Penjor Hingga Ngurek, Ini 5 Tradisi Saat Hari Raya Galungan dan Kuningan

16 September 2020 18:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana Hari Raya Galungan di Pura Agung Jagatnatha, Bali.
 Foto: Denita Br Matondang/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana Hari Raya Galungan di Pura Agung Jagatnatha, Bali. Foto: Denita Br Matondang/kumparan
ADVERTISEMENT
Bagi masyarakat Hindu di Bali, Hari Raya Galungan dan Kuningan menjadi penanda menangnya kebaikan atau keburukan. Saat Hari Raya Galungan, masyarakat Bali memiliki beragam tradisi unik yang biasa dilakukan.
ADVERTISEMENT
Hanya saja di tengah pandemi seperti sekarang, beberapa tradisi tersebut pun dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan ketat.
Meski memiliki cara yang berbeda-beda di tiap daerahnya, tradisi Hari Raya Galungan dan Kuningan yang dilakukan masyarakat Hindu di Bali memiliki tujuan yang kurang lebih sama, yaitu menolak bala, mengucap syukur, dan meminta berkat pada Sang Pencipta.
Berikut kumparan rangkum tradisi yang biasa digelar masyarakat Bali saat Hari Raya Galungan dan Kuningan tiba.

1. Memasang Penjor

Penjor yang ramai menghiasai jalanan di Bali saat Galungan Foto: Shutterstock
Penjor merupakan ciri khas otentik yang menjadi penanda bahwa Hari Raya Galungan dan Kuningan telah tiba. Di Bali, ketika Hari Raya Galungan dan Kuningan dirayakan, kamu akan dengan mudah menemukan penjor di setiap sisi jalan dan di depan rumah penduduk setempat.
ADVERTISEMENT
Sekilas, penjor terlihat seperti janur penanda di acara pernikahan, namun jika diperhatikan dengan seksama, penjor memiliki sampian atau gantungan yang diisi dengan hasil alam dan kain sebagai wujud syukur dan bakti pada berkat Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi).
Saking pentingnya penjor pada Hari Raya Galungan dan Kuningan, biasanya para penjual penjor akan kebanjiran pesanan jelang momen berharga itu.
Bagi masyarakat Hindu, penjor memiliki arti bahwa manusia hendaknya selalu melihat ke bawah dan menolong orang lain yang belum beruntung, sama seperti ujung penjor yang melengkung ke bawah.

2. Perang Jempana

Tradisi Jempana pada Hari Raya Galungan dan Kuningan di Bali Foto: Shutter Stock
Jika kamu berkesempatan menyambangi Bali saat Hari Raya Galungan dan Kuningan tiba, tidak ada salahnya untuk menyambangi Desa Paksebali, Klungkung. Pasalnya, warga Banjar Panti Timrah di desa ini setiap tahunnya mengadakan tradisi yang dikenal sebagai Perang Jempana.
ADVERTISEMENT
Dikenal juga sebagai Dewa Masraman, Perang Jempana telah ada sejak tahun 1500. Perang Jempana biasanya dilakukan setiap 210 hari, tepat pada hari Saniscara Kliwon Kuningan. Saat melakukan tradisi Perang Jempana, penduduk setempat akan mengusung tandu (jempana) yang berisi sesajen dan simbol Dewata.
Puncak dari tradisi ini adalah Ngambeng Jempana, yaitu atraksi saling dorong antarwarga yang membawa jempana sambil diiringi suara tabuhan gong baleganjur. Para warga yang terlibat biasanya sudah berada dalam kondisi tidak sadar.
Begitu Ngambeng Jempana berakhir, pemangku agama akan memercikkan air suci. Dan para dewa yang dilambangkan dengan uang kepeng dan benang tridatu dikeluarkan dari jempana, serta kembali ditempatkan ke dalam Pura.

3. Ngurek

Tradisi Ngurek saat Hari Raya Galungan dan Kuningan di Bali Foto: Dok. Wikimedia Commons
Mirip-mirip dengan debus, tradisi Ngurek juga menggunakan senjata tajam untuk melukai diri ketika partisipan berada dalam kondisi kerasukan. Dilaksanakan hampir di setiap daerah di Bali, tradisi Ngurek yang juga dikenal sebagai Ngunying yang dipercaya sebagai manifestasi pengabdian pada Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan yang Maha Esa).
ADVERTISEMENT
Berasal dari kata 'Urek', Ngurek dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai melubangi atau menusuk. Biasanya orang-orang yang melakukan tradisi Ngurek akan menusuk dirinya dengan keris, tombak, atau senjata tajam lainnya.
Tapi uniknya, ia tidak akan merasa kesakitan, karena telah diberi kekuatan oleh roh-roh para leluhur. Jangankan berdarah, meski telah ditancapkan berulang-ulang dengan kuat, mereka yang kerasukan roh tersebut bahkan tidak akan tergores sedikit pun.
Meski begitu, Ngurek tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, sebab salah satu syaratnya tidak boleh ujub atau sombong. Tidak ada yang tahu kapan Ngurek mulai dilaksanakan, tapi konon, tradisi ini hadir pada zaman kejayaan kerajaan. Saat raja ingin membuat pesta syukuran pada Sang Pencipta, sekaligus menyenangkan hati para prajurit.
ADVERTISEMENT

4. Ngelawang Barong

Tradisi ngelawang di Denpasar, Bali. Foto: Cisilia Agustina Siahaan/kumparan
Memperingati Hari Raya Galungan dan Kuningan, anak-anak kecil yang berdomisili di Bali umumnya melakukan tradisi Ngelawang Barong. Masyarakat Hindu di Bali percaya melalui Ngelawang Barong dapat menolak bala, mengusir roh jahat, dan melindungi penduduk dari wabah penyakit.
Berasal dari kata 'Lawang' yang berarti pintu, Ngelawang dilakukan dengan mengarak barong bangkung dari rumah ke rumah sambil diiringi suara gamelan. Dilansir dari berbagai sumber, kabarnya menurut kepercayaan Hindu, Barong adalah lambang perwujudan Sang Banas Pati Raja yang melindungi manusia dari bahaya.
Pemuda menampilkan tarian saat mengikuti Parade Ngelawang Barong untuk memperingati Hari Raya Galungan dan Kuningan. Foto: ANTARA FOTO/Fikri Yusuf
Sedangkan tradisi Ngelawang Barong berasal dari mitologi Dewi Ulun Danu yang berubah jadi raksasa yang membantu penduduk desa mengalahkan roh jahat. Dahulu, karena dianggap sebagai ritual yang sakral, apabila bulu barong tercecer, maka warga akan memungutnya dan menjadikannya sebagai benda bertuah.
ADVERTISEMENT

5. Gerebeg Mekotek

Tradisi Grebeg Mekotek di Bali Foto: Shutter Stock
Gerebeg Mekotek merupakan tradisi tolak bala yang dilakukan masyarakat Hindu yang berdomisili di Desa Adat Munggu, Kecamatan Mengwi, Kab. Tabanan, Bali. Dilaksanakan secara rutin setiap 210 hari sekali menurut kalender Bali, Gerebeg Mekotek dilakukan tepat pada Hari Raya Kuningan, atau 10 hari setelah Hari Raya Galungan.
Dulunya tradisi Mekotek dijadikan sebagai acara penyambutan pasukan Kerajaan Mengwi yang menang perang melawan Kerajaan Blambangan. Pada zaman penjajahan Belanda, tepatnya pada tahun 1915, tradisi Mekotek sempat dihentikan karena pihak kolonial takut akan ada pemberontakan.
Sayangnya keputusan itu tidak berbuah baik, karena penduduk terkena wabah penyakit, sehingga akhirnya setelah melalui perundingan yang alot, Mekotek diizinkan untuk digelar kembali. Tradisi Mekotek dilakukan dengan kayu sepanjang 2,5 meter yang telah dikupas kulitnya.
ADVERTISEMENT
Kayu digunakan untuk menggantikan peran tombak untuk menghindari terjadinya luka parah. Penduduk yang mengikuti tradisi Mekotek akan dibagi menjadi beberapa kelompok. Dan dari anggota kelompok, akan dipilih orang yang berani sebagai komando untuk memberi aba-aba dari atas puncak piramida tumpukan kayu.
Ia akan mengarahkan kelompoknya untuk menabrak kelompok lainnya. Selain untuk menolak bala, Mekotek juga dipercaya sebagai permohonan untuk mendapat berkah dan meminta kesuburan untuk lahan pertanian penduduk setempat.
***
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)