Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Kabar penolakan Peninjauan Kembali (PK) oleh Mahkamah Agung (MA) terhadap kasusnya jelas mengejutkan Baiq Nuril , terdakwa kasus pelanggaran UU ITE terkait tindak pelecehan seksual. Bayang-bayang ancaman kurungan enam bulan penjara dengan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan menghantui pegawai honorer di SMAN 7 Mataram tersebut. Tidak hanya bagi Baiq Nuril, namun kabar ini juga mengagetkan dan mengundang keprihatinan dari masyarakat luas.
ADVERTISEMENT
Tak gentar, Nuril bersikukuh menyatakan dalam kasus tersebut dirinya hanyalah korban karena berani buka suara atas tindakan pelecehan seksual yang dialaminya. Ia pun bergerak menempuh jalan lain dengan berharap mendapat amnesti dari Presiden Jokowi.
Seperti dilaporkan kumparan, pada Senin (15/7) Baiq Nuril menyambangi Kantor Staf Kepresidenan (KSP) untuk bertemu langsung dengan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko dengan maksud menyerahkan surat permohonan pemberian amnesti kepada Presiden Jokowi.
Tak sendiri, Nuril ditemani oleh pengacaranya dan politikus PDIP Rieke Diah Pitaloka. Rieke menjadi salah satu tokoh perempuan yang aktif mendampingi kasus Baiq Nuril ini. Setelah permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Baiq Nuril ditolak oleh Mahkamah Agung (MA), Rieke gencar mengadvokasi kasus ini dengan mendorong adanya amnesti dari presiden. Namun menurut Rieke, selain pemberian amnesti, ada hal lain yang mendesak. Ia tak ingin Baiq Nuril dipenjara dua kali atas kasus yang secara fakta di persidangan tidak bersalah.
Pada rapat paripurna DPR yang baru digelar Selasa (16/7), Rieke dengan lantang menginterupsi rapat paripurna DPR dan menanyakan apakah surat dari presiden untuk amnesti Baiq Nuril sudah diterima.
ADVERTISEMENT
Sebab, Wakil Ketua DPR Agus Hermanto yang memimpin rapat, hanya membacakan ada surat masuk ke DPR namun tak dirinci maksud dan tujuan tersebut. Rieke meminta dengan tegas agar surat itu segera diproses sehingga presiden bisa menerbitkan amnesti untuk Baiq Nuril. "Tolong nanti bisa dilaksanakan di rapat Bamus. Kita berjuang bersama untuk Ibu Baiq Nuril," tegasnya.
Kegigihan Baiq Nuril dalam menuntut keadilan ternyata juga mendapat dukungan dari banyak pihak. Setelah penolakan peninjauan kembali oleh MA, terdapat dua petisi di change.org yang turut memberi dukungan kepada Nuril. Mulai dari petisi bertajuk 'Amnesti untuk Nuril: Jangan Penjarakan Korban' yang telah mendulang 287 ribu tanda tangan hingga Selasa (16/7), dan petisi 'Bebaskan Ibu Nuril dari Jerat UU ITE #SaveIbuNuril' yang telah ditandatangani oleh 316 ribu orang hingga Selasa (16/7).
ADVERTISEMENT
Dukungan lainnya juga mengalir mulai dari LSM, masyarakat luas, dan berbagai tokoh. kumparanWOMAN pun berbicara dengan beberapa tokoh perempuan yang memiliki kepedulian terhadap kasus Baiq Nuril ini.
1. Mariana Amiruddin - Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan
Dukungan terhadap Baiq Nuril salah satunya berasal dari Mariana Amiruddin yang sejak awal telah turut mengawal perkembangan kasus Baiq Nuril.
"Baiq Nuril adalah korban. Dengan adanya amnesti, ini juga menjadi pembelajaran bagi para penegak hukum, para hakim untuk melihat kasus kekerasan seksual atau pelecehan seksual tidak seperti kasus lain pada umumnya. Diperlukan landasan hukum yang tepat dan kuat," jelas Mariana saat dihubungi kumparanWOMAN beberapa waktu lalu.
Lebih lanjut Mariana menuturkan bahwa 1 dari 3 perempuan telah mengalami kekerasan dan pelecehan seksual. "Karena belum ada pemahaman atau mengenal dengan baik jenis-jenis kekerasan seksual, maka akan memicu kasus serupa. Dengan memahami jenis-jenis kekerasan seksual maka kita bisa menghindari kasus yang menimpa Baiq Nuril, sehingga kita juga bisa langsung mengidentifikasi kasus dan bisa segera ditangani."
ADVERTISEMENT
Mariana mengungkapkan bahwa pihak Komnas Perempuan tak henti-hentinya mengingatkan kepada DPR atau pemerintah untuk segera mengesahkan RUU PKS. "Karena pada kenyataannya tidak ada landasan hukum yang tepat dan kuat untuk menyelesaikan kasus ini, kita tidak punya perangkat lain kecuali KUHP. Dan sayangnya KUHP tidak bisa menjelaskan soal pelecehan seksual. Jadi kami selalu mendesak negara untuk merancang aturan yang tepat untuk melindungi perempuan agar tidak ada kasus Baiq Nuril lagi di masa depan," ungkapnya.
2. Tunggal Pawestri - Aktivis dan Konsultan Gender
Senada dengan Mariana Amirudin, aktivis perempuan Tunggal Pawestri juga mengamini perlindungan hukum bagi perempuan korban pelecehan atau kekerasan seksual di Indonesia yang menurutnya belum maksimal.
"Saya mendukung upaya Ibu Nuril dan teman-teman untuk mendapatkan keadilan pada kasus ini. Juga setuju agar kita semua mendesak Presiden Jokowi memberikan amnesti. Kita tahu bahwa perlindungan hukum bagi perempuan korban pelecehan/kekerasan seksual di Indonesia belum maksimal, maka komitmen presiden perlu ditagih untuk soal ini," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut Tunggal mengungkapkan kegeramannya pada MA yang tidak konsisten berpegang pada fungsi pengawasan atas pelaksanaan PERMA 3/2017 soal mengadili perempuan yang berhadapan dengan hukum. "Kekerasan dan pelecehan seksual ini persoalan serius dan tidak bisa dibuat main-main. Salah sedikit, makin sulit bagi orang-orang yang selama ini bekerja mendampingi korban untuk meyakinkan korban agar melaporkan kasusnya, karena nanti malah dikriminalisasi."
Tunggal yang aktif di media sosial Twitter ini pun berpesan kepada sesama perempuan untuk tak tinggal diam dan saling mendukung. "Kita bisa menjadi bystander aktif dalam kasus serupa, misalnya saat melihat pelecehan seksual atau mengalaminya, jangan diam, lawan saja. Saat ini situasinya memang sulit, tapi kita butuh orang-orang yang berani. Satu lagi, jangan lupa juga mendukung disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dan revisi UU ITE," paparnya.
ADVERTISEMENT
3. Hannah Al Rashid - Aktris
Bentuk dukungan lainnya datang dari aktris dan duta SDG (Sustainable Development Goals) dalam bidang kesetaraan gender di Indonesia yang aktif menyuarakan isu-isu perempuan, Hannah Al Rashid.
Bagi Hannah, kasus Baiq Nuril adalah contoh betapa beratnya menjadi korban pelecehan di Indonesia, apalagi untuk perempuan.
"Sudah terlalu sering korban pelecehan atau kekerasan di negara ini tidak ingin melapor ke pihak yang berwenang karena ada beberapa faktor. Yang pertama jarang dianggap serius atau malah di “victim blaming”, kedua karena harus membawa bukti yang tentunya dalam situasi seperti ini, tidak selalu mudah untuk didapatkan,"
Menurut Hannah, pada kasus Baiq Nuril jelas-jelas ada bukti pelecehan yang menimpa dirinya, tetapi malah dihukum lewat UU ITE yang cukup bermasalah. "Kasus Ibu Baiq Nuril menunjukkan "weak spot" di dalam sistem hukum kita, di mana predator kekerasan atau pelecehan bisa sembunyi di balik UU yang secara by-product melindungi mereka. Konotasi kasus Ibu Baiq Nuril untuk saya cukup jelas, bahwa perempuan dengan bukti saja bisa dihukum, dan predator bisa terus melakukan kejahatan dengan impunitas," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Hannah menekankan, sebagai sesama perempuan, kita perlu makin peka dengan kasus sejenis ini. Dan bentuk dukungan yang dapat dilakukan adalah dengan memantau, memviralkan dan mengadvokasi. "Untuk kita sebagai rakyat yang tidak punya kuasa atau jauh dari decision makers, kita hanya bisa mengingatkan mereka bahwa sebagai rakyat negara ini, kita pantas untuk dilindungi dari predator-predator, dan para predator itulah yang mesti dihukum, bukan korban."
4. Anita Dhewy - Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan
Selanjutnya dukungan datang dari Anita Dhewy, Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan, jurnal feminis pertama di Indonesia. Menurut Anita, secara umum budaya pemerkosaan masih kuat di masyarakat kita, ini tampak jelas salah satunya lewat budaya menyalahkan korban.
"Alih-alih berempati (hal minimal yang seharusnya dilakukan) pada korban, sebagian masyarakat justru cenderung menyalahkan korban pada kasus-kasus pelecehan/kekerasan seksual. Ini yang menyebabkan kasus-kasus kekerasan seksual sulit diselesaikan."
ADVERTISEMENT
Dan menurut Anita, kasus Baiq Nuril setidaknya menunjukkan tiga hal yang perlu disoroti; pertama korban pelecehan seksual masih sulit untuk mendapatkan keadilan. Alih-alih mendapat perlindungan, ia justru dikriminalisasi. Kedua, aparat penegak hukum belum sepenuhnya memiliki perspektif perempuan dalam menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Meskipun di tataran kebijakan sudah ada Peraturan MA No.3 tahun 2017, namun di level implementasi belum berjalan. Ketiga UU ITE kembali memakan korban. Meskipun pada tingkat Pengadilan Negeri Baiq dinyatakan tidak melanggar UU ITE, tetapi pengadilan di tingkat atas memutuskan sebaliknya.
Anita juga menekankan baik perempuan maupun warga masyarakat secara umum perlu mendesak pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan RUU PKS. Penting juga untuk mendorong perubahan di lingkungan institusi penegak hukum baik menyangkut pola pikir, sistem kerja, proses pendidikan dengan memasukkan aspek sensitivitas gender sejak dini.
ADVERTISEMENT
5. Petty Fatimah - Pemimpin Redaksi Majalah Femina
Bagi jurnalis senior dan Pemimpin Redaksi Majalah Femina, Petty Fatimah, kasus Baiq Nuril menjadi red alert tentang kepastian dan keadilan hukum di Indonesia. "Ada banyak kasus hukum yang mungkin menguap begitu saja atau tidak mendapatkan perlakuan sebagaimana mestinya, apalagi kasus-kasus sensitif seperti sexual harassment. Selain itu masih banyak anggota masyarakat yang tidak mengerti hukum dan tidak tahu harus mengadu dan meminta bantuan kemana," ujarnya ketika dihubungi kumparanWOMAN.
Ia menambahkan, adanya dukungan sisterhood di antara perempuan juga akan membantu mem-blow up kasus-kasus serupa. "Sudah bukan masanya kita nggak peduli masalah sosial, kita harus tetap dalam koridor fakta. Saya melihat usaha masyarakat perempuan cukup vokal untuk ini. Netizen, orang media, anggota parlemen, aktivis dan lain-lain. When woman support woman incredible things happen," ungkapnya.
ADVERTISEMENT