WOMEN ON TOP - Yenny Wahid

Misi Sosial Yenny Wahid Lewat Produk Kecantikan Halal

23 November 2019 16:46 WIB
comment
11
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Yenny Wahid sebagai Role Model untuk program spesial Women on Top kumparanWOMAN. Stylist: Anantama Putra, Makeup: Linda Kusuma Dewi. Fotografi: SweetEscape.
zoom-in-whitePerbesar
Yenny Wahid sebagai Role Model untuk program spesial Women on Top kumparanWOMAN. Stylist: Anantama Putra, Makeup: Linda Kusuma Dewi. Fotografi: SweetEscape.
Dengan perasaan kagum, kami memasuki kediaman Sinta Nuriyah, istri mendiang Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, presiden keempat Indonesia. Walaupun megah, rumah dengan halaman luas ini tidak tampak mengintimidasi berkat sentuhan asri dari tanaman dan kolam ikan yang terawat di halaman depan. Hari itu tim kumparanWOMAN memang ada janji untuk melakukan wawancara bersama Ibu Sinta Nuriyah dan putri keduanya, Yenny Wahid.
Cuaca yang tadinya begitu panas pun berubah menjadi sejuk ketika keluarga Wahid menyapa kumparanWOMAN dengan ramah. Meski awalnya aura sedikit terasa berat karena ketatnya pengawalan dari staf Paspampres, sesi wawancara dan photoshoot kami dengan Sinta Nuriyah dan Yenny Wahid, berlangsung lancar dan penuh kehangatan.
Sambil menunggu persiapan foto dan syuting, di sela-sela sesi makeup, kami mendapat kesempatan mengobrol dengan Yenny Wahid soal bisnis terbarunya, MORA Beyond Beauty. Belum lama ini, putri kedua Gus Dur itu mendirikan brand kecantikan halal, sebuah manuver yang begitu jauh dari aktivitasnya selama ini, yaitu dunia sosial dan politik.
Yenny mengungkapkan bahwa sebenarnya ia sudah lama ingin masuk ke industri kecantikan halal. Perempuan yang memiliki penuturan cerdas, tegas, namun ramah ini juga mengklaim, brand-nya bukan sekadar produk kecantikan, karena model bisnisnya yang dibuat dengan semangat sosial.
“Orang yang membeli produk ini (MORA) otomatis terlibat dalam upaya untuk mengatasi masalah yang ada di masyarakat. Bisa masalah kemiskinan, kesenjangan ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya,” tuturnya kepada kumparanWOMAN.
Lebih lanjut, Yenny berbagi banyak cerita mengenai brand terbarunya. Ia menuturkan alasannya mendirikan MORA, harapannya untuk brand ini, juga persepsinya mengenai standar kecantikan yang ada dalam masyarakat.
Simak percakapan kami dengan Yenny Wahid, sebagai sosok role model kumparanWOMAN dalam collection Women on Top kali ini.
Yenny Wahid sebagai Role Model untuk program spesial Women on Top kumparanWOMAN. Stylist: Anantama Putra, Makeup: Linda Kusuma Dewi Foto: Fotografi: SweetEscape | Argy Pradypta/kumparan
MORA Beyond Beauty menjadi gebrakan terbaru yang mengejutkan dari Yenny Wahid. Seperti apa proses pendirian brand kecantikan ini? Sejak kapan idenya muncul?
Sebenarnya, dari dulu saya sudah ingin masuk ke industri kecantikan. Terutama, industri kecantikan halal.
Awalnya, saya pernah dihubungi oleh seorang pengusaha dari Timur Tengah. Dia mau membawa masuk produknya dan meminta saya menjadi rekan bisnisnya. Ketika itu, konsepnya adalah produk kecantikan yang halal, tapi premium.
Tapi, perusahaan itu ternyata mengalami masalah internal. Saya pun tidak jadi bekerja sama dengan mereka.
Dari situ, saya jadi berpikir. Kenapa harus menunggu orang lain? Kenapa tidak membuat brand sendiri saja? Tapi, saya juga sedang sibuk sekali dengan usaha-usaha sosial. Di antaranya, untuk menciptakan penguatan ekonomi, terutama untuk komunitas ibu-ibu yang masuk dalam anggota kami.
Kami pun berusaha mencari tahu, usaha apa sih yang akan tetap diminati oleh orang-orang, terutama perempuan, walau sedang resesi ekonomi?
Selain bahan pokok, ternyata jawabannya adalah produk kosmetik.
Akhirnya, kami mendirikan MORA Beyond Beauty. Elemen sosial brand ini sangat kuat. Kami selalu memberikan 10 persen dari keuntungan untuk kegiatan sosial dan kami juga terbuka bekerja sama dengan siapapun.
Yenny Wahid, Founder MORA Beyond Beauty. Foto: dok. MORA
Berapa lama waktu yang dibutuhkan sampai Anda yakin untuk mendirikan brand kecantikan sendiri?
(Tawaran dari pihak Timur Tengah itu datang) sekitar 10 tahun lalu. Tapi, butuh waktu lama sampai akhirnya menjadi MORA, karena saya ragu bisa melakukan ini sendiri. Ketika itu, saya belum bertemu tim yang pas.
Ternyata, begitu bertemu anak-anak muda yang memiliki passion sama, terutama passion untuk sosial, langsung bisa take off.
Seberapa jauh Anda terlibat dalam menentukan konsep untuk MORA Beauty?
Kami melakukan riset bersama anak-anak muda yang terlibat dalam brand ini. Tapi, untuk packaging, saya memang sangat terlibat. Saya ingin desain packaging-nya bisa mencerminkan kualitas produk, menggambarkan nilai premium dan menunjukkan bahwa ini adalah beauty item yang berkualitas, cantik, dan halal.
Mora velvet lipstick. Foto: Avissa Harness/ kumparan
Cukup baru di dunia bisnis kecantikan, adakah pebisnis kecantikan yang menjadi inspirasi?
Tidak ada (panutan) yang spesifik. Tapi, saya selalu terinspirasi oleh orang-orang yang mau mencoba melakukan hal baik dan mau berbuat lebih untuk masyarakat. Saya kagum dengan mereka yang mau menjawab kebutuhan masyarakat dan tidak hidup untuk dirinya sendiri.
Memang, saya banyak terinspirasi oleh pengusaha-pengusaha altruistik. Mereka menyumbangkan sebagian kekayaannya untuk kepentingan sosial dan masyarakat. Bagi saya, orang seperti Bill Gates sangat menginspirasi, karena dia menyumbangkan keuntungannya bagi orang lain. Terutama, untuk orang yang menderita. Cita-cita saya juga seperti itu, supaya bisa berguna bagi banyak orang.
Mengapa memilih nama MORA untuk brand ini?
Sebetulnya, Mora adalah hasil eksperimen dengan banyak nama. Kami sempat bereksperimen dengan nama dari bahasa Arab. Nama saya sendiri juga merupakan nama Arab. Tapi, nama-nama (yang dicoba) ini kok sepertinya kurang umum di pasar Indonesia, kurang masuk ke kalangan anak muda juga. Misal, kata ‘cantik’. Itu bahasa Arabnya adalah jamilah. Rasanya kok kurang cocok.
Setelah mencoba berbagai nama, kami sampai ke nama MORA. Tidak ada arti khusus, tapi nama ini bisa masuk ke berbagai budaya. Nama ini enak didengar dalam bahasa Indonesia dan enak pula didengar oleh orang-orang Timur Tengah. Kami tidak mau memakai kata yang terlalu spesifik karena kurang chic kedengarannya.
Yenny Wahid sebagai Role Model untuk program spesial Women on Top kumparanWOMAN. Stylist: Anantama Putra, Makeup: Linda Kusuma Dewi. Fotografi: SweetEscape
MORA memilih lipstik sebagai produk awal brand. Apa alasannya?
Karena lipstik lebih banyak diminati perempuan. Selain itu, kami ingin tes pasar dulu. Nanti, begitu sudah mulai kenal karakteristik pasar, kami akan beranjak ke produk-produk lainnya. Kami berharap bisa merilis berbagai produk, sampai ke skin care.
Selain itu, MORA Beyond Beauty bukan hanya ditargetkan untuk Indonesia. Saya justru ingin membawa produk ini keluar negeri. Karena, jaringan saya, terutama di Timur Tengah, sudah agak lumayan. Saya punya banyak jaringan di Mesir, Saudi, Malaysia, Brunei, Dubai, dan sebagainya. Jadi, ini adalah produk untuk dunia Muslim, bukan hanya untuk Indonesia.
Kemudian, MORA juga bukan sekadar produk kecantikan. Produk ini punya dampak sosial. Mereka yang membeli produk ini otomatis akan ikut terlibat dalam upaya mengatasi masalah yang ada di masyarakat. Ini bisa mengenai masalah kemiskinan, kesenjangan ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya.
Mora velvet lipstick. Foto: Avissa Harness/ kumparan
Saat nantinya dibawa ke Timur Tengah, apakah akan ada penyesuaian untuk brand ini?
Otomatis ada. Karena, kami akan menyesuaikan dengan apa yang mereka senangi. Kalau melihat trennya secara sepintas, masyarakat Timur Tengah suka riasan yang agak gelap dan menor. Sementara, orang kita suka riasan yang ‘in-between’. Perempuan Indonesia suka riasan yang tampilannya antara Korea dan Jepang, dengan warna-warna yang soft dan kesan yang lembut. Jadi, hasil akhirnya medium look.
Kalau nanti jadi merilis skin care, apakah semuanya akan berbahan alami?
Maunya begitu. Saya sendiri suka pakai produk oil-based dan saya lihat, ada begitu banyak kekayaan alam Indonesia yang bisa dimanfaatkan. Jadi, saya ingin menggunakan bahan-bahan ini. Tapi, tetap disesuaikan dengan produknya. Ada barang-barang yang memang tidak tersedia di sini, misal Argan oil. Ya, mau enggak mau kita harus mengambil dari luar. Tapi, di Indonesia kan ada macam-macam bahan yang bisa kita pakai dan efeknya bagus untuk kecantikan. Ada banyak minyak yang punya manfaat untuk kecantikan juga. Terutama, bahan-bahan alami yang lagi booming sekarang. Misal, aloe vera, kunyit.
Sekarang, kami menggunakan minyak argan dan minyak zaitun dalam MORA, supaya moist. Pokoknya, kami pakai bahan-bahan yang alami lah. Dari awal memang sengaja dibuat begitu, karena saya mau pakai kosmetik yang bagus buat badan.
Apa harapan Anda buat brand ini?
Saya berharap ini akan menjadi produk Indonesia yang bisa mendunia. Artinya, bisa dikenal oleh orang-orang di luar negeri, bukan hanya di Indonesia saja dan membawa dampak positif. Untuk Indonesia, otomatis hasilnya berkaitan dengan penciptaan lapangan pekerjaan, membantu kegiatan sosial. Kalau diekspor, hasilnya adalah devisa bagi negara. Itu tiga tujuan yang kami harapkan.
Yenny Wahid sebagai Role Model untuk program spesial Women on Top kumparanWOMAN. Stylist: Anantama Putra, Makeup: Linda Kusuma Dewi. Fotografi: SweetEscape
Dengan adanya bisnis baru ini, apakah Anda tetap akan beraktivitas di bidang politik dan sosial?
Tentu iya. Nanti yang mengurus brand ini adalah anak-anak muda itu. Saya pendirinya, tetap mereka yang bergerak.
Bisnis kecantikan adalah hal yang baru bagi Anda. Apakah menikmatinya sejauh ini?
Enjoy banget. Saya merasa dunia ini bisa membantu visi saya untuk berkegiatan sosial dan membantu banyak orang. Visi utama brand ini adalah mempercantik sekaligus memberdayakan.
Berbicara soal kecantikan, apa pandangan seorang Yenny Wahid tentang dunia kecantikan perempuan?
Terlalu banyak perempuan yang mau jalan pintas. Mereka mau memakai bahan-bahan berbahaya dan melakukan prosedur-prosedur yang tidak aman untuk badan dan wajahnya. Mereka mau suntik dan pasang silikon, tapi di tempat yang tidak jelas praktiknya. Jadi, jalan pintas banget supaya bisa tampil cantik.
Walau, memang kita enggak seekstrem di luar negeri. Di sana jauh lebih ekstrem. Di Lebanon, operasi plastik sangat marak, sampai bank mau meminjamkan dana untuk operasi plastik.
Anda jadi memantau tren kecantikan, ya. Apakah Anda menganggap ini refreshing?
Iya, karena lucu. Tapi, ini kan sebenarnya berkaitan dengan social culture, ya. Akan berhubungan dengan behavior mereka juga. Jadi, saya memantaunya juga dalam rangka itu.
Kami memantau pulse, nadinya. Seperti apakah masyarakat itu, apa yang memengaruhi mereka, apa yang membuat mereka bergerak, stres, atau marah. Itu penting untuk kita ketahui.
Sekarang, trennya adalah surveillance technology. Data kita diambil oleh perusahaan-perusahaan besar, kemudian dipakai untuk memengaruhi cara kita hidup, mulai dari pilihan gaya hidup sampai pilihan politik.
Kalau soal kecantikan untuk diri sendiri. Bagaimana urutan rutinitas kecantikan Anda?
Sebelum tidur, saya selalu membersihkan wajah, dilanjutkan dengan pelembap dan serum karena kulitnya sudah mulai menua. Rutinitas pagi juga sama. Malam pakai krim malam, pagi juga pakai krim. Kemudian, saya juga pakai eye cream.
Tapi, saya juga merawat dari dalam. Saya rutin minum kunyit dan mengonsumsi seledri, juga memperbanyak sayur-sayuran. Saya menjaga kesehatan dari situ. Sebisa mungkin, saya akan menggunakan bahan yang sealami mungkin. Kalau masker wajah, saya pakai bahan tumbuh-tumbuhan, misalnya timun. Kemudian, saya juga pakai minyak.
Minyak-minyakan ini sudah jadi bagian hidup sejak anak kecil. Tiga kosakata pertama yang mereka tahu adalah mama, papa, sama minyak, saking apa-apa kami pasti pakai minyak. Ini termasuk untuk wajah. Saya campur-campur sendiri. Apapun problem-nya, ya pakai minyak. Saya selalu menyempatkan rutinitas ini sebelum tidur. Penggunaannya saya selang-seling supaya kulit tidak terasa jenuh. Terus, kalau rasanya lagi enggak enak, gatel, pasti saya langsung pakai minyak alami.
Untuk pelembap tubuh, juga sama. Kami pakai yang dasarnya minyak. Kalau saya, selalu pakai minyak zaitun. Mungkin, bagi orang lain rasanya agak pliket ya. Tapi, kalau buat saya lebih cocok. Walaupun body lotion pasti milih ada yang bahan dasarnya minyak. Misal, argan oil atau olive oil.
Apakah sering melakukan perawatan ke dokter?
Saya jarang perawatan ke dokter. Paling (extension) bulu mata aja, di salon. Bulu mata ini karena malas kalau ada acara harus ribet lagi. (Dengan pakai extension) saya udah enggak mikir apa-apa selama tiga minggu. Saya cuma pasang lagi kalau bulu matanya sudah rontok banget.
Sebenarnya, saya juga tidak terlalu rajin untuk perawatan-perawatan itu, dibanding teman-teman yang sampai ditarik-tarik wajahnya. Dulu saya masih rajin, tapi tergantung bergaulnya sama siapa. Kalau bergaulnya sama sosialita, diajakin terus, jadi saya sering perawatan ke dokter. Kalau lagi enggak, ya sudah. Apalagi kalau sendirian di rumah. Wah, itu saya pemalas, asli. Jadi, saya tidak terlalu memperhatikan kalau perawatan. Perawatan alat ya maksudnya.
Tapi, kalau perawatan dengan bahan makanan, saya mencari bahan alami dan memperhatikan apa yang saya makan.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten