Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Arini Astasari Widodo Bicara soal Profesi Dermatolog dan Tren Kecantikan
25 Januari 2022 8:44 WIB
·
waktu baca 7 menitADVERTISEMENT
Bagi para beauty enthusiast dan penggemar brand kecantikan, Ladies mungkin sudah akrab dengan dr. Arini Astasari Widodo, SpKK atau yang akrab disapa Arini. Dosen di Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta Barat, ini kerap menjadi pembicara terkait isu kecantikan dalam berbagai acara dan program di stasiun televisi nasional. Ia juga sering berbagi konten edukatif di media sosial.
ADVERTISEMENT
Dalam wawancara khusus dengan kumparanWOMAN, Arini berbagi kisah mengenai perjalanannya sebagai dermatolog. Ia memilih menjadi seorang dermatolog karena tertarik mempelajari kulit dan bagian-bagian yang berhubungan dengannya. Menurutnya, ada kepuasan tersendiri saat ia bisa membantu pasien yang memiliki masalah dengan kulit mereka.
“Banyak orang yang punya penyakit kulit karena hampir semua orang ada keluhan kulit. Itu sederhana tapi kalau kita bantu, orang akan sangat berterima kasih. Dan saya bisa melihat hasilnya secara visual. Nyata. Misalnya, kulit tadinya merah terus hilang,” ujar perempuan yang saat ini sedang melanjutkan pendidikan di National Skin Centre Singapore.
Kepada kumparanWOMAN, konsultan dan direktur medis di Klinik Dermalogia, Tangerang ini juga menyampaikan pendapat mengenai tren perawatan kulit yang berkembang, bahkan hingga ke media sosial.
ADVERTISEMENT
“Pada dasarnya, tren ini juga bermacam-macam. Tidak semuanya salah. Jadi ada yang cukup bagus untuk diikuti. Tapi ada yang tidak terlalu bagus buat kesehatan kulit. Jadi, kita mesti hati-hati,” katanya.
Untuk tahu lebih lengkap mengenai perjalanan Arini sebagai dokter spesialis kulit dan kelamin yang juga seorang dosen, simak kisahnya berikut ini.
Apa kesibukan Anda saat ini?
Saya adalah dokter spesialis kulit dan kelamin. Saat ini, saya menjadi pengajar dan peneliti, termasuk penelitian mengenai skincare dan lainnya, di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana.
Saya juga praktik di Rumah Sakit Abdi Waluyo, Jakarta Pusat dan menjadi konsultan medis di klinik Dermalogia, Gading Serpong, Tangerang.
Di samping itu, saya sering hadir sebagai narasumber di program seputar kesehatan kulit di beberapa stasiun televisi. Saya pun sedang menjalani clinical fellowship di National Singapore Skin Center sejak Januari atau Februari 2020.
ADVERTISEMENT
Seperti apa perjalanan karier Anda sebagai dokter?
Saya lulus dari Fakultas Kedokteran sekitar tahun 2011 di Universitas Indonesia (UI). Setelah lulus, ada wajib internship di Puskesmas dan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD). Lalu, saya pergi ke Puskesmas Taruma Jaya, Bekasi, dan RSUD Cibitung, Bekasi.
Setelah itu, saya pergi ke Flores, Nusa Tenggara Timur. Saya bekerja di Puskesmas di sana satu tahun. Saya baru masuk pendidikan dokter spesialis pertengahan tahun 2014 di UI.
Kenapa memilih menjadi dokter?
Saya mengagumi ibu saya. Ibu saya juga dokter dan dosen. Dia mengajar bukan cuma dokter umum, tapi juga spesialis yang berstase di RSUD Tarakan, Jakarta Pusat.
Sejak kecil, saya sering membantu ibu. Saya menemani dia menyiapkan presentasi, datang ke toko fotokopi untuk fotokopi bahan mengajarnya, dan lain-lain. Kebetulan, RSUD Tarakan juga dekat dari rumah saya. Jadi, saya suka ikut menjemputnya dan saya melihat apa yang dia lakukan. Saya tertarik karena melihat apa yang dia lakukan dari dulu dan menurut saya itu baik.
ADVERTISEMENT
Kapan mulai memutuskan menjadi dermatolog?
Saat koas dan menjadi pelajar, saya tertarik mendalami ilmu kulit. Saat menjadi dokter umum, yang saya suka dari penyakit kulit adalah banyak orang yang punya penyakit kulit karena hampir semua orang ada keluhan kulit. Itu sederhana. Tapi kalau kita bantu, orang akan sangat berterima kasih. Dan saya bisa melihat hasilnya secara visual. Nyata. Misalnya, kulit tadinya merah terus hilang.
Lalu, melihat ada perbedaan yang dramatis itu cukup memuaskan. Apa yang kita lihat perubahannya itu tampak secara visual, orangnya (pasiennya—red) juga melihat dan senang. Penyakitnya ada yang berat ada yang tidak. Tapi yang tidak berat pun, bila teratasi dapat meningkatkan kualitas hidup banget karena sangat berhubungan dengan kepercayaan diri, bahkan buat anak-anak.
ADVERTISEMENT
Apakah ada perbedaan keluhan soal kesehatan kulit sebelum dan saat pandemi COVID-19?
Ada. Saya waktu itu pernah share soal statistiknya. Banyak yang dari statistik, ada mask related problem nomor satu, yaitu acne. Jadi, awal-awal, memang orang-orang banyak yang belum beradaptasi. Saat ini, sepertinya sudah pada lebih sadar, sehingga keluar istilah seperti skindemic, seperti maskne (mask acne) karena ini ada perubahan gaya hidup selama pandemi.
Perubahan gaya hidup selama pandemi ini juga ternyata berpengaruh terhadap kondisi kulit. Jadi, misalnya, kalau pulang, kita mandi berkali-kali. Padahal mandi dibilang dua kali sehari saja cukup. Awal-awal, mereka juga cenderung memakai sabun antiseptik, apalagi untuk orang lanjut usia (lansia) yang kulit kering.
Pada akhirnya, barrier kulit kering ini rusak dan memicu berbagai masalah kulit dan meningkatkan kekambuhan penyakit kulit. Bukan cuma kering, dia bisa gampang gatal. Lalu, penggunaan makeup di bawah masker. Itu membuat risiko acne menjadi dua kali lipat.
ADVERTISEMENT
Anda aktif berbagi konten edukatif seputar kesehatan kulit di media sosial. Apa yang memotivasi Anda?
Pada dasarnya, saya memang sudah banyak bicara edukasi juga. Misalnya, di Flores, saya sempat menjadi edukator soal infeksi menular seksual. Saya dokter kulit dan kelamin, jadi menangani masalah-masalah infeksi menular seksual. Saya memberikan awareness buat anak-anak SMA, karena pendidikan di sana sangat kurang waktu itu.
Pada dasarnya, saya juga hobi mengajar. Mengajar tidak juga mengedukasi orang lain, tetapi juga mengedukasi diri sendiri. Saya mengajar mahasiswa dan ilmu juga selalu update. Jadi, harus selalu update diri terhadap ilmu dan guidelines baru. Untuk edukasi ke masyarakat, itu juga membangun awareness saya tentang kebutuhan dan kondisi kulit masyarakat.
Banyak perempuan peduli dengan perawatan kulit, tapi tidak sedikit yang termakan tren saja. Apa pandangan Anda?
Pada dasarnya, tren kecantikan ini juga bermacam-macam. Tidak semuanya salah. Jadi ada yang cukup bagus untuk diikuti. Tapi ada yang tidak terlalu bagus buat kesehatan kulit. Jadi, kita mesti hati-hati. Informasi yang kita dapatkan juga kadang-kadang mesti dicari sumbernya.
ADVERTISEMENT
Kadang-kadang, sumbernya bukan dari narasumber yang kompeten atau mungkin hanya pengalaman pribadi. Namanya pengalaman pribadi tidak selalu harus dapat diaplikasikan ke semua orang. Kalau kita mau mengetahui suatu prosedur atau tindakan bagus atau tidak, idealnya dilakukan penelitian dulu dengan skala minimal, serta prosedur, etika, dan guidelines yang tepat. Dalam penelitian, dosisnya juga harus sama semua.
Tapi, yang namanya tren tidak mengacu pada semua itu. Biasanya hanya berdasarkan opini dan pengalaman pribadi. Jadi, ini perlu diluruskan dengan narasumber yang kompeten. Peran saya di situ membantu menjadi narasumber apabila diminta dan mengacu pada literatur yang ada. Tapi, saya tidak aktif membantah satu per satu karena itu sebetulnya konten orang lain.
Bagaimana cara membagi waktu di tengah kesibukan Anda?
Susah, sejujurnya (tertawa). Jadi, nomor satu, saya cukup terbantu dengan pekerjaan sekarang banyak Work From Home (WFH). Banyak acara yang diadakan virtual. Untuk supaya tetap mendapatkan kualitas hidup yang bagus bagi saya dan keluarga, saya membatasi praktik. Jadi, saya masih ada waktu untuk bisa membacakan buku anak dan lainnya.
ADVERTISEMENT
Kemudian, mungkin yang menjadi tantangan bekerja di rumah adalah anak. Anak-anak tadinya tidak mengerti, lama-lama mereka mengerti. Saya kasih juga pekerjaan yang cukup positif dan bikin dia anteng, seperti mewarnai. Saya juga membelikan mainan edukatif, seperti magnetik. Kalau menonton, saya hampir batasi. Kalau saya menghadiri acara virtual rata-rata satu sampai satu setengah jam, biasanya masih bisa saya taruh dia di kamar.
Apakah Anda masih sempat melakukan me time?
Saya orang ekstrovert. Jadi, saya me time dengan pergi dan bertemu orang. Saya lebih suka playdate di outdoor bersama ibu-ibu muda lainnya, biar anak juga ada kesempatan pergi keluar. Saya juga bisa keluar mengobrol sama ibu-ibu sambil anak kita main.
Saya travelling juga bersama keluarga untuk refreshment. Kalau tidak, takut stres atau burnout. Saya juga suka masak sebagai me time.
ADVERTISEMENT
Apa morning ritual yang Anda jalankan untuk menjaga kesehatan kulit ?
Nomor satu, minum yang cukup. Air putih penting sekali. Hidrasi kulit diambil dari air yang kita minum. Orang kadang suka salah, karena tahunya harus minum dua liter sehari. Dua liter ini pada kebanyakan orang setelah diukur ternyata terlalu sedikit. Kebutuhan setiap orang terhadap air sebenarnya berbeda-beda, apalagi kalau orangnya gemar berolahraga.