Tumbilotohe, Tradisi Malam Seribu Cahaya Jelang Lebaran di Gorontalo

2 Juni 2019 9:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tradisi Tumbilotohe Foto: Antara/Adiwinata Solihin
zoom-in-whitePerbesar
Tradisi Tumbilotohe Foto: Antara/Adiwinata Solihin
ADVERTISEMENT
Setiap kota, budaya, atau keluarga biasanya memiliki tradisi yang berbeda dalam merayakan Idul Fitri, atau yang lebih populer dengan nama Lebaran. Jelang Lebaran, tepatnya tiga atau empat malam terakhir, masyarakat Gorontalo punya sebuah tradisi unik bernama Tumbilotohe.
ADVERTISEMENT
Kala Tumbilotohe sampai pada masanya, maka kamu akan melihat keindahan yang luar biasa di Sulawesi ini. Sebab, kamu akan menemukan hamparan cahaya kuning di setiap jalanan atau kawasan perumahan. Menerangi tiap insan dan samar-samar mengalahkan kelamnya malam.
Sekilas Festival Tumbilotohe terlihat seperti sebuah festival di India bernama Diwali. Sebab, sama seperti Tumbilotohe, ketika merayakan Diwali, penduduk India akan menyalakan lampu minyak di kediamannya.
Tumbilotohe berasal dari bahasa Gorontalo yang berasal dari dua suku kata, yaitu "Tumbilo" yang berarti memasang, dan "Tohe" yang diartikan sebagai lampu. Tohe atau dikenal pula sebagai Tohetutu merupakan lampu tradisional khas Gorontalo.
Biasanya Tohetutu dibuat menggunakan botol-botol bekas pakai berbahan kaca seperti minuman berenergi. Atau bisa pula menggunakan cangkang kerang maupun tempurung kelapa. Bahan bakarnya juga tak hanya terbatas pada minyak tanah, tetapi dapat pula minyak kelapa maupun getah damar.
ADVERTISEMENT
Lampu yang berbahan bakar getah damar biasanya akan mengeluarkan wangi yang berbeda, dibanding lampu lainnya. Sayang, getah damar mulai jarang digunakan karena untuk mendapatkannya, penduduk mesti menadahnya langsung di hutan.
Tradisi Tumbilotohe diperkirakan telah berlangsung sejak abad ke-15 atau 16, sejak agama Islam memasuki kawasan Gorontalo. Penduduk setempat biasanya akan menyalakan tohe dan meletakkannya di halaman, genteng rumah, jalan menuju masjid, hingga sawah penduduk.
Dalam tradisi Tumbilotohe, lampu minyak diletakkan hingga ke genteng rumah Foto: Flickr/Badan Keuangan Kabupaten Gorontalo
Masyarakat Gorontalo percaya bahwa dengan melakukan tradisi Tumbilotohe, mereka bisa mendapatkan berkah Lailatul Qadar. Merayakan lampu dalam tradisi Tumbilotohe juga dianggap menyimbolkan kesiapan manusia menyambut Idul Fitri. Bahwa manusia telah memiliki jiwa dan hati yang bukan hanya bersih, tetapi juga terang.
Oleh sebab itu, masyarakat biasanya akan melakukan tradisi ini secara sukarela. Mereka akan membeli atau membuat sendiri lampunya dan menyediakan minyak tanah tanpa meminta subsidi dari pemerintah.
Lampu minyak tradisional yang digunakan dalam tradisi Tumbilotohe Foto: Flickr/Sisilia ismail
Uniknya, terkadang lampu-lampu yang dinyalakan itu bahkan dibuat dalam berbagai formasi yang indah. Seperti masjid, kitab suci Alquran atau kaligrafi bertuliskan ayat-ayat suci.
ADVERTISEMENT
Pada masa lampau, tradisi Tumbilotohe dilakukan untuk memudahkan penduduk setempat ketika ingin memberikan zakat fitrah pada malam hari, baik ke masjid atau tetangga sekitar seusai salat tarawih. Ditambah lagi dengan festival bedug dan hadirnya meriam bambu membuat tradisi ini kian semarak.
Bahkan pada 2007 silam, Gorontalo pernah mencatatkan rekor MURI karena menyalakan 5 juta lampu sekaligus saat merayakan Tumbilotohe. Syahdunya tradisi tua yang mempesona inilah yang kerap jadi salah satu alasan para perantau asal Gorontalo untuk pulang ke kampung halaman dan menikmati khidmatnya Lebaran dengan keluarga.
Tak heran jika pada akhirnya Tumbilotohe bukan lagi hanya sebuah tradisi turun-temurun belaka, tetapi dijadikan sebagai festival oleh pemerintah setempat. Pada tahun 2018 lalu, Generasi Berencana (GenRe) Gorontalo bahkan menerbangkan 1.439 lampion untuk memeriahkan Festival Tumbilotohe tersebut.
ADVERTISEMENT