Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Ribuan orang berdesakan satu dengan yang lainnya. Tak peduli terik matahari yang menyengat, atau peluh mengucur membasahi pakaian, mereka memadati jalan raya. Ponsel dan kamera mengacung bergantian. Mencoba mengambil gambar terbaik dari atraksi utama, manusia pilihan para dewa, tatung.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, ratusan tatung berbaris rapi sambil berparade dalam perayaan Festival Cap Go Meh Singkawang. Tak peduli seberapa banyak atau seberapa gila juru foto mengabadikan mereka, mereka tetap fokus dengan atraksi ekstremnya.
Untuk menunjukkan kekebalan tubuhnya ketika dimasuki roh dewa atau leluhur, mereka menyayat diri dengan benda-benda tajam, seperti pisau atau mandau, senjata tajam khas Kalimantan. Beberapa dari mereka ada pula yang mencoba mengiris lidah sedangkan yang lainnya menusuk-nusukkan kawat dan jarum berukuran besar ke mulut dan pipi.
Tatung dalam perayaan festival Cap Go Meh Singkawang merupakan atraksi utama yang paling dinanti-nantikan. Kehadiran tatung dalam perayaan hari ke-15 Imlek ini pula yang menjadikan nama Singkawang mendunia.
Sebab, tatung sudah mulai punah, bahkan di negara leluhurnya. Kini yang masih tersisa dan berparade setiap tahunnya cuma bisa kamu temukan di Kota 1000 Kelenteng ini.
ADVERTISEMENT
Menurut laman Tionghoa Info, kata tatung berasal dari dialek Hakka. Secara harafiah, ‘Ta’ berarti tepuk atau pukul dan ‘Tung’ berasal dari kata Thungkie atau orangnya.
Sementara itu, pengertian tatung yang digunakan di Singkawang mengacu dari bahasa Mandarin, Tiao Tong. ‘Tiao’ berarti lompat dan ‘Tong’ berasal dari kata Tong Ji yang diartikan sebagai anak-anak ilahi. Inilah yang menjadi dasar mengapa tatung dikenal sebagai manusia yang dimasuki roh dewa atau leluhur.
Pengertian ini sejalan pula dengan informasi yang diterima kumparan dari Norman, Kepala Bidang Ekonomi Kreatif Singkawang yang baru saja purnatugas pada 1 Januari 2020 lalu.
“Kalau kita katakan tatung itu seperti apa. Ya, tatung itu manusia biasa yang dirasuki roh,” ujarnya kepada kumparan.
Saat tatung mulai beraksi, tubuh mereka akan ‘dipinjam’ oleh dewa atau datuk untuk dijadikan sebagai alat komunikasi atau perantara dengan masyarakat di sekitarnya. Sorot matanya akan berubah menjadi kosong.
ADVERTISEMENT
Orang-orang ini akan jadi jauh berbeda. Raut wajahnya akan mengeras. Beberapa di antaranya bahkan mesti ditandu, tak boleh sembarangan berjalan kaki di jalanan.
Kehadiran tatung dalam perayaan Festival Cap Go Meh di Singkawang menjadi sebuah elemen penting. Menurut Kepala Bidang Pariwisata, Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kota Singkawang, Supardiyana S.H., tatung adalah media utama Cap Go Meh.
“Perayaan ini untuk menangkal gangguan, mengusir roh-roh jahat dan peniadaan kesialan,” tuturnya kepada kumparan. Roh dari khayangan yang diundang untuk bersemayam dalam raga tatung itu sangat beragam.
Kebanyakan dari mereka adalah tokoh-tokoh penting, para pahlawan, dan orang-orang hebat. Baik dari legenda Tiongkok seperti panglima perang, hakim, sastrawan, pangeran, dan orang suci, hingga orang-orang pintar dalam suku Dayak yang sering dijuluki sebagai datuk.
ADVERTISEMENT
Asal-Usul Tatung dan Kehadirannya di Singkawang
Tatung dalam perayaan Festival Cap Go Meh Singkawang dikenal memiliki aura magisnya tersendiri. Setiap atraksi dan pertunjukan yang mereka pertontonkan membawa nuansa mistis yang menegangkan.
Ketika roh dewa dan datuk berada dalam diri mereka, tatung mulai kehilangan kesadaran. Mereka tak menjadi dirinya sendiri lagi, meski hanya dalam beberapa saat.
Keberadaan tatung di Kota Singkawang, Kalimantan Barat sudah terjadi selama ratusan tahun. Norman menyebutkan bahwa tatung ada sekitar tahun 1737, atau ketika bangsa China datang ke Kota Singkawang.
“Yah, intinya sejak ada China itulah adanya tatung. Adanya China ada tatung, tidak ada China tidak ada tatung,” ungkap ayah dari dua anak itu lugas.
ADVERTISEMENT
Seperti yang diceritakan laman Tionghoa Info, pada masa pemerintahan Sultan Sambas, masyarakat Tiongkok dari Hakka bermigrasi untuk bekerja sebagai penambang emas dan pedagang di Monterado (saat ini merupakan bagian dari Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat).
Biasanya sebelum tiba di tempat tujuan, mereka akan singgah di Singkawang yang saat itu menjadi tempat transit pengangkutan hasil tambang emas.
Meski telah menjadi kawasan transit tambang emas, Singkawang saat itu masihlah hutan belantara. Belum ada ilmu medis, apalagi dokter. Suatu ketika, muncul wabah penyakit yang menyerang para pekerja tambang. Kaum perantau Tiongkok saat itu mengaitkannya sebagai ulah roh-roh jahat.
Untuk mengusir penyakit itu, para perantau tersebut akhirnya memohon pertolongan dewa-dewi dan roh leluhur dengan melakukan ajaran Taoisme, yakni ritual tatung atau yang dikenal juga sebagai Lok Thung.
ADVERTISEMENT
Diiringi suara iringan genderang, tatung-tatung itu kemudian ditandu keluar masuk perkampungan untuk melakukan ritual tolak bala yang dalam bahasa Khek dikenal sebagai Ta Ciau. Ta Ciau diyakini dapat membersihkan kampung dari roh jahat dan mengamankan tempat tinggal mereka agar kembali tenang dan aman.
Seiring waktu, ritual ini kemudian berakulturasi dengan masyarakat setempat, khususnya suku Dayak yang juga memiliki budaya serupa.
Masyarakat suku Dayak mengenal orang pintar atau paranormal sebagai Laoya atau Loya. Laoya biasanya akan dimintai bantuan apabila muncul sakit-penyakit yang mewabah di masyarakat.
Sehingga tak heran bila kini tak hanya tatung dari China saja yang ikut ambil andil dalam ritual tolak bala ketika parade festival Cap Go Meh Singkawang, tetapi juga tatung Dayak.
ADVERTISEMENT
Umumnya tatung China akan hadir dengan pakaian kebesaran sesuai dengan roh yang memasukinya, sementara tatung Dayak mengenakan pakaian khas Dayak yang didominasi warna merah, lengkap dengan kalung bersimbol tengkorak tergantung di lehernya.
Tatung dan Kerelaannya Jadi Media Bagi Leluhur
Sosok tatung bukan hanya magis, tetapi juga penuh misteri. Tak semua orang bisa menjadi tatung, dan terkadang tidak ada alasan jelas mengapa mereka terpilih untuk mendapatkan ‘anugerah’ itu.
Menurut penuturan Ketua Komunitas Pencinta Budaya Dayak Binua Landak, Gregorius Agung, tidak semua orang bisa menjadi tatung. Ada yang memang berguru dan ada pula yang diturunkan. Ia sendiri menjadi tatung karena pertalian darah.
Pada kumparan, ia mengaku bahwa sebelum menjadi tatung, ia tidak pernah percaya akan kemampuan-kemampuan di luar nalar manusia. Oleh sebab itu, ketika ia mendapat kemampuan atau yang ia sebut sebagai ‘barang’, ia tak serta merta menerima.
ADVERTISEMENT
Namun, tak penting seberapa kali menolak, ia tetap tak sanggup melawan. Apalagi roh leluhur atau dewa bisa tak suka ditolak, siapa yang menolak, akan sakit-sakitan bahkan meninggal.
“Saya sering kesurupan, kemudian dilihat sama kakek di kampung. Saya nda’ mau kata saya. (Lalu beliau bilang) ‘Mau di bagaimanakan lagi, sudah takdir. Kamu ngelak pun nda’ bisa’ katanya,” ucap Greg saat dihubungi kumparan (15/1) lewat sambungan telepon.
Saat itu, Greg masih berusia belasan tahun, ia sedang bersekolah di salah satu SMP di kotanya. Meski telah diyakinkan, Greg sebenarnya tidak mau. Ia menginginkan kehidupan yang normal, menjalani hari seperti orang biasa pada umumnya.
Sebab memiliki kemampuan khusus menjadi tatung diakuinya punya risiko tersendiri. Namun seiring waktu, ketika hendak masuk kelas 3 SMP, Greg akhirnya memutuskan untuk menerima kemampuan tersebut.
ADVERTISEMENT
“Karena barang begini, kan, kita berisiko. Namanya juga, seperti paranormal lah, dukun, ya, (bisa) kena dikerjain orang. Atau (kalau) kita sering bantu orang, buang penyakit orang, sedikit banyak barang itu imbasnya ke kita. Sebenarnya kita enggak mau, cuma namanya sudah takdir, dan leluhur memilih kita. Ya, kita terima ajalah, yang penting selama kita bantu orang, kita enggak pernah jahat sama orang,” ceritanya.
Menjadi tatung bukan perkara sepele. Pria asal Singkawang yang lahir pada 3 September 1990 itu mesti berbenah diri. Menyiapkan mental, jiwa, dan raga. Diakuinya, ia juga mesti menambah ilmu. Hanya saja, Greg tak sampai bertapa atau membuat pesugihan.
Ia hanya berpuasa mutih, mengonsumsi air dan nasi putih. Lalu selebihnya meyakinkan diri agar tak ragu pada kemampuan barunya tersebut.
ADVERTISEMENT
Selain berpuasa mutih dan membersihkan diri pada hari-hari tertentu, Greg juga berpantang pada makanan tertentu, misalnya sayur rebung, pakis, buah kundur, daging sapi, ular, kambing, dan anjing. Itu baru soal makanan.
Berani melanggar, sakit lah buahnya. Sayangnya, sakit yang diderita Greg tersebut tak bisa disembuhkan semata-mata dengan bantuan dokter. Greg juga bercerita bahwa menjadi tatung juga bisa berdampak pada kisah asmara.
Setiap kali pacaran, hubungannya tak pernah bertahan lama. Ada saja alasan yang tak diduga yang membuat cintanya kandas.
“Ada saja. Cuma, ya kita, ibaratnya jangan pikir yang macem-macem. Kalau putus gitu, ya mungkin memang mau putus. Sedih kita jangan dilibatkan ke ‘barang-barang’ itu,” ujarnya
Sebagai tatung, Greg punya banyak kemampuan. Beberapa di antaranya adalah mengobati orang sakit dan meramal. Menurut pengakuannya, ia selalu berusaha memanfaatkan kemampuannya itu untuk hal-hal yang bertujuan baik. Greg tidak akan mau membantu orang-orang yang meminta bantuannya secara berlebihan.
ADVERTISEMENT
Di luar kemampuannya sebagai tatung, Greg juga mengajar sebagai guru ekstrakurikuler musik di sekolah-sekolah. Di sela-sela waktu senggang, pria yang juga menjadi ketua komunitas tatung Keluarga Besar Pangalangok Ne’ Itapm ( KBPNI ) itu melakukan hobinya membuat tato.
Ketika menjadi tatung, Greg akan menyampaikan pesan-pesan dari leluhur suku Dayak. Kebanyakan pesan tersebut merupakan imbauan untuk tidak meninggalkan budaya, agama, dan leluhur. Ia juga mengingatkan orang-orang agar tidak jumawa, menjaga kerukunan antar-etnis, dan keharmonisan dalam bermasyarakat.
Selayaknya tatung lainnya di Singkawang, Gregorius Agung tentu saja ikut serta berparade dalam perayaan festival Cap Go Meh Singkawang. Ia sudah ikut ambil bagian sejak 2011 silam. Greg mengawalinya dengan parade bersama teman-teman, hingga akhirnya mulai lima tahun lalu, ia pawai dengan membawa regunya sendiri.
Sebenarnya tatung tidak diwajibkan ikut serta dalam parade perayaan festival Cap Go Meh. Mereka boleh memilih ikut atau tidak. Hanya saja, ada hari wajib bagi para tatung untuk melakukan pembersihan jalan, yakni hari ke-14 atau sehari sebelum festival Cap Go Meh berlangsung.
ADVERTISEMENT
“Kalau hari yang ke-14nya itu, khusus untuk tatungnya itu keluar. Mereka itu ke jalan, mereka tinggal di kampung mana, mereka keliling di kampung itu. Terserah kita mau di mana, lintang-pukang di jalan, mau ke arah mana, terserah gitu. Ibaratnya membersihkan kampung, tolak bala, minta dijauhkan dari bencana alam, atau segala macam, buang penyakit,” jelasnya.
Lalu keesokan harinya, sebelum memulai parade, Greg akan mengikuti ritual Nyanggahan atau pemanggilan. Dalam Nyanggahan, ia akan berdoa pada Tuhan meminta perlindungan sekaligus memanggil arwah para leluhur.
Setelah pemanggilan dilaksanakan, Greg bersama teman-temannya akan mulai berpawai. Ia tak menampik menggunakan benda-benda atau senjata tajam. Hanya saja menurut Greg, bagi tatung Dayak, aksi tusuk-menusuk lebih cenderung menjadi tambahan atraksi semata.
ADVERTISEMENT
Sementara bagi tatung China biasanya tusuk kuningan yang disematkan di pipi itu biasanya merupakan syarat agar roh leluhur atau dewa yang masuk tidak ‘lari’. Sehingga bisa terus ada di tubuh tatung hingga acara usai.
Mereka juga harus ditandu sejak awal acara hingga akhir, karena biasanya roh leluhur yang masuk adalah orang-orang penting yang memang harus duduk di tandu atau dipikul semasa hidupnya ketika hendak bepergian.
Lantas, sakitkah bekas tusukan itu? Greg mengatakan bahwa ia tak merasakan rasa sakit ketika benda-benda tajam itu mesti menembus tubuhnya. Bahkan sampai atraksi ekstrem itu usai, ia tak mendapatkan luka sama sekali.
“Ya, itu kan di luar alam sadar. Kalau abis selesainya enggak ada luka,” ujar Greg.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, ia tak menampik bahwa ada banyak tatung yang celaka saat parade Cap Go Meh Singkawang dilaksanakan. Setiap tahun setidaknya ada satu hingga dua orang yang terluka dalam parade ini. Ada yang kakinya koyak, perutnya terbelah, bahkan pada 2010 silam, ada yang meninggal karena senjata tajam tersebut menembus perut.
Kejadian-kejadian ini juga tak menjadi tanggung jawab panitia. Oleh sebab itu, tatung sendirilah yang harus mampu mempersiapkan diri sematang mungkin. Tatung juga diharapkan untuk selalu hati-hati dan tak sesumbar.
“Kadang tatung ini juga, kan, senang sesumbar. Apalagi tatung-tatung yang baru keluar, yang baru ikutan. ‘Oh, barang saya ini hebat, barang saya ini kuat’. Cuma kita ini, kan, enggak tahu, di atas langit, masih ada langit,” lanjutnya bercerita.
Proses Seleksi Tatung di Festival Cap Go Meh Singkawang
Memiliki kekuatan atau kemampuan menjadi tatung tak langsung membuat seseorang bisa ikut berparade dalam festival Cap Go Meh Singkawang. Ada beberapa persyaratan yang mesti dipenuhi tatung. Salah satunya adalah memiliki legalitas berupa surat pernyataan dari lurah yang menyatakan bahwa ia benar-benar adalah tatung.
ADVERTISEMENT
Surat pengantar tersebut nantinya yang akan digunakan untuk mendaftarkan diri ke sekretariat Tao. Surat tatung dari sekretariat Tao itulah yang akan digunakan untuk mendaftar Festival Cap Go Meh.
Tanpa surat keterangan tersebut, orang-orang yang mengaku sebagai tatung akan dianggap sebagai tatung ilegal. Tatung ilegal tidak akan diperkenankan ikut serta dalam festival, dan kalau pun mereka memaksa tampil, panitia tidak akan memberikan bantuan dana.
Hal ini dibenarkan oleh Norman, sebab parade tatung sudah menjadi bagian dari festival Cap Go Meh untuk menghibur wisatawan, maka tak sembarang orang bisa masuk di dalamnya. Ada proses seleksi yang mesti dilakukan. Sebab, walaupun tatung adalah manusia biasa yang dimasuki roh, mereka punya keistimewaan sendiri, yaitu berkemampuan sebagai tabib.
Apa saja hal yang mesti diseleksi? Rupanya, tatung harus memiliki agama serta tempat ibadah di kesehariannya. Misalnya ke masjid, klenteng, vihara, atau gereja. Kemudian panitia akan mengecek kostum yang akan digunakan, seperti apa desainnya dan bagaimana penampilannya.
ADVERTISEMENT
Faktor terpenting yang tidak boleh luput dari seleksi adalah cara beratraksi. Akankah mereka beratraksi secara sadis, menyeramkan atau menjijikkan.
Sebab ada saja tatung yang senang memakan hewan seperti anjing, ular, ayam secara hidup-hidup ketika ia tengah beraksi dalam kondisi tak sadar. Jadi, seleksi dilakukan untuk meminimalisir hadirnya roh liar yang masuk ke dalam acara festival .
“Karena pengunjung wisata pengin senang, pengin menikmati. Kalau ditampilkan hal-hal yang sifatnya sadis begitu, kan, mereka ngeri. Tidak semua orang senang melihat adegan seperti itu. Mereka pengin enjoy, tiba-tiba teriak sana, teriak sini, ngeri,” pungkas Norman menutup pembicaraan kami.
Catatan redaksi:
Satu bagian dalam berita ini telah kami ralat karena ada ketidakakuratan informasi. Di versi sebelumnya, kami menulis tatung yang beragama Nasrani harus mendapatkan surat dari gereja untuk dapat mengikuti Festival Cap Go Meh. Yang benar, mereka tidak memerlukan surat itu. Redaksi meminta maaf atas ketidakakuratan pada berita sebelumnya.
ADVERTISEMENT