Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Kisah Fatmawati, Perempuan Penjahit Bendera Merah Putih Pertama untuk Indonesia
17 Agustus 2020 10:46 WIB
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Kala itu, Soekarno bersama tokoh lain sedang mempersiapkan perlengkapan yang akan digunakan untuk momen pembacaan naskah teks proklamasi. Fatmawati yang berada di dalam rumah tak sengaja mendengar bahwa bendera Indonesia belum tersedia.
Ia pun kemudian memutuskan untuk menjahit Bendera Indonesia. Dengan bantuan Chaerul Basri, seorang pemuda asal Bukit Tinggi, Sumatera Barat, Fatmawati meminta kain merah dan putih kepada Shimizu, pimpinan barisan Propaganda Jepang Gerakan Tiga A. Shimizu yang sudah menjadi teman baik Fatmawati pun kemudian menghubungi rekannya untuk mendapatkan kain merah dan putih.
Setelah itu, Shimizu sendiri yang menyerahkan dua blok kain berwarna merah dan putih kepada Fatmawati yang kemudian dijahit saat itu juga di ruang makan.
Menggunakan mesin jahit sederhana, Fatmawati yang saat itu ada dalam kondisi hamil berusaha untuk menyelesaikan bendera tersebut dengan tepat waktu. Bendera Merah Putih berukuran 2 x 3 meter itu kemudian dikibarkan setelah pembacaan naskah proklamasi pada 17 Agustus 1945 di di rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta. Bendera tersebut selalu dikibarkan setiap 17 Agustus hingga kondisinya menjadi rapuh dan harus disimpan menjadi benda pusaka negara.
ADVERTISEMENT
Perjalanan hidup Fatmawati
Sebelum menikah dengan Soekarno dan menjadi Ibu Negara pertama di Indonesia, Fatmawati merupakan anak perempuan dari pasangan asal Bengkulu, Hasan Din dan Chadijah. Lahir pada 5 Februari 1923, Fatmawati kecil biasa dipanggil dengan nama Ma, bukan Fat seperti kebanyakan orang mengenalnya saat ia sudah dewasa.
Menurut buku Ibu Indonesia Dalam Kenangan karya Nurinwa Ki S. Hendrowinoto, dkk. (2004), Fatmawati kecil disekolahkan kedua orang tuanya di sekolah rakyat. Namun pada 1930, ia dipindahkan ke sekolah berbahasa Belanda (HIS). Tak berhenti disitu, saat kelas tiga ayahnya kembali memindahkan Fatmawati ke sekolah HIS Muhammadiyah. Sebagai seorang anak perempuan, Fatmawati tumbuh sebagai perempuan muda yang kuat. Ia pun rajin membantu kedua orang tuanya. Tak lama setelah pindah sekolah, orang tua Fatmawati mengalami kesulitan ekonomi. Ia pun terpaksa harus membantu kedua orang tuanya untuk menjajakan kacang bawang buatan ibunya.
ADVERTISEMENT
Hingga suatu ketika, keluarga Hasan Din memutuskan untuk pindah dan mengadu nasib di Palembang dengan membuka usaha percetakan. Fatmawati dan keluarganya kemudian menetap di Palembang hingga ia akhirnya bertemu dengan Soekarno.
Kisah cinta Fatmawati dan Soekarno
Menurut buku Ibu Indonesia Dalam Kenangan karya Nurinwa Ki S. Hendrowinoto, dkk. (2004), saat masih berusia empat tahun, seorang ahli nujum terkenal dari India membacakan suratan tangan dari Hasan Din. Ahli tersebut mengatakan bahwa kelak anak perempuannya akan mendapat pasangan seseorang yang memiliki kedudukan tertinggi di Indonesia. Meski tidak begitu saja mempercayai ucapan ahli nujum, ternyata hidup mempertemukan Fatmawati dengan Ir. Soekarno. Sosok pria yang kemudian menjadi presiden pertama Indonesia, seseorang dengan kedudukan tertinggi di negeri ini kala itu.
Pertemuan antara Fatmawati dan Soekarno terjadi berkat ayahnya. Kala itu, Fatmawati kecil diajak oleh ayahnya untuk bertemu dengan tokoh penting negara yang sedang diasingkan di Bengkulu. Ia adalah Ir. Soekarno. Kabarnya, kesan pertama Fatmawati terhadap Soekarno adalah ia tidak sombong, matanya berbinar, berbadan tegap dan tawanya lebar.
ADVERTISEMENT
Keluarga Fatmawati dan Soekarno kemudian menjalin hubungan baik sebab mereka memiliki visi yang sama, yaitu memajukan dan mengubah kehidupan bangsa. Karena kedekatan itu, Fatmawati kemudian mendapat bantuan Soekarno agar bisa melanjutkan sekolah di RK Vackschool.
Hubungan pribadi keduanya kemudian terjadi setelah Hasan Din berusaha untuk meminta pendapat Soekarno bahwa ada seorang pria yang melamar Fatmawati. Mendengar hal tersebut, Soekarno kemudian mengeluarkan isi hati bahwa ia sudah jatuh hati dengan Fatmawati. Kabarnya, Soekarno jatuh cinta pada pandangan pertama, namun tidak diungkapkan karena kala itu Fatmawati masih terlalu muda.
Tak langsung menerima, Fatmawati menyampaikan keresahannya karena Soekarno kala itu masih dalam status menikah dengan Inggit Garnasih, istri kedua Soekarno. Namun tak lama setelah itu, terdengar kabar bahwa hubungan Inggit dan Soekarno telah berakhir. Meski begitu, kisah cinta keduanya tak langsung berjalan mulus karena mereka sempat terpisah karena ada peralihan kekuasaan dari penjajah Belanda ke tentara Jepang.
ADVERTISEMENT
Di tengah kondisi krisis tersebut, Soekarno tetap berusaha memberi kabar pada Fatmawati dan keluarga, serta merencanakan pernikahan mereka. Akhirnya, pada Juli 1942 Fatmawati resmi menikah dengan Soekarno. Kala itu ia masih berusia sekitar 20 tahunan. Ia pun kemudian ikut dengan Soekarno untuk pindah ke Jakarta.
Pernikahan keduanya dikaruniai lima orang anak, yaitu Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra.
Fatmawati selalu setia mendampingi Soekarno
Dalam tugasnya menjadi Ibu Negara, Fatmawati setia mendampingi Bung Karno sebagai Presiden. Di setiap kesempatan, Fatmawati selalu tampil sederhana. Ia memberikan teladan yang baik bagi perempuan Indonesia baik dalam bersikap, bertingkah laku maupun berpakaian. Kemanapun pergi, Fatmawati selalu memakai kerudung yang menjadi ciri khasnya dan Soekarno selalu memujinya.
ADVERTISEMENT
Hubungan Fatmawati dan Soekarno renggang setelah sang suami meminta izin untuk menikah lagi. Pada 1953, ternyata Soekarno telah menikah siri dengan perempuan asal Jawa bernama Hartini. Tak setuju dengan keputusan tersebut, Fatmawati meminta agar Soekarno segera mengembalikan Fatmawati kepada orang tuanya setelah Soekarno menyelesaikan semua urusan. Keputusan berpisah ini diambil oleh Fatmawati karena ia tak setuju dengan praktik poligami yang dianggap tidak adil dan merendahkan martabat perempuan.
Fatmawati sendiri meninggal dunia pada tanggal 14 Mei 1980, setelah ia menunaikan ibadah Umroh karena terkena serangan penyakit jantung ketika pesawat singgah di Kuala Lumpur dalam penerbangan menuju Jakarta dari Mekkah. Ia dimakamkan di pemakaman umum Karet Bivak Jakarta.
***
Saksikan video menarik di bawah ini.
ADVERTISEMENT