Kisah Margaret Sanger, Tokoh Kontroversial di Balik Terciptanya Pil KB

18 Januari 2023 16:20 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Margaret Sanger, yang mendirikan American Birth Control League pada tahun 1921. Foto: AP Photo
zoom-in-whitePerbesar
Margaret Sanger, yang mendirikan American Birth Control League pada tahun 1921. Foto: AP Photo
ADVERTISEMENT
"Kamu yang menyebabkan ini. Ibu meninggal karena memiliki terlalu banyak anak," kecam Margaret Sanger kepada sang Ayah ketika menghadiri pemakaman ibunya, seperti dikutip dari Public Broadcasting Service (PBC).
ADVERTISEMENT
Lahir dengan nama Margaret Louise Higgins pada 14 September 1879 di Corning, New York, Amerika Serikat (AS), ia merupakan anak keenam dari 11 bersaudara. Ayahnya, Michael Hennessey Higgins, merupakan seorang tukang batu. Sementara itu, ibunya, Anna Purcell Higgins, adalah penganut Katolik yang taat.
Dilansir TIME, jalan hidup Margaret dibentuk oleh kemiskinan, bahkan mereka tinggal dalam sebuah gubuk. Pada usia 19 tahun, Margaret menyaksikan ibunya meninggal tidak lama setelah melahirkan anak ke-11.
Dalam jangka waktu 22 tahun, ibunda Margaret mengandung sebanyak 18 kali dan tujuh di antaranya keguguran. Ia menganggap kematian ibunya akibat terlalu sering hamil dan melahirkan.

Memulai karier sebagai perawat

Lulus dari sekolah, Margaret belajar sebagai perawat di White Plains Hospital pada 1902. Walaupun lulus, ia tidak melanjutkan bekerja di rumah sakit itu sebagai perawat. Setelahnya, ia menikah dengan seorang arsitek, William Sanger, dan pindah ke New York bersama ketiga anak mereka.
ADVERTISEMENT
Pada 1912, Margaret bertugas merawat para perempuan yang sakit akibat aborsi di Lower East Side, New York. Di sana, ia menyaksikan hubungan antara kemiskinan, kehamilan yang tidak terkendali, tingginya angka kematian bayi dan ibu, serta kematian akibat aborsi ilegal.
Satu hal yang paling membuatnya geram adalah apa yang terjadi pada Saddie Sachs. Sama seperti perempuan lainnya, Saddie mengalami kehamilan berulang kali meski ia tidak menginginkannya. Ia mengaku tak sanggup lagi untuk mengasuh anak.
Kala itu, Saddie ditemukan dalam keadaan terbaring lemas di lantai usai melakukan aborsi mandiri. Tak lama, suami Saddie memanggil dokter dan Margaret sebagai perawat. Selama tiga minggu, Saddie dirawat hingga akhirnya sembuh.

Bertekad untuk mencari solusi agar dapat mencegah kehamilan

Setelah sembuh, Saddie, dibantu Margaret, bertanya kepada dokter; apakah ada yang bisa dilakukan untuk mencegah kehamilan lagi. Namun, si dokter menanggapinya dengan tidak serius. Ia menyarankan Saddie untuk tidak berhubungan seks lagi agar tidak hamil.
ADVERTISEMENT
Beberapa bulan kemudian, Saddie kembali hamil dan melakukan aborsi mandiri di rumah. Sayangnya, kali ini, nyawa perempuan itu tidak terselamatkan. Sejak saat itu, tekad Margaret untuk mencari tahu cara pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan pun kian besar.
Pada tahun 1912, Margaret Sanger mulai menulis kolom bertajuk "What Every Mother Should Know" dan "What Every Girl Should Know" mengenai edukasi seks di majalah sosialis New York Call. Artikelnya langsung menjadi pembicaraan banyak orang karena bahasanya yang frontal.
Tidak sedikit juga yang marah, mengingat saat itu pembicaraan tersebut adalah sesuatu yang tabu. Belum lagi, ada hukum Comstock yang berlaku, yang melarang hal-hal bersifat cabul dan vulgar, termasuk pembicaraan mengenai seks dan pencegahan kehamilan.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, artikel Margaret dalam majalah sosialis itu banyak disensor. Bahkan, untuk kata-kata seperti “sifilis” dan “gonorrhea” pun dilarang. Ditambah, para sosialis ini diam-diam merasa terancam oleh sikap Margaret. Mereka belum siap menerima bahwa perempuan bisa menentukan kapan dan apakah mereka mau memiliki anak.
Dua tahun kemudian, Margaret menerbitkan edisi pertama “The Woman Rebel”, majalah bulanan yang mengadvokasi feminisme militan, termasuk hak untuk mempraktikkan pencegahan kehamilan dengan tagline mereka “No Gods, No Masters”.

Membuka klinik KB pertama di AS

Pada Oktober 1916, Margaret Sanger bersama saudara perempuannya, Ethel Byrne, dan seorang perawat, Fania Mindell, membuka Clinical Research Bureau (CRB), klinik KB pertama di Brooklyn, Amerika Serikat. Mereka membagikan pamflet yang berbunyi, “Bisakah Anda memiliki keluarga besar? Apakah Anda ingin anak lagi? Jika tidak, mengapa Anda memilikinya? Jangan membunuh, jangan mengambil hidup, tapi mencegah.”
ADVERTISEMENT
Sayangnya, klinik tersebut hanya bertahan selama sembilan hari sebelum ditutup oleh polisi perempuan yang menyamar sebagai pasien. Pada 16 November, Margaret membuka klinik untuk ketiga kalinya, tetapi pihak berwenang menangkap mereka.
Margaret kemudian diadili pada tahun 1917 dan persidangannya mendapat sorotan pers besar-besaran. Ia dinyatakan bersalah dan dihukum menjalani 30 hari di dalam penjara atau membayar denda. Margaret memilih dipenjara dan di sana dia mengajarkan para narapidana tentang pengendalian kelahiran.
Tak puas dengan aksi yang sudah dilakukan, Margaret mendirikan American Birth Control League pada tahun 1921, organisasi yang 21 tahun kemudian berganti nama menjadi Planned Parenthood. Ia merasa, seharusnya semua perempuan memiliki akses yang setara untuk mendapatkan kontrasepsi, bukan sekadar masalah medis.
ADVERTISEMENT

Berjuang memopulerkan alat kontrasepsi lainnya

Setelah 40 tahun berjuang untuk membantu perempuan mengendalikan kesuburan mereka, Margaret Sanger sangat frustrasi dengan terbatasnya pilihan alat kontrasepsi yang tersedia bagi perempuan.
Mengutip Britannica, sejak penemuan alat kontrasepsi jenis diafragma di Eropa pada tahun 1842 dan pengenalan kondom karet panjang pertama di AS pada tahun 1869, tidak ada kemajuan baru dalam metode kontrasepsi.
Setelah mempromosikannya selama beberapa dekade, Margaret menganggap diafragma merupakan alat kontrasepsi yang paling tidak populer di AS. Diafragma sangat efektif, tetapi harganya mahal dan kebanyakan perempuan malu untuk menggunakannya.
Namun, Margaret—yang saat itu berusia 70-an dan dalam kondisi kesehatan yang buruk—tidak mau menyerah. Ia telah memimpikan "pil ajaib" untuk kontrasepsi sejak 1912. Margaret mencari seseorang untuk mewujudkan mimpinya agar menciptakan alat kontrasepsi yang mudah seperti meminum aspirin.
ADVERTISEMENT
Ia menginginkan alat kontrasepsi berupa pil dengan harga yang murah, aman, efektif, dan dapat dikendalikan oleh perempuan sendiri. Pencariannya berakhir pada tahun 1951 ketika Margaret bertemu dengan seorang ahli medis reproduksi, Gregory Pincus, yang bersedia mengerjakan proyek tersebut.
Setelah itu, Margaret menemukan sponsor untuk penelitian tersebut, yakni seorang pewaris International Harvester, Katharine McCormick. Pada tahun 1960, kolaborasi mereka–yang disetujui oleh FDA–menghasilkan kontrasepsi oral pertama. Dengan munculnya pil KB, Margaret mencapai tujuan seumur hidupnya untuk menghadirkan kontrasepsi yang aman dan efektif kepada masyarakat luas.

Dituduh rasis

Fokus Margaret Sanger pada pengendalian kelahiran terkadang memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan. Margaret telah dijerat dengan tuduhan rasisme karena kedekatannya dengan kelompok eugenetika—yang berusaha untuk "membiakkan" populasi yang "tidak diinginkan" dengan pengendalian kelahiran dan sterilisasi—serta pekerjaannya dengan orang-orang Afrika-Amerika.
ADVERTISEMENT
Kala itu, komunitas kulit hitam mengundangnya untuk membantu mendirikan klinik. Klinik yang disebutnya "Proyek Negro" tersebut bertujuan menyebarkan saran kontrasepsi kepada komunitas kulit hitam yang miskin di AS selatan. Proyek ini menjadi sumber kontroversi yang diangkat oleh nasionalis kulit hitam dan aktivis anti-aborsi.
Dikutip dari American Magazine, kepada surat kabar Clarence Gamble yang diterbitkan pada 1939, Margaret mengungkapkan dasar-dasar rasial dari proyeknya, “Kami tidak ingin tersiar kabar bahwa kami ingin memusnahkan populasi Negro, dan menteri [Afrika-Amerika] adalah orang yang dapat meluruskan gagasan itu jika itu pernah terjadi pada anggota mereka yang lebih memberontak.”
Pembela Margaret pun berargumen bahwa kalimat itu sebenarnya tidak rasis dan para pengamat hanya salah tangkap. Cendekiawan dan aktivis Afrika-Amerika, Angela Davis, menyoroti kalimat “rasisme” tersebut, lalu beranggapan bahwa pengendalian kelahiran merosot menjadi pengendalian populasi dan tidak ada pernyataan tentang warna populasi yang menjadi sasaran.
ADVERTISEMENT

Mengakhiri hukum Comstock

Margaret Sanger percaya bahwa satu-satunya cara untuk mengubah hukum adalah dengan melanggarnya. Hal ini terbukti setelah Margaret aktif menentang undang-undang Comstock untuk membawa informasi KB dan alat kontrasepsi kepada setiap perempuan sejak tahun 1910-an.
Setelah lebih dari setengah abad memperjuangkan hak perempuan untuk mengendalikan kesuburan mereka sendiri, Margaret menyaksikan kehancuran hukum Comstock. Dalam Griswold v. Connecticut tahun 1965, pengadilan memutuskan bahwa penggunaan alat kontrasepsi secara pribadi adalah hak konstitusional.
Setahun kemudian, Margaret Sanger meninggal di usia 86 tahun. Masih mengutip dari sumber yang sama, Margaret Sanger mengabdikan hidupnya untuk melegalkan alat kontrasepsi dan membuatnya tersedia secara universal untuk perempuan.