika/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Setelah setidaknya merasakan satu minggu tinggal di Edinburgh, saya memutuskan untuk pergi ke London, salah satu kota yang identik sebagai melting pot di tanah Inggris. Saya sempat menimbang dua tiga kali untuk berkunjung, sebab serangan beberapa waktu ini tengah ‘gencar’ dilancarkan, mulai dari penusukan pejalan kaki hingga penabrakan dengan mobil ke arah kerumunan.
ADVERTISEMENT
Bayangan serangan di Westminster pada bulan Maret lalu (22/3) sekejap menyergap. Amankah saya di sana? Tanya saya dalam hati. Namun, sudah jauh saya tiba di sini, sehingga saya hapus tuntas rasa takut itu. Tentu haruslah saya kecap London barang satu dua hari saja.
Saya pun memilih Megabus, moda bus internasional yang akan mengantar saya ke London. Waktu perjalanan dari Edinburgh menuju London membutuhkan waktu sekitar 9 jam. Perjalanan yang diiringi awan mendung itu pun akhirnya dimulai pada pukul 11:35 waktu Inggris.
Saya tiba di Victoria Bus Station yang terletak di pusat kota London pada pukul 9:30 malam waktu Inggris. Hujan deras pun menyambut. Barry, kawan saya saat kuliah, begitu baik hati menjemput dan bersedia mengantar ke daerah penginapan saya di 122 East Ferry road, London Timur. Dengan menggunakan moda underground tube dan DLR, saya dan Barry melintasi London Pusat menuju London Timur.
Pesona London (Foto: Maria Sattwika/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pesona London (Foto: Maria Sattwika/kumparan)
“Kalau mau jalan-jalan di sini baiknya sebelum gelap ya, Wika,” imbau Barry saat saya usai menceritakan rencana perjalanan saya.
ADVERTISEMENT
“Tahu sendiri kan, di sini lagi rawan,” tambahnya.
Suasana mencekam memang masih kuat merundung kota ini. Deretan serangan London yang bertubi-tubi membuat masyarakat setempat menjadi semakin waspada. Masih terekam jelas di benak, serangan London di Borough Market baru saja terjadi pada Juni lalu (3/6), merenggut tujuh nyawa dan melukai 48 lainnya.
Serangan teror di London. (Foto: REUTERS/Toby Melville)
zoom-in-whitePerbesar
Serangan teror di London. (Foto: REUTERS/Toby Melville)
Sebelum serangan Borough Market, terdapat rangkaian serangan lain yang turut membentuk trauma di masyarakat London. Salah satunya terjadi di area Westminster, kala seorang pria menusuk pejalan kaki yang sedang menyusuri jembatan. Westminster sendiri merupakan salah satu pusat wisata di London, di mana Big Ben dan London’s Eye tegak berdiri. Area yang umumnya dipadati tersebut pun beralih menjadi salah satu tempat yang terasa mencekam.
Teror di London (Foto: REUTERS/Neil Hall)
zoom-in-whitePerbesar
Teror di London (Foto: REUTERS/Neil Hall)
Saya pun tiba di 122 East Ferry Road dengan koper dan jaket yang basah akibat diguyur hujan. Tumben, hari itu hujan. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya yang katanya panas terik dan cenderung tak berangin, London hari itu terasa begitu dingin.
ADVERTISEMENT
Di sekitar area apartemen tempat saya menginap, terlihat beberapa tempat belanja ASDA yang buka 24 jam. Di sebelah apartemen, terdapat Tesco --serupa dengan ASDA-- yang juga masih terang benderang dan dipadati oleh beberapa penduduk lokal.
Saya melihat banyak perempuan berjilbab yang berbelanja. Beberapa di antaranya datang dengan teman perempuan yang terlihat kaukasian--sebutan untuk orang kulit putih. Saya cukup takjub. Beberapa di antara mereka terlihat akrab, tak seperti apa yang saya baca di beberapa surat kabar sebelum berkunjung ke London.
Saya pun melenggang sambil cukup bertanya-tanya dalam hati, lalu berniat untuk menanyakan pada sepupu yang akan saya temui di London sebentar lagi. Kira-kira, seperti apa sesungguhnya London paska serangan tersebut?
Pesona London (Foto: Maria Sattwika/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pesona London (Foto: Maria Sattwika/kumparan)
Ari, sepupu yang sudah berbaik hati menampung saya di apartemennya pun mulai bercerita. Suasana di London sebetulnya tak banyak berbeda usai serangan yang bertubi-tubi. Setiap pekerjanya tetap bekerja normal, polisi tetap berjaga, penjual es krim tetap digandrungi turis dan anak-anak. Seakan tak ada ketakutan yang berarti setelah serangan terjadi.
ADVERTISEMENT
“Ya sebetulnya semua kayak biasa aja, kayak normal aja,” kata Ari. Namun, lanjutnya lagi, terdapat sedikit sensitivitas yang rasanya meningkat ketika ada seorang Muslim. Kebetulan, apartemen Ari terletak dekat dengan sebuah pemukiman yang banyak ditempati oleh mereka yang beragama Muslim. Sebelum serangan marak, dengan mudahnya mereka berbaur dengan penduduk sekitar.
Interaksi, baik secara online maupun offline pun berjalan cukup baik. Ari bercerita, masyarakat yang tinggal di sekitar permukimannya terhubung melalui grup Facebook guna bertukan informasi terkait kejadian hingga kegiatan yang berlangsung di sekitar permukiman mereka. Namun, setelah rentetan serangan terjadi di London, terdapat rasa enggan dan sensitif yang sedikit muncul dalam diri tetangganya terhadap mereka yang tinggal di permukiman Muslim tersebut.
ADVERTISEMENT
“Memang ada sedikit sensitivitas yang muncul sih setelah serangan, kayak ada yang bahas-bahas masalah serangan di grupnya,” lanjut Ari.
Mendengar hal tersebut, saya pun mencoba berkeliling kota London, tepatnya ke area Westminster, Buckingham Palace, hingga Leicester Square untuk melihat suasana London dan melihat tindak tanduk masyarakat selepas rentetan serangan itu.
Saya pun berkunjung ke area Westminster. Di sana, Big Ben dan London’s Eye langsung terlihat setelah keluar dari underground. Rancak sekali. Hari itu, saya pikir area tersebut tak akan terlalu ramai karena masih di tengah hari kerja. Namun ternyata, pikiran saya salah. Area tersebut begitu ramai dipadati oleh turis, bahkan oleh masyarakat lokal sendiri.
Pesona London (Foto: Maria Sattwika/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pesona London (Foto: Maria Sattwika/kumparan)
Terlihat beberapa turis dari Jepang, Tiongkok, dan beberapa negara Eropa seperti Jerman dan Belanda yang tampak yakin menyusuri jembatan ke arah London’s Eye. Hari itu, daerah Westminster ramainya bukan main. Saya pun memerhatikan suasana sekitar. Terdapat beberapa polisi yang siaga menjaga gedung Parliament of The United Kingdom.
ADVERTISEMENT
Beberapa orang sempat melihat saya dengan tatapan yang sedikit curiga dan siaga --mungkin karena wajah saya yang cenderung ke-Timur Tengah-an. Walau begitu, saya tetap melangkahkan kaki menyusuri daerah Westminster menuju ke Buckingham Palace.
Keramaian yang sama pun saya temui. Bahkan, saking ramainya, begitu banyak yang memilih untuk duduk-duduk karena istana tersebut tak bisa diakses secara lebih dekat. Beberapa orang terlihat bertabrakan satu sama lain akibat penuhnya area pedestrian di sekitar Buckingham palace. Terlihat beberapa aparat kepolisian setempat sibuk membenahi pembatas jalan dan area taman bunga di sekitar istana.
Sudah merasakan keramaian di Buckingham Palace, saya pun melenggang menuju Leicester Square dan daerah China Town yang terletak berdekatan satu sama lain. Dari Buckingham Palace ke China Town bisa ditempuh dalam waktu 40 menit dengan jalan kaki. Saya pun akhirnya memilih untuk berjalan kaki, sambil melihat area sekitar.
ADVERTISEMENT
Tiba di sana, keramaian semakin menggila. Turis dan masyarakat lokal melebur di satu area. Tak sekali pun terlihat sepi pengunjung. Bahkan, beberapa restoran China all you can eat juga sangat penuh, hingga pengunjung harus antri hingga 20 menit untuk mendapatkan tempat duduk.
Pesona London (Foto: Maria Sattwika/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pesona London (Foto: Maria Sattwika/kumparan)
Sudah puas memerhatikan sekitar China Town, saya pun melangkahkan kaki ke area Leicester Square. Di sana, keramaian yang sama pun kembali saya temui. Saya cukup heran, di tengah maraknya serangan, nyatanya London tetap hidup dengan keramaian yang ada di dalamnya. Masyarakatnya pun terlihat tak khawatir.
Di sana, terdapat beberapa area semacam toko oleh-oleh, kedai kopi, food truck yang menjual hotdog dan es krim, hingga kedai bir yang ramai dipadati oleh masyarakat lokal dan turis. Saya pun semakin lama semakin melebur dalam keramaian tersebut. Rasa enggan dan takut kini tak lagi ada. Suasana Leicester Square malam itu begitu cantik. Matahari bersinar, lengkap dengan desiran angin musim panas yang sejuk.
ADVERTISEMENT
Sejenak saya menikmati suasana musim panas di London di sebuah taman kota. Sekitar 15 menit saya habiskan untuk mengamati sekitar dan mencoba merekam seluruhnya di benak. Kamera pun disiapkan untuk mengabadikan suasana Leicester yang hangat diterpa sinar matahari sore.
Pesona London (Foto: Maria Sattwika/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pesona London (Foto: Maria Sattwika/kumparan)
Setelah menyaksikan sendiri, saya paham betul bahwa London tak ‘mengenal’ rasa takut. Walau sempat mendapat teror bertubi-tubi, kota ini terasa begitu hidup dengan hiruk pikuk masayarkatnya. Suasana ramai yang riuh dengan percakapan dan tawa menjadi salah satu impresi yang saya dapatkan ketika mengamati London.
Tuntas sudah saya mengitari pusat London hari itu. Saya pun akhirnya melangkahkan kaki menuju Westminster Underground Station untuk kembali pulang ke 122 East Ferry Road.
Hingga tiba-tiba, seorang ibu tua --dengan sengaja-- menabrak dan mendorong saya ke arah jalan raya. Hampir terjatuh, sontak saya berteriak, ‘Hey!’.
ADVERTISEMENT
Dia pun berhenti, membalikkan badannya, lalu dengan aksen Britishnya ia berbisik pelan, “terrorist,”.
Saya terdiam. Hampir marah, namun akhirnya tertahan. Sepintas saya ingat rangkaian serangan yang diterima London bertubi-tubi mulai dari awal tahun 2017.
Tak memaklumi, tapi setidaknya sedikit memahami: luka London akibat serangan itu masih ada, masih begitu lebar terbuka bagi sebagian warganya.
Pesona London (Foto: Maria Sattwika/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pesona London (Foto: Maria Sattwika/kumparan)