Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Pengamat Sebut Gen Z Pilih Pengalaman Budaya Lokal di Desa Wisata saat Liburan
6 Februari 2025 11:08 WIB
ยท
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Generasi Z atau Gen Z disebut lebih gemar mencari pengalaman lokal yang dianggap menyenangkan di desa wisata . Pengamat pariwisata dari Universitas Andalas, Sari Lenggogeni, mengatakan bahwa saat ini Gen Z memiliki ketertarikan untuk menjadi bagian dari sebuah budaya lokal.
ADVERTISEMENT
Mengutip survei yang dilakukan sebuah platform pemesanan hotel, Gen Z mencari tempat wisata yang mengadopsi konsep berkelanjutan dan pengalaman lokal, yang kerap ditawarkan desa wisata.
Misalnya, mulai dari tempat penginapan yang tradisional, menggunakan sepeda yang dipakai warga sehari-hari, dan aneka kebiasaan lainnya. Gen Z, katanya, juga gemar datang ke destinasi seperti desa wisata yang dianggapnya tertata, yang mempunyai perkumpulan (komunal) yang spesifik.
"Misalnya apakah komunal dapur, ruang tamu komunal, macam-macam, ya. Itu bisa diciptakan, sehingga orang merasa ada interaksinya tinggi, ada kebersamaan di sana. Ini yang harus dibuat atraksi-atraksi inovatif, dan kesiapan kebersihan, tata kelolanya, serta tata letak infrastruktur," kata Sari, seperti dikutip dari Antara.
Menurut Sari, minat yang besar tersebut tidak boleh membuat pengelola desa wisata melupakan prinsip lokal. Semua pihak yang terlibat diharapkan tetap menjunjung tinggi nilai, kepercayaan, serta aturan-aturan yang ada untuk diikuti para wisatawan.
ADVERTISEMENT
"Misalnya tata ruangnya seperti di Bali juga ada, kan, ada asas-asas. Itu prinsip dalam membangun suatu daerah, di Toba pun juga seperti itu. Ini yang harus dijaga. Ini harus dikawal bersama secara bottom up dan top down," tuturnya.
Gen Z Suka Pengalaman Slow Living
Hal lain yang juga dicari oleh wisatawan Gen Z adalah pengalaman slow living (hidup dalam laju lambat), yang dianggap menenangkan. Para wisatawan menganggap bahwa slow living yang otentik datang dari nilai-nilai yang diterapkan oleh desa wisata itu sendiri.
Biasanya wisatawan yang ingin melakukan slow living bakal menghabiskan waktu sekitar tujuh hari atau lebih, untuk menetap menikmati kebudayaan dan keseharian warga lokal di satu tempat.
Berbeda dengan fast tourism (berwisata dalam waktu kunjung singkat) yang hanya menghabiskan waktu selama tiga atau empat hari.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, Sari berharap Kementerian Pariwisata (Kemenpar) dapat memperhatikan kluster desa wisata dan menentukan mana desa yang harus dijadikan prioritas, termasuk desa-desa yang sudah mendapatkan penghargaan internasional.
Langkah tersebut dinilai dapat mendorong wisatawan untuk melakukan kunjungan ulang, sehingga pertumbuhan ekonomi terutama dari sektor pariwisata dapat dijaga.
"Jadi, harus dijaga, kesiapan destinasi harus siap, ini yang harus jadi fokus Kementerian Pariwisata. Misalnya berapa yang kemarin dapat penghargaan ASEAN Awards, itu harus segera jadi perhatian. Bisa dikurasikan seperti apa wisatanya, bisa jadi bench marking atau edukasi," pungkas Sari.