Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
ADVERTISEMENT
Nama tradisi ebeg mungkin tak sefamiliar kuda lumping di telinga orang awam. Namun, tidak bagi masyarakat Banyumas, atraksi ebeg merupakan tradisi yang ditampilkan dalam acara-acara penting.
ADVERTISEMENT
Mulai dari pesta ulang tahun, hajatan pernikahan, khitanan, peresmian gedung, perayaan hasil panen, dan juga peringatan hari kemerdekaan. Dilansir laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ebeg atau kuda kepang merupakan sebuah tarian tradisional khas Jawa Tengah.
Tarian tradisional ini menggunakan properti berupa anyaman bambu yang dikepang menyerupai kuda. Anyaman tersebut dihias dengan cat hitam atau putih dan diberi hiasan kain beraneka warna, serta dilengkapi kerincing agar tampak meriah.
Dibandingkan dengan kesenian lainnya seperti wayang, ebeg dianggap sebagai tradisi asli Jawa. Tak ada tulisan pasti kapan tradisi ini pertama kali dilakukan, tetapi kemungkinan tradisi ebeg sudah ada sejak zaman Jawa kuno.
Tradisi ebeg menggambarkan sekelompok prajurit yang tengah menunggang kuda, lengkap beserta dengan atraksinya. Kuda kepang atau ebeg adalah lambang kegagahan prajurit Mataram ketika berkuda melawan penjajahan Belanda.
ADVERTISEMENT
Dalam melakukannya, dibutuhkan sekitar 10 -12 orang penari, penyanyi, dan pemusik gamelan. Nantinya pemusik dan penyanyi akan mendendangkan tembang Banyumasan, dengan lagu-lagu berbahasa Ngapak, yang lengkap dengan logatnya yang khas.
Lagu-lagu itu umumnya menceritakan tentang kehidupan masyarakat tradisional Banyumas . Didalamnya ada pula cerita tenang kesenian ebeg, wejangan hidup, serta pantun.
Selain Banyumas, tradisi ebeg juga dipentaskan di berbagi kawasan ngapak lainnya, seperti Purbalingga, Banjarnegara, Cilacap, Kebumen, dan Kroya. Tidak ada koreografi khusus yang mesti dihapal para penari dalam tradisi ebeg.
Para penari biasanya akan menari seirama dengan alunan gamelan. Kelincahan penari merupakan simbol semangat, kekuatan, dan optimisme.
Dihimpun kumparan dari berbagai sumber, momen yang paling ditunggu-tunggu dalam tradisi ebeg adalah babak janturan. Babak ini merupakan babak akhir sekaligus penutupan.
ADVERTISEMENT
Ketika melangsungkan janturan, para penari biasanya akan dimasuki indang (roh halus atau makhluk astral). Saat dimasuki indang, penari akan mengalami wuru/mendhem, atau masyarakat awam umumnya menyebut kondisi ini sebagai kerasukan.
Indang akan mempengaruhi gerak-gerik penari. Penari yang mengalami mendhem akan menari dan bergerak sesuai indang yang memasukinya. Bisa jadi menyerupai ular, kera, kuda, harimau, atau justru prajurit dalam berbagai tingkatan.
Terkadang mereka juga akan memakan benda-benda yang tak lazim dikonsumsi. Mulai dari pecahan kaca, bunga sesajen, bara api, permen, ayam mentah, batang pohon pisang, dan masih banyak lagi.
Mendhem bukan hanya dapat terjadi bagi penari saja, tetapi juga bagi penonton yang memiliki 'kemampuan'. Ya, indang tak sembarangan masuk ke orang-orang yang tidak punya kemampuan.
ADVERTISEMENT
Hanya orang-orang tertentu yang memiliki indang, lah, yang dapat mendhem ketika tradisi ebeg berlangsung. Bagi pegiat tradisi ebeg, 'memburu dan mengoleksi' indang merupakan sebuah kegiatan yang menarik, apalagi bila mereka bisa mendhem bersama indangnya.
"Kalau ebeg enggak pernah sepi, mau hujan atau panas, tetap saja bisa ramai. Setau gue, memang yang mendhem gituan buat kebanggan sendiri. Sekarang cewek juga banyak yang pada mendhem, gitu," kata Wibowo (24), perantau asal Banyumas ketika dihubungi kumparan, Selasa (5/5).
Malah menurut penuturannya, bagi pegiat ebeg, mendhem seakan jadi aktivitas yang wajib dilakukan. Terlalu lama tidak mendhem justru bisa bikin pemilik indang jadi sakit.
"Malah kalau kelamaan enggak mendhem bisa pegel-pegel badannya. Yah, kalau lama enggak mendhem sakit, habis mendhem juga sakit," sambungnya sambil tertawa.
Kondisi mendhem ini menunjukkan bahwa pemain ebeg adalah orang-orang yang kuat. 'Berbekal' tubuh manusia sebagai media, indang akan 'berpesta' bersama. Mereka menari mengikuti alunan musik dan melahap makanan yang disajikan.
ADVERTISEMENT
Meski erat dengan stigma mistis yang jauh dari agama, ebeg sendiri sebenarnya memiliki ajaran yang luhur. Hal ini disampaikan Imam Saefulloh, budayawan sekaligus ketua penyelenggara Pagelaran Ebeg Jati Kusuma dalam sambutannya ketika membuka acara pagelaran di Kecamatan Padamara, Purbalingga (15/8/2019).
Ia mengatakan bahwa ebeg adalah ajaran yang dikemas Sunan Kalijaga untuk menjadikan manusia sebagai manusia. Ketika mendhem, orang-orang akan berjalan tak karuan.
Menabrak semua yang ada di depannya. Namun, ketika menggunakan jaran, dia akan berjalan sesuai irama yang harmonis dan serasi.
"Jaran (kuda) diibaratkan sebagai ajaran. Ajaran itu adalah Islam, Ingsun Sejatining Ana Ing Menungsa. Sebuah makna ketauhidan yang luar biasa sekali," katanya seperti yang diberitakan dalam laman resmi Pemkab Purbalingga.
ADVERTISEMENT
Kondisi mendhem menunjukkan bahwa pemain yang berpartisipasi dalam ebeg adalah satria yang kuat. Setelah puas menari, pada penghujung acara, akan ada tetua adat yang dijuluki sebagai penimbul yang bertugas untuk mengeluarkan indang dari tubuh manusia yang dimasukinya.
Di luar dari sisi logis, percaya atau tak percaya, ebeg merupakan sebuah tradisi, warisan budaya yang pantas untuk dilestarikan. Kamu sendiri, sudah pernah melihat tradisi ini?
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona )
***
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.