kumplus- Opini Wanda Roxanne- Male Entitlement- kekerasan

Apakah KDRT Termasuk Delik Aduan? Ini Penjelasannya

22 Mei 2024 12:00 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
Apakah KDRT termasuk delik aduan dalam hukum Indonesia? Perlu diketahui, suatu perkara dalam Hukum Pidana Indonesia didasarkan pada delik dalam suatu norma yang berlaku. Dalam KKBI, delik diartikan sebagai perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena melanggar Undang-Undang.
ADVERTISEMENT
Menurut buku Asas-Asas Hukum Pidana dan Hukum Penitensier di Indonesia oleh Duwi Handoko, delik aduan adalah jenis delik yang hanya dapat dituntut jika dilaporkan oleh orang yang merasa dirugikan. Jenis delik ini bersifat pribadi dengan syarat harus ada aduan dari korban atau pihak yang dirugikan.
Untuk mengetahui apakah KDRT termasuk delik aduan atau termasuk golongan delik lainnya, simaklah artikel ini sampai habis.

Apakah KDRT Termasuk Delik Aduan?

Ilustrasi KDRT. Foto: Africa Studio/Shutterstock
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan salah satu tindak pidana yang sudah sering terjadi di kalangan masyarakat. Sebagai jaminan perlindungan hukum untuk setiap warga negara, pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Jika mengacu pada pasal 52, 52, 53 dalam undang-undang tersebut, KDRT termasuk dalam delik aduan. Artinya, penuntutan bisa dilakukan setelah korban atau pihak yang dirugikan melakukan pengaduan. Dalam delik ini, korban dapat mencabut laporannya apabila sudah terjadi suatu perdamaian.
ADVERTISEMENT
Namun, perlu diingat bahwa tak semua kasus KDRT termasuk delik aduan. Menyadur buku Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga melalui Mekanisme Mediasi Penal oleh I Made Agus Mahendra, dkk., kasus KDRT yang termasuk dalam delik aduan, yaitu bentuk KDRT yang dimaksud dalam pasal-pasal berikut ini.

1. Pasal 44 ayat 4

Bentuk KDRT fisik yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari.

2. Pasal 45 ayat 2

Bentuk KDRT psikis yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari.

3. Pasal 46

Tindak pidana kekerasan seksual berupa pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Selain bentuk KDRT di atas, tindak KDRT yang lain termasuk dalam delik biasa. Delik ini merupakan suatu perkara dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari pihak yang dirugikan.
Walaupun korban sudah mencabut laporan terhadap pihak berwenang, kepolisian atau yang bertugas wajib memproses perkara tersebut.

Faktor yang Memengaruhi Korban Tidak Melaporkan KDRT

Ilustrasi kekerasan (KDRT). Foto: Shutterstock
Dengan penjelasan di atas, kesadaran untuk berani melaporkan tindak pidana KDRT di kalangan masyarakat menjadi hal yang sangat penting. Ada beberapa alasan yang membuat korban enggan melakukan tindakan hukum.
Berdasarkan jurnal berjudul Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Pelaporan Pada Pihak Kepolisian tulisan Cynthia Nathania Setiawan, dkk., berikut alasan yang memengaruhi korban KDRT tidak mau melapor pada pihak yang berwenang:
ADVERTISEMENT

1. Rasa Malu dan Kurangnya Pengetahuan

Banyak korban beranggapan tindakan KDRT adalah masalah domestik atau ranah rumah tangga yang termasuk aib keluarga apabila sampai terdengar di kalangan publik. Tak hanya itu, korban yang tak paham soal perlindungan hukum juga bisa membuatnya enggan melapor.

2. Dianggap sebagai Suatu yang Lumrah

KDRT di kalangan masyarakat masih dianggap sebagai suatu yang lumrah sebagai proses pendidikan atau pengajaran yang dilakukan suami terhadap istri. Anggapan ini disebabkan oleh kepercayaan bahwa suami adalah pemimpin keluarga yang mempunyai hak mengatur anggota keluarganya.

3. Budaya Patriarki

Budaya patriarki yang masih sangat diagungkan di kalangan masyarakat Indonesia. Paham ini secara tidak langsung menciptakan pola pikir pada korban perempuan untuk selalu bersikap pasrah, mengalah, mendahulukan kepentingan orang lain, serta mempertahankan ketergantungannya pada suami.
Selain itu, adanya anggapan bahwa sosok ibu yang baik adalah mereka yang berperan sebagai pendamping dan mau berkorban untuk suami.
ADVERTISEMENT

4. Ketergantungan Ekonomi

Korban perempuan yang masih ketergantungan ekonomi terhadap pelaku umumnya akan takut untuk melaporkan tindak KDRT. Korban memiliki pemikiran bahwa ia tak memiliki keterampilan maupun modal untuk bekerja apabila hidup terpisah dengan pelaku.

5. Ketakutan Orang Tua pada Psikologis Anak

Anak-anak yang melihat ketidakharmonisan dalam keluarga akan merasakan adanya suasana negatif dan tidak aman saat berada di rumah. Konflik tersebut dapat menyebabkan gangguan emosional dan psikologis pasca peristiwa traumatis tersebut.
Faktor ini juga menyebabkan korban enggan untuk melakukan tindak hukum dan tetap memilih bersama demi kebahagiaan anak-anak.

6. Pengaruh Sosial

Pandangan terhadap janda di kalangan masyarakat membuat korban KDRT tetap mempertahankan pernikahan yang tidak sehat. Masyarakat masih menganggap bahwa perceraian adalah hal yang memalukan karena menggambarkan kegagalan dalam membangun rumah tangga.
ADVERTISEMENT
Selain itu, adanya anggapan negatif dari masyarakat membuat korban KDRT merasa kurang percaya diri bahkan depresi. Akibatnya korban akan cenderung menyalahkan dirinya sebagai pihak yang pantas menerima perlakuan kekerasan tersebut.

7. Tidak Percaya pada Proses Hukum

Banyak korban yang tidak percaya pada proses hukum yang berlaku di Indonesia. Masih banyak stigma yang beredar di masyarakat bahwa pelaku pada akhirnya akan dibebaskan dari jerat hukum setelah dilakukan perdamaian karena kurangnya pengetahuan tentang proses hukum KDRT di Indonesia.

8. Ancaman

Korban enggan melapor bisa disebabkan oleh ancaman yang dilakukan pelaku, yakni berupa upaya untuk membunuh dan melukai korban maupun anggota keluarga lain, atau ancaman untuk membawa kabur anak dan sebagainya.
Apabila mengalami atau melihat tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), segera hubungi hotline pengaduan kekerasan pada perempuan dan anak di nomor 129 (telepon) atau 081111129129 (WhatsApp).
ADVERTISEMENT
(IPT)
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten