Pengalaman Wisatawan Work From Bali: Mahal tapi Mumet Hilang

7 Juni 2021 17:01 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Keindahan Pura Ulun Danu, Bali  Foto: Shutter stock
zoom-in-whitePerbesar
Keindahan Pura Ulun Danu, Bali Foto: Shutter stock
ADVERTISEMENT
Work From Bali (WFB) tengah menjadi jurus pemerintah dalam mengayuh kembali industri pariwisata yang terpuruk akibat pandemi COVID-19. Work From Bali diperuntukkan bagi para pekerja yang ingin bekerja jarak jauh, sambil menikmati keindahan Pulau Dewata.
ADVERTISEMENT
Skema pariwisata jenis baru ini dinilai dapat membantu mendongkrak ekonomi masyarakat, khususnya dibidang pariwisata dan ekonomi kreatif. Salah satu wisatawan yang mencoba Work From Bali adalah Dara Puspita.
Dara, Content Marketing Lead di sebuah perusahaan online travel agent (OTA) di Jakarta, menjadi satu dari sekian banyak para pekerja yang menikmati bekerja jarak jauh dari Bali. Bahkan, ia mengaku sudah WFB sejak 2020, sebelum Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan merencanakan program WFB bagi PNS.
Ilustrasi wisatawan di Bali Foto: Dok. Kemenparekraf
Ia mengungkapkan bahwa bekerja di Bali memberikan pengalaman berbeda, terlebih setelah sekian lamanya aturan bekerja di rumah yang diberlakukan perusahaan tempat ia bekerja.
''Aku tahun lalu hampir 3 bulan, tahun ini bolak-alik jakarta - Bali sih. Kayak hampir tiap bulan ke Bali aku semenjak maret kemarin pas PSBB sudah dilonggarin,'' kata Dara, saat dihubungi kumparan, Senin (7/6).
ADVERTISEMENT
Dara menyebut alasannya memilih Bali sebagai tempat ia bekerja, karena menjadi destinasi wisata yang mudah dijangkau seperti Jakarta. Selama di Bali, Dara menyewa vila untuk satu bulan penuh, dan terkadang berpindah-pindah untuk mencari suasana baru.
''Karena aku familiar sama Bali dan kayanya i can find nearly everything in Bali just like in Jakarta. Terus kalo aku tiba-tiba harus balik, flights dari Bali to Jakarta itu banyak jadi enggak perlu worry gitu,'' tutur Dara.
Wisatawan beraktivitas di Pantai Tanah Lot, Tabanan, Bali. Foto: ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo
Bali dinilai Dara menjadi obat dan memberikan kenyamanan di tengah pekerjaan yang membuat stres. Selain itu, di masa yang penuh batas ini, ia juga menyebut bekerja jarak jauh di Bali membantunya melebarkan relasi dan membuat konten traveling di media sosial.
ADVERTISEMENT
''Aku kan kerja di bagian creative ya, dengan kerja dari tempat baru dapat suasana baru dan lebih jadi enggak mumet aja sih. Karena banyak inspirasi baru, ketemu teman-teman baru juga. Aku juga bikin konten-konten di Instagram sih biasa sharing-sharing traveling gitu jadi sekalian juga,'' tutur Dara.
Selain itu, pesona keindahan yang dimiliki Bali juga memberikan suasana baru untuknya dibanding Jakarta. Meski begitu, Dara kerap 'pulang kampung' ke Jakarta agar tidak terlalu betah tinggal di sana.
''Kalo di Jakarta soalnya aku lebih sering diam di kamar, kalaupun keluar maybe most of the time cuma ke mall atau cafe. Kalo di Bali even working from the cafe you get to see the ocean, paddy field, and feel the breeze gitu. Such a pleasant time to enjoy aja menurutku ya, tapi tetep bukan untuk long term - karena aku merasa kalo lama-lama di Bali bawaannya pengin liburan,'' ujar Dara.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi junior milenial backpacking ke Bali Foto: Shutter Stock
Selain suasana dan pengalaman baru, Dara mengungkapkan bahwa Work From Bali juga mengubah gaya hidupnya sehari-hari dibanding saat di Jakarta. Latar penghijauan dan pantai yang membentang di Pulau Dewata membuat dirinya lebih tenang.
''Karena aku merasa vibes di bali lebih peaceful dan enggak terlalu fast paced gitu. Aku nyoba yoga gitu, tapi bukan jadi daily routine, lebih kaya rejuvenate body and mind aja,'' tutur Dara.
Meskipun demikian, ia menyebut bahwa biaya hidup di Bali cukup mahal, terlebih untuknya yang harus menyewa hotel dan vila. Walau begitu, Dara merasa biaya yang ia keluarkan cukup imbang dengan keuntungan yang ia dapat selama Work From Bali. Ia juga mengaku tetap produktif meski bekerja rasa liburan di Bali.
ADVERTISEMENT
''Untuk akomodasi sebenernya lebih mahal dari pada di Jakarta, karena aku sewanya vila juga, ya. Cuma yang aku rasa sih selama ini worth it sih, karena aku juga dapet banyak benefit or pleasure selama WFB, juga tetap produktif kerja,'' ungkapnya.
Selama berada di Bali, Dara selalu beplesiran di destinasi-destinasi wisata Pulau Dewata, salah satunya di wilayah Kintamani. Ia memilih Kintamani karena wilayahnya yang sejuk dan tenang.
Ilustrasi turis Bali saat berada di Ubud Foto: Shutter stock
Bukan hanya Dara, Kelik Wahyu Nugroho, juga ikut tren Work From Bali di tengah pandemi. Pria yang bekerja di sebuah media tersebut mengatakan bahwa WFB membuat suasana bekerjanya lebih menyenangkan, sebab ia bisa bekerja sambil berlibur alias workation.
Meski bekerja jarak jauh di destinasi wisata, tak membuat Kelik hanyut dengan suasana liburan. Sesekali jika bosan di hotel, Kelik biasanya bekerja sambil berburu sunset di pantai dekat tempat ia tinggal.
ADVERTISEMENT
''Aku kadang kerja di kamar tapi kalau bosan bisa ke restoran penginapan, kalau pas kerja di luar tentunya tetap pakai masker dan taat prokes. Kadang aku juga melipir berburu sunset ke pantai haha. Karena emang deket banget cuma jalan sekitar 7 menitan sambil bawa laptop,'' ungkap Kelik.
Untuk biaya hidup selama Work From Bali, Kelik menghabiskan biaya sekitar Rp 3,5 juta untuk akomodasi, yakni tiket pesawat dan penginapan selama satu minggu. Ia memperkirakan biaya WFB selama seminggu berkisar Rp 3 juta hingga Rp 5 juta, tergantung akomodasi yang dipilih.
''Untuk keperluan makan, aku menyarankan pilih cari akomodasi yang ada minibar atau dapur. Jadi bisa masak sendiri, tentunya ini bisa menekan pengeluaran makan. Tapi sekali dua kali makan lewat pesan antar juga enggak apa-apa,'' tutur Kelik.
Ilustrasi wisatawan di Bali Foto: Dok. Kementerian Pariwisata
Ia pun mendukung penuh terkait rencana pemerintah yang ingin menjadikan Bali sebagai destinasi wisata bagi para pekerja jarak jauh. Sebab, menurutnya Work From Bali menjadi salah satu angin segar untuk membantu pariwisata Bali kembali berdenyut.
ADVERTISEMENT
''Yes, 100% agree with this policy. Dari yang kita tahu Bali seramai apa, jadi sunyi dan sepi banget. Yang paling mencolok sih pertokoan pada tutup, terus ada yang kasih diskon gede-gedean agar tetap survive. Kasihan sih intinya,'' jelas Kelik.
''Emang sih pemerintah pingin balance antara upaya pencegahan penularan sama memulihkan perekonomian. Aku rasa pariwisata Bali dan daerah lain harus bisa kembali berdenyut, namun yang jelas pemda bener2 menjalankan secara maksimal prokes dan upaya pencegahan penularan corona,'' imbuhnya.
Meski begitu, ia tetap merasa khawatir dengan longgarnya protokol kesehatan yang dilanggar oleh wisatawan asing. Ia menyebut bahwa masih banyak wisatawan yang berkeliaran tanpa masker, padahal sudah banyak peringatan peraturan protokol kesehatan.
''Bahkan aku sempat minder karena bermasker sendiri pas masuk ke sebuah toko gtu, sebenernya imbauan taat prokes (pamflet, spanduk) udah ada, stafnya juga pakai masker, cuma kurang aktif mengingatkan pengunjung yang datang,'' tutup Kelik.
ADVERTISEMENT
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona).