Kisah Inspiratif Sojourner Truth, Mantan Budak yang Memperjuangkan Hak Perempuan

5 Juni 2020 19:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sojourner Truth. Foto: Source: www.womenshistory.org
zoom-in-whitePerbesar
Sojourner Truth. Foto: Source: www.womenshistory.org
ADVERTISEMENT
Jika bicara soal perempuan kulit hitam paling menginspirasi, mungkin nama Oprah Winfrey atau Michelle Obama menjadi salah satu yang akan muncul dalam pikiran. Padahal ada banyak perempuan berdarah Afrika-Amerika atau perempuan kulit hitam lainnya yang juga tak kalah menginspirasi.
ADVERTISEMENT
Salah satunya adalah Sojourner Truth. Lahir dengan nama asli Isabella Bomfree, Sojourner Truth merupakan salah satu perempuan kulit hitam paling berpengaruh dalam sejarah perbudakan di Amerika Serikat. Dulunya ia adalah seorang budak di Ulster County, New York, pada tahun 1797.
Selama menjadi budak, Truth sudah diperdagangkan sebanyak empat kali dan selalu ditempatkan pada pekerjaan fisik yang berat, serta memiliki hukuman yang kejam.
Melihat kondisi perbudakan yang kian menyiksa dan kekhawatirannya pada anak-anak, pada 1827 sebelum New York meresmikan hukum untuk membebaskan perbudakan, Truth memutuskan untuk melarikan diri bersama salah satu anaknya yang bernama Sophia. Mereka berjalan kaki hingga puluhan kilometer untuk mendapatkan pertolongan.
Truth kemudian ditolong oleh keluarga Van Wageners, seorang abolitionist. Setelah menceritakan hal yang dialami, keluarga Wageners kemudian membantu Truth mendapatkan kebebasan dengan membayar uang senilai 20 dolar AS. Mereka juga membantu Truth untuk menuntut majikannya yang merupakan orang kulit putih karena telah menjual Peter, anak laki-lakinya yang berusia lima tahun secara ilegal sebagai budak di Alabama.
ADVERTISEMENT
Sejak saat itu, Truth memahami bahwa dirinya ditakdirkan untuk melawan dan tidak terus terpuruk dalam lingkup perbudakan. Oleh karena itu ia pindah ke Kota New York pada 1828 dan bekerja untuk menteri setempat. Karena memiliki tekad yang besar untuk mengubah hidup masyarakat kulit hitam, terutama perempuan, memasuki awal 1830-an Truth memilih bergabung dalam sebuah organisasi rohani dan menjadi pembicara yang menarik perhatian.
Bergabung dalam organisasi rohani membuat Truth menjadi sosok yang lebih religius. Ia juga percaya bahwa keberanian yang selama ini miliki memang merupakan karunia Tuhan. Itu yang menjadi alasan utama ia mengganti namanya menjadi Sojourner Truth.
Tak bisa baca tulis, Truth memerangi perbudakan lewat ceramah
Sebagai perempuan yang tidak mendapatkan pendidikan layak, Sojourner Truth tidak pernah punya kesempatan untuk belajar menulis dan membaca. Perannya sebagai pengkhotbah keliling pun ia lakukan dengan mengungkapkan apa yang ada dalam pemikirannya, serta apa yang sudah diajarkan dalam agama.
ADVERTISEMENT
Hingga suatu ketika, Truth bertemu dengan pejuang perbudakan lainnya, yaitu William Lloyd Garrison dan Frederick Douglass. Keduanya kemudian mengajak Truth untuk mengisi sebuah acara dan menyampaikan pidato mengenai kekejaman perbudakan.
Di tahun 1851, Truth memulai tur ceramah hingga menghadiri Konferensi Hak-hak Perempuan di Akron, Ohio. Acara tersebut bisa dibilang menjadi terobosan dari karier Sojourner Truth. Sebab dalam konferensi itu, Truth menyampaikan sebuah ceramah bertajuk ‘Ain’t I a Woman?’.
Dalam ceramah atau pidatonya itu, ia menentang gagasan inferioritas ras dan gender yang berlaku. Ia juga menuntut kesetaraan untuk perempuan dari berbagai ras, termasuk perempuan kulit hitam. Ia menyadari bahwa apa yang disampaikannya bisa membahayakan nyawanya pada masa itu, namun sebagai advokat dan pejuang, Truth tetap lantang menyuarakan kesetaraan.
ADVERTISEMENT
Kalimat yang paling diingat dari pidato Truth adalah saat ia membandingkan tindak rasisme yang dilakukan oleh pria pada masanya. “Pria di sebelah sana mengatakan bahwa perempuan perlu dibantu saat akan naik kereta kuda dan harus diangkat saat melewati kotoran, bahwa perempuan sudah seharusnya mendapatkan tempat terbaik dimana saja. Tetapi tidak ada satu orang pun yang membantu saya untuk mencapai tempat terbaik. Dan bukan kah saya seorang perempuan?” ungkap Truth dalam pidatonya kala itu.
Para peserta yang hadir dalam konferensi pun dibuat tercengang dengan keberanian Truth. Namun sayangnya, karena pidatonya itu, Truth harus berhenti bekerja sama dengan Frederick Douglass karena perbedaan pendapat. Douglass menganggap bahwa pria lebih layak dibebaskan terlebih dulu daripada perempuan. Sedangkan Truth ingin keduanya dibebaskan secara bersamaan.
Mantan Ibu Negara AS Michelle Obama (tengah) dan Ketua DPR Nancy Pelosi (kiri) melihat ke arah patung Sojourner Truth di gedung Capitol. Foto: AFP/TIM SLOAN
Meski begitu, Truth tidak patah arang. Ia terus mencari cara untuk bisa tetap menuntut kesetaraan dan membebaskan perempuan dan laki-laki dari perbudakan. Hingga sisa hidupnya, Truth tidak pernah berhenti menolong sesama dan memberikan ceramah. Ia membantu banyak masyarakat untuk lepas dari perbudakan.
ADVERTISEMENT
Lebih dari itu, saat Perang Saudara pecah, Truth mendesak para pemuda untuk bergabung dengan serikat buruh dan mengatur persediaan makanan untuk pasukan kulit hitam. Karena jasanya itu, Truth pun diundang ke Gedung Putih dan terlibat dengan Biro Freedmen, divisi yang membantu penyintas perbudakan mendapat pekerjaan dan memulai kehidupan baru.
Perjuangan Sojourner Truth tak hanya dikenang di masa lalu. Pada 2014, Truth masuk dalam daftar 100 Most Significant Americans of All Time versi majalah Smithsonian. Ia juga menjadi perempuan keturunan Afrika-Amerika yang patung dirinya dipajang di gedung Capitol, Washington D.C.