Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Sejarah Stasiun Gambir yang Disebut Bakal Pensiun: Berawal dari Halte Sederhana
7 Juni 2022 13:48 WIB
·
waktu baca 6 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Sebagai salah satu stasiun besar di Jakarta, Stasiun Gambir ternyata menyimpan sejarah yang cukup panjang. Dilansir dari laman resmi PT. Kereta Api Indonesia (KAI), stasiun yang selalu dipadati pemudik tiap tahunnya tersebut nyatanya dulu adalah sebuah halte di era kolonial.
Pembangunan Stasiun Gambir berawal dari gagasan pembangunan jalur kereta api di Batavia (Jakarta) yang mencuat tahun 1846.
Kala itu, Gubernur Jenderal Hindia Belanda J. J. Rochussen, mengusulkan pemerintah untuk membangun jalur kereta api dari Jakarta menuju Buitenzorg (Bogor).
Tujuan pembangunan jalur tersebut guna kepentingan ekonomi, serta politik dan komunikasi pemerintahan. Ditinjau dari segi ekonomi, keberadaan layanan kereta api sebagai pengangkutan komoditas, utamanya perkebunan dari pedalaman di Priangan ke pelabuhan di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Secara politik, terdapat Gedung Algemeene Secretarie (saat ini Istana Bogor) di Bogor, yang merupakan tempat kedudukan Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan pusat administrasi pemerintahan.
Pemasangan Jalur Kereta Api Jakarta-Bogor
Menindaklanjuti usulan tersebut, Pemerintah Kerajaan Belanda akhirnya mengutus David Maarschalk, seorang militer, Letnan 1 Zeni, untuk melakukan survei dan menyusun rencana pemasangan jalur kereta api Jakarta-Bogor.
Pasca-hampir dua dekade, gagasan pembangunan jalur kereta api di Jakarta akhirnya terealisasi.
Tepatnya pada tahun 1864, perusahaan kereta api swasta, Nederlandsch Indisch Spoorweg Maatschapij (NISM) mendapatkan konsensi pembangunan berdasar surat keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Gouvernement atau GB) Nomor 1 tanggal 27 Maret 1864 dan Nomor 1 tnggal 19 Juni 1865 serta surat keputusan Raja Belanda (Koningklijk Besluit) tanggal 22 Juli 1868.
Hingga kemudian, Jumat, 15 Oktober 1869 dimulai pembukaan pembangunan jalur kereta api Jakarta-Bogor, yang ditandai dengan upacara yang dihadiri Gubernur Jenderal P. Myer.
ADVERTISEMENT
Proyek sepanjang 56 km tersebut dipimpin oleh Ir. J. P. Bordes yang terbagi menjadi tiga bagian, yakni Jakarta-Weltevreden, Weltevreden-Meester Cornelis, dan Meester Cornelis-Bogor. Selain itu, turut dibangun pula jalur simpangan ke Meester Cornelis (Jatinegara) dan simpangan ke Kleine Boom (Pasar Ikan).
Antara Batavia menuju Weltevreden (kini wilayah Jakarta Pusat) sepanjang 6 km diresmikan NISM pada 15 September 1871. Di saat bersamaan, dibuka jalur simpang ke Pasar Ikan. Sebagai tempat perhentian di Weltevreden, NISM membangun Halte Koningsplein sebuah bangunan kecil yang sederhana.
Penamaan tersebut karena halte ini berada di tepi timur Koningsplein atau Lapangan Raja (saat ini Kawasan Silang Monas).
Kemudian, NISM membangun sebuah perhentian baru di Weltvereden. Adalah Stasiun Weltevreden yang dibuka pada 4 Oktober 1884 yang terletak beberapa ratus meter arah utara dari Halte Koningspein.
ADVERTISEMENT
Keberadaan Stasiun Weltevreden otomatis mengganti peranan Halte Koningsplein. Stasiun baru ini memiliki atap besi yang ditopang tiang besi cor. Stasiun ini melayani perjalanan kereta jarak jauh seperti Bandung dan Surabaya.
Asal-usul Stasiun Gambir
Sejak awal abad ke-20, pemerintah Hindia Belanda telah merencanakan perbaikan kondisi perkeretaapian di Jakarta dan sekitarnya. Akan tetapi, hal tersebut bertentangan dengan kenyataan bahwa perkeretaapian di Jakarta sebagian dimiliki oleh pemerintah, dan sebagian lagi dikelola oleh perusahaan swasta.
Sampai pada tahun 1913, pemerintah melalui perusahaan kereta api negara Staatsspoorwegen (SS) mengambil alih jalur kereta api Jakarta-Bogor milik NISM.
Lantas, SS memulai perbaikan kondisi perkeretaapian di Jakarata secara menyeluruh. Salah satu agendanya membangun jalur ganda, serta membuat jalur kereta api layang yang menanjak dari Gondangdia melewati Weltevreden, melintas Sawah Besar jalur kereta api turun kembali. Jalur layang tersebut tetap mengikuti jalur yang sudah ada.
ADVERTISEMENT
Sebagai jalur layang, akan dibangun pula stasiun baru di Weltevreden. Stasiun baru tersebut akan ditempatkan sedemikian rupa, sehingga selama proses pembangunan tidak mengganggu operasional Stasiun Weltevreden. Keseluruhan rencana tersebut disampaikan oleh kepala insinyur, Koc H dalam sambutannya tanggal 4 Agustus 1917.
Sayang, usulan pembangunan jalur kereta api layang yang dikemukakan Koc H tidak terlaksana.
Sebagai gantinya, Stasiun Weltevreden diperbesar dan dirancang memiliki halaman depan yang lebih luas. Perubahan juga dilakukan sepenuhnya di emplasemen stasiun.
10 tahun kemudian, pada tahun 1928 Stasiun Weltevreden mengalami metamorphosis, menjadi bangunan bergaya art deco. Di sisi utara stasiun dilakukan perpanjangan atap sepanjang 55 meter.
Setelah bangunan baru Stasiun Jakarta (kini Stasiun Jakarta Kota) rampung, kegiatan tersebut dipindahkan di Stasiun Jakarta.
ADVERTISEMENT
Kurun tahun 1925-1930 dilakukan elektrifikasi di Jakarta, tak terkecuali di Weltevreden. Rencana elektrifikasi mulai dicetuskan sekitar tahun 1915 dan dimulai pekerjaan tahun 1921.
Pada tahun 1937, nama Stasiun Weltevreden diganti menjadi Stasiun Batavia Koningsplein. Saat itu juga Stasiun Batavia Koningsplein sudah menjadi stasiun tersibuk di Hindia Belanda. Hampir seluruh kereta jarak jauh utama dan semua kereta ke Bogor singgah di stasiun ini.
Penamaan Stasiun Gambir
Stasiun Batavia Koningsplein ini yang dikenal dengan Stasiun Gambir. Terkait penamaan Gambir belum diketahui kapan pastinya, diduga sekitar tahun 1922.
Saat itu, masyarakat menyebut Koningsplein dengan Lapangan Gambir, konon kabarnya karena di lapangan tersebut tumbuh Pohon Gambir.
Pohon yang getahnya dapat disadap sebagai bahan baku pembuat gambir, salah satu bumbu untuk menyirih.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, ada versi lain mengenai penamaan Stasiun Gambir. Menurut laman resmi Bawaslu, nama 'Gambir' diambil dari nama seorang letnan Belanda keturunan Prancis bernama Gambier.
Menjadi Stasiun Layang
Pada tahun 1976, Gubernur Jakarta Ali Sadikin dan Gubernur Jawa Barat Solihin GP melaksanakan kerja sama pembangunan Kawasan Jabotabek (Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi).
Pengembangan Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Botabek) diharapkan mampu menjadi pemukiman baru untuk menampung penduduk Jakarta yang sudah overload.
Pemerintah melalui Departemen Perhubungan Darat bersinergi dengan Jepang meningkatkan pelayanan transportasi di Jabotabek.
Kerja sama tersebut adalah membuat “Sistem Kereta Api Komuter Modern” guna menumbuhkan peran kereta api di wilayah Jabotabek. Salah satunya adalah proyek pembangunan jalur layang kereta api Jakarta-Manggarai.
Dalam pelaksanaan proyek jalan layang Jakarta-Manggarai Jepang menunjuk tim dari JICA (Japan International Cooperation Agency).
ADVERTISEMENT
Rencana pembangunan tercatat dalam rencana induk kereta api Jabotabek tahun 1981. Jalur layang sepanjang 8,5 kilometer tersebut akan dibangun 5,1 meter di atas permukaan tanah.
Nantinya, jalur layang akan memiliki jalur ganda yang dilengkapi dengan elektrifikasi dan sinyal otomatis sehingga KRL, KRD, dan kereta jarak jauh dapat melintas.
Sebagai tempat pemberhentian, di jalur layang dibangun pula stasiun baru, termasuk Stasiun Gambir. Pelaksanaan pembangunan Stasiun Gambir dibarengi dengan pembangunan jalur layang segmen B, dari Gondangdia sampai ke Jalan Ir. H. Juanda.
Pembangunan ditandai dengan pemancangan tiang pertama di segmen B, tepatnya di sebelah selatan Stasiun Gambir yang lama pada 17 Desember 1986.
Pemancangan tiang dilakukan oleh Menteri Perhubungan Roesmin Nurjadin dengan disaksikan oleh Dirjen Perhubungan Darat, Gubernur Jakarta dan Dirjen Perhubungan Laut.
ADVERTISEMENT
Stasiun Gambir yang baru dibuka untuk umum bersamaan dengan peresmian jalur pada Jumat, 6 Juni 1922.
Peresmian tersebut dilakukan oleh Presiden Soeharto, dengan ditandai dioperasikan Kereta Api Listrik (KRL). Sebelumnya, presiden terlebih dahulu membeli karcis di loket Stasiun Gambir.
Stasiun baru ini memiliki tiga lantai, lantai pertama untuk loket penjualan tiket, lantai kedua sebagai ruang tunggu penumpang yang dilengkapi toilet, pertokoan serta restoran dan beberapa kantor pegawai, sedang lantai merupakan peron bagi para penumpang.
Arsitektur bangunan atas terlihat sederhana dengan atap bersusun dengan sentuhan tradisional, joglo.
Tak kalah menarik, bangunan stasiun baru di jalur layang masing-masing memiliki warna yang berbeda, dirancang bersama Fakultas Seni Rupa ITB.
ADVERTISEMENT
Stasiun Gambir berwarna dominan hijau lantainya pun dipasang porselen mengkilap dengan warna hijau. Selain Monas dan Istiqlal, bangunan baru Stasiun Gambir menjadi bangunan yang mudah dikenali di jantung kota Jakarta.