Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Nama Kaimana mungkin tak setenar Raja Ampat, tetapi kawasan di Papua Barat ini tidak bisa kamu anggap remeh. Perairan lautnya adalah salah satu kawasan yang dilindungi, karena memiliki bentang alam berupa pulau karst dan beragam spesies yang kabarnya lebih indah dari pada Raja Ampat.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan riset Conservation International Indonesia, kawasan konservasi di perairan Laut Kaimana adalah penyumbang biomassa terbesar di Asia Tenggara, yaitu sekitar 228 ton per kilometer persegi. Di dalam lautnya kamu bisa menemukan sekitar 959 jenis ikan karang, 471 jenis karang, 28 spesies udang matis, dan banyak spesies endemis yang belum teridentifikasi.
Bagi kamu yang gemar diving, perairan Laut Kaimana, Papua Barat tentunya merupakan surga tersendiri untuk dieksplorasi, sama halnya dengan para nelayan yang mencari nafkah di tengah daerah tersebut. Sehingga tak heran jika mayoritas penduduk Kaimana berprofesi sebagai nelayan, selain menjadi petani.
Meski begitu, penduduk Kaimana, Papua Barat rasanya tak perlu khawatir dengan sumber laut yang tersedia di sana. Sebab, mereka memiliki tradisi tersendiri dalam menjaga lautnya yang telah dilakukan oleh leluhur terdahulu dan diwariskan secara turun-temurun, serta kini menjadi kearifan lokal dan bagian dari budaya.
ADVERTISEMENT
Sasi Nggama namanya, tradisi ini merupakan bentuk penjagaan masyarakat adat terhadap sumber daya alam laut demi menjaga mutu dan populasinya.
Konon, tradisi ini merupakan hasil akulturasi antara budaya warga Papua , khususnya Papua Barat dengan masyarakat Ternate (Maluku) yang datang dan menetap.
Tradisi ini bukan hanya dilakukan untuk menjaga populasi semata, tetapi juga menjaga masyarakat dari ancaman kelaparan. Karena di dalam tradisi Sasi Nggama, secara tidak langsung, para leluhur membuat aturan pemanfaatan sumber daya alam agar tidak dieksploitasi.
Dalam Sasi Nggama, selama 11 bulan dalam setahun, masyarakat tidak diperbolehkan untuk mengambil hasil laut, terutama teripang, lola (sejenis kerang laut), dan batulaga (sejenis siput laut). Mengambil hasil laut hanya diperbolehkan pada masa tertentu, biasanya pada musim angin barat antara Maret dan Mei.
ADVERTISEMENT
Selama Sasi Nggama, istri dari kepala adat atau raja akan mendapat tugas untuk mengawasi jalannya tradisi tersebut. Siapa yang kedapatan melanggar, akan dikenakan denda. Denda yang diberikan bisa berupa piring, perhiasan mahal, atau bahkan uang dengan nilai tertentu.
Para pelanggar juga akan mendapat sanksi sosial berupa pengucilan dari masyarakat. Mereka tidak akan diberikan kesempatan untuk turut serta menikmati acara buka Sasi dan panen hasil. Masyarakat juga percaya, bahwa orang yang melanggar Sasi Nggama akan mendapat 'teguran' dari alam.
Tidak sampai di situ saja, sejak 2016 Sasi Nggama bukan hanya sekadar peraturan adat, tetapi juga sudah menjadi peraturan daerah yang disahkan secara formal. Apabila berani melanggar, tentunya kamu mesti mempersiapkan diri untuk menerima sanksi hukum.
ADVERTISEMENT
Terlihat menyeramkan memang, tetapi tradisi ini sudah semestinya dijaga, karena memiliki pengaruh yang baik bagi alam dan masyarakat di sekitarnya. Setelah periode larangan Sasi Nggama rampung, maka masyarakat akan diberikan kesempatan selama dua minggu penuh untuk memanen hewan laut.
Ketika panen pun ada syarat yang harus dipenuhi, yaitu hanya boleh memanen hewan yang telah berukuran besar atau ukuran tertentu.
Hewan-hewan lainnya yang belum sesuai standar tersebut tidak boleh dipanen, sehingga mereka masih bisa mendapat kesempatan untuk bertumbuh dan berkembang biak.
Sebelum buka sasi, biasanya warga setempat punya upacara adat tersendiri. Menariknya, upacara adat ini biasanya berbeda pula antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Di Pulau Nawarum misalnya, janur kelapa yang telah ditancapkan selama Sasi Nggama akan dicabut dan dicelupkan sebanyak tiga kali ke dalam laut.
ADVERTISEMENT
Sementara di Pulau Namatota, kepala adat atau raja akan membuat sesajen berupa sirih pinang dan lola, atau batulaga sebagai simbol pembayaran pada alam. Sesajen ini akan disiapkan dalam sebuah piring dan kemudian ditumpahkan ke laut.
Ritual ini seakan mengisyaratkan rasa syukur dan penghormatan penduduk Kaimana pada alam.
Lalu, kapan Sasi Nggama dilakukan? Tidak ada waktu pasti, Sasi Nggama diadakan berdasarkan kesepakatan yang dirancang masyarakat adat.
Salah satu indikasinya adalah ketika sumber daya alam sudah terasa semakin berkurang dan warga setempat tak lagi bisa menikmati hasil alam sebanyak dulu.
ADVERTISEMENT