Trokosi di Ghana: Kirim Gadis Perawan ke Kuil demi Tebus Dosa Keluarga pada Dewa

11 Januari 2023 7:58 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi gadis di Ghana. Foto: Francis Kokoroko/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gadis di Ghana. Foto: Francis Kokoroko/REUTERS
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saat ini terdapat banyak tradisi di duniak, bahkan ada yang membuat orang yang mendengarnya geleng-geleng kepala. Biasanya tradisi ada yang dilakukan untuk meneruskan adat istiadat dan kebiasaan turun temurun.
ADVERTISEMENT
Tak menutup kemungkinan tradisi tersebut juga berhubungan dengan seksual. Salah satunya adalah tradisi Trokosi di Ghana.
Tradisi ini agak aneh sekaligus unik, karena gadis perawan mulai dari umur 6 tahun dikirim ke kuil Troxovi (kuil untuk dewa). Mereka dikirim untuk menjadi budak, demi menebus kesalahan dari keluarga sang gadis.
Dilansir The Conversation, pada 1990-an, Trokosi menjadi perhatian masyarakat umum, karena gadis-gadis yang dikirim ke kuil akan tinggal seumur hidup.
Ilustrasi kuil. Foto: Shutterstock
Setelah tahun 90-an, beberapa pendeta dan tetua memperbolehkan gadis-gadis itu pulang, setelah beberapa tahun di kuil. Mereka hanya diberi waktu untuk pulang beberapa bulan, tapi harus kembali kapan pun mereka dipanggil.
Ketika mereka meninggal dunia, keluarga sang gadis harus menggantikannya dengan gadis perawan lainnya. Ini berarti keluarga akan membayar ganti rugi dengan mengganti gadis lain.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan kepercayaan masyarakat lokal, disebutkan bahwa dewa memiliki kekuatan untuk mencari pelaku kejahatan dan menghukum mereka. Maka dari itu, orang-orang yang memiliki masalah bisa saja pergi ke kuil dan meminta dewa untuk menghukum mereka.
Sampai akhirnya doa orang tersebut dikabulkan dan mendapatkan kutukan. Kutukan yang dimaksud itu berupa penyakit aneh, kematian yang tidak dapat dijelaskan, penyakit yang tidak dapat disembuhkan, hingga kematian berturut-turut dalam sebuah keluarga.
Ilustrasi anak-anak Afrika. Foto: Shutter stock
Namun, ketika gadis perawan dikirim ke kuil dan menjadi "istri para dewa" serta dieksploitasi secara seksual oleh tetua kuil, hal tersebut dianggap sebagai penebusan dosa dan penghalau kutukan.
Tetua kuil akan dianggap sebagai kepala spiritual kuil dan "proksi para dewa", sementara anggota klan dapat ditunjuk sebagai pengikutnya. Tak sampai di situ, gadis-gadis tersebut akan dipaksa bekerja apa pun yang sesuai dengan keinginan para tetua.
ADVERTISEMENT
Ketika ada anak yang lahir dari hubungan seksual tersebut, maka anak itu akan menjadi tanggung jawab keluarga wanita. Gadis-gadis Trokosi biasanya hidup dalam kelaparan, kekurangan, dan kemiskinan.
Kente, pakaian tradisional Ghana. Foto: Shutter Stock
Tidak pasti kapan sistem Trokosi dimulai, tapi hal ini merupakan praktik kuno. Kata Trokosi berasal dari bahasa masyarakat Ewe, yang terdapat di Benin, Togo, dan Ghana.
Nama ini merupakan kombinasi dari dua kata bahasa Ewe, yaitu "tro" dan "kosi." "Tro" berarti dewa, dan "kosi" berarti budak. Oleh karena itu, Trokosi berarti "budak dewa".
Sebagian besar orang yang tinggal di wilayah Volta selatan Ghana, Togo Selatan, dan Benin Selatan percaya dan mempraktikkan sistem Trokosi ini.

Pemerintah Ghana Bersusah Payah Menghilangkan Tradisi Tersebut

Suporter Ghana (Ilustrasi) Foto: Celso Junior/Getty Images
Nyatanya, praktik tradisi ini menimbulkan pro kontra dari kalangan pemerintah. Hingga akhirnya saat pemerintah ingin menghilangkan tradisi tersebut, bisa dibilang mendapatkan tantangan yang cukup besar.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1998, Pemerintah Ghana mengesahkan undang-undang yang mengkriminalisasi praktik Trokosi. Namun, meskipun sudah ada aturan, tetap saja hal itu terus terjadi.
Alasannya karena lembaga pemerintah yang bertanggung jawab untuk menegakkan hukum tidak berani menangkap anggota keluarga, tetua kuil, atau pemilik tempat suci.
Praktik ini juga tumbuh berkembang, karena ada sekelompok tradisionalis, kebanyakan laki-laki, yang sangat percaya bahwa Trokosi adalah bagian dari warisan budaya Ewe dan harus dilestarikan. Karena itu, mereka menentang setiap upaya untuk menghentikan praktik tersebut.