Feminis Mesir Nawal El Saadawi Meninggal Dunia, Ini 7 Fakta Tentang Dirinya

24 Maret 2021 8:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Nawal el Saadawi. Foto: MARINA HELLI / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Nawal el Saadawi. Foto: MARINA HELLI / AFP
ADVERTISEMENT
Kabar duka datang dari Mesir. Penulis sekaligus feminis berpengaruh asal negara tersebut, Nawal el Saadawi meninggal dunia pada Minggu (21/3). Mengutip The Guardian, Saadawi meninggal di sebuah rumah sakit di Kairo setelah lama berjuang melawan penyakit. Kabar duka ini dikonfirmasi oleh kantor berita pemerintah Mesir, Al-Ahram.
ADVERTISEMENT
Sepanjang hidupnya, Nawal El Saadawi dikenal sebagai seorang feminis yang sangat berani menyuarakan isi pikirannya. Ia menulis buku-buku mengenai perjuangan dirinya dan perempuan lain yang banyak menuai kontroversi di negaranya sendiri.
Pada 2020, Nawal El Saadawi dinobatkan sebagai salah satu dari 100 perempuan paling berpengaruh di dunia versi majalah TIME. Keberaniannya menyuarakan pendapat berhasil membuat perubahan.
Untuk lebih mengenal Nawal El Saadawi, kumparanWOMAN telah merangkum sejumlah fakta menarik tentang dirinya. Mengutip berbagai sumber, simak selengkapnya berikut ini.

1. Hampir jadi korban pernikahan anak

Lahir di sebuah desa di luar Kairo pada 1931, Nawal El Saadawi merupakan anak kedua dari sembilan bersaudara. Ayahnya adalah seorang pejabat pemerintahan dan ibunya berasal dari keluarga kaya.
Nawal El Saadawi Foto: MARWAN NAAMANI/AFP
Saat masih kecil, Saadawi hampir menjadi korban pernikahan anak saat ia masih berusia 10 tahun. Rencana ini berhasil digagalkan karena ia menolak dan ibunya memberikan dukungan agar Saadawi tidak dinikahkan.
ADVERTISEMENT
Peristiwa ini membuat Saadawi sudah menyadari sejak kecil bahwa perempuan diperlakukan tidak adil. Menurut laporan BBC, ia semakin marah ketika mendengar neneknya mengatakan bahwa satu laki-laki nilainya sama dengan 15 perempuan. Kejadian di masa kecil inilah yang membuat Saadawi selalu berkomitmen untuk berjuang melawan ketidaksetaraan.

2. Telah menulis lebih dari 55 buku

Semasa hidupnya, Saadawi telah menulis dan menerbitkan lebih dari 55 buku. Menariknya, novel pertama Saadawi diterbitkan saat ia masih berusia 13 tahun. Dalam setiap bukunya Saadawi selalu mengutarakan isi pikirannya dengan berani dan terbuka mengenai isu-isu terkait perempuan. Ia bahkan menceritakan pengalamannya secara detail saat menjalani sunat ketika ia masih kecil.
Beberapa bukunya juga sempat menjadi kontroversi dan susah diakses karena dianggap terlalu radikal oleh sebagian kelompok. Meski begitu, Saadawi tak pernah menyerah atau takut. "Dari dulu saya tidak pernah berubah. Saya selalu menulis sesuai keinginan saya," ungkap Saadawi kepada The Guardian.
ADVERTISEMENT

3. Lulusan kedokteran

Tak hanya piawai menulis, Nawal El Saadawi juga merupakan lulusan gelar kedokteran dari Universitas Kairo pada 1955. Setelah lulus, ia sempat bekerja sebagai dokter namun akhirnya mengambil spesifik jurusan psikiatri.
Selanjutnya, Saadawi menjadi direktur kesehatan masyarakat untuk pemerintah Mesir. Tapi pada 1972 ia diberhentikan dari jabatannya setelah menerbitkan buku non-fiksi bertajuk Women and Sex. Dalam bukunya tersebut, ia mengkritik habis-habisan tentang praktik Female Genital Mutilation (FGM) atau sunat perempuan. Ia menganggap praktik ini menjadi alat untuk merendahkan perempuan.
Kritikannya tersebut tak hanya berpengaruh pada perjalanan kariernya, tetapi perusahaan majalah Health yang ia dirikan juga terpaksa harus ditutup pada 1973.
Meski demikian, Saadawi tak pernah menyerah. Ia terus menulis dan menyuarakan pendapatnya. Pada 1975, ia meluncurkan buku berjudul Woman at Point Zero. Sebuah novel yang bercerita tentang kehidupan nyata perempuan terpidana mati yang ia temui.
ADVERTISEMENT

4. Menentang sunat perempuan

Dalam bukunya yang bertajuk The Hidden Face of Eve, Saadawi bercerita mengenai pengalamannya saat menjadi korban sunat perempuan. Kala itu, ia berusia enam tahun dan menjalani prosedur menyakitkan itu di kamar mandi ditemani oleh ibunya.
Sejak itu, Saadawi bertekad untuk menentang sunat perempuan dan melakukan banyak kampanye melawan praktik tersebut. Menurutnya, sunat perempuan adalah alat untuk menindas perempuan. Perjuangan Saadawi ini tak sia-sia. Pada 2008, pemerintah Mesir resmi melarang sunat perempuan namun di beberapa daerah, praktik ini masih terus berlanjut.

5. Pernah dipenjara karena mengutarakan pandangan politik

Pada 1981, pandangan politiknya yang sangat blak-blakan menyebabkan Saadawi didakwa melakukan kejahatan terhadap negara dan dipenjara selama tiga bulan. Penjara tidak menghentikan keinginannya untuk menulis. Selama tiga bulan di penjara, Saadawi menulis buku Memoirs From The Women's Prison menggunakan pensil alis di atas gulungan kertas toilet. Di tahun 1993, ia diasingkan ke Amerika setelah ancaman pembunuhan terhadapnya dikeluarkan oleh kelompok agama.
ADVERTISEMENT

6. Mendapat dukungan internasional

Pada masa-masa setelah ia diasingkan, Nawal Saadawi tetap menyuarakan isu-isu yang ia anggap benar. Ia tetap memperjuangkan HAM, terutama hak perempuan. Atas kerja kerasnya ini, Saadawi mendapat banyak dukungan internasional.
Buku-bukunya diterbitkan dan diterjemahkan ke lebih dari 40 bahasa. Saadawi menerima banyak gelar kehormatan dari universitas di seluruh dunia dan pada 2020, majalah TIME menobatkannya sebagai salah satu 100 perempuan terbaik dan menjadikannya sebagai model sampul.

7. Pernah dibungkam karena dianggap terlalu radikal

Nawal El Saadawi Foto: Mona Sharaf/REUTERS
Bisa dibilang, Saadawi adalah perempuan paling lantang di Mesir. Dunia mengenalnya sebagai feminis yang tak pernah takut menyuarakan apa yang diyakini. Ia juga disebut-sebut sebagai Simone de Beauvoir dari Mesir karena tulisan-tulisannya yang menentang penindasan terhadap perempuan Arab akibat tradisi kuno.
ADVERTISEMENT
Ia juga dijuluki sebagai feminis yang radikal. Bahkan ia pernah diminta untuk mengurangi kritikannya namun menolak.
Selain itu, Nawal el Saadawi juga mengakui bahwa dirinya adalah sosok feminis yang radikal. "Semakin bertambah usia, saya menjadi lebih radikal. Saya perhatikan bahwa para penulis, ketika mereka sudah tua, menjadi lebih mild. Tetapi bagi saya justru sebaliknya. Usia membuat saya lebih marah,” ungkap Nawal el Saadawi pada The Guardian.