Yenny Wahid soal Salam Semua Agama: Tak Salah Hormati Agama Lain

17 November 2019 10:27 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Nasarudin Umar dan Yenny Wahid di acara Interfaith Walk. Foto: Rafyq Panjaitan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Nasarudin Umar dan Yenny Wahid di acara Interfaith Walk. Foto: Rafyq Panjaitan/kumparan
ADVERTISEMENT
Imam besar masjid Istiqlal Nasaruddin Umar, dan Direktur Eksekutif Wahid Institute Yenny Wahid ikut mengomentari imbauan MUI Jatim soal pejabat tidak mengucapkan salam semua agama.
ADVERTISEMENT
Terkait hal itu, Nasaruddin mengatakan perbedaan adalah sesuatu yang wajar. Menurutnya pengucapan salam semua agama masih bisa ditolerir.
"Kalau hal-hal firqah, perbedaan kecil, mari kita susun dalam satu bentuk, kita buatkan frame nya, sebuah konfigurasi. Sebuah lukisan tak akan indah jika monoton putih. Kalau warna kontras-nya ada, itu sebuah lukisan yang baik," kata Nasaruddin di Sarinah, Jakarta, Minggu (17/11)
"Mana ada yang mau beli lukisan kalau warnanya monoton. Jadi konfigurasi warna itu hal yang mahal," tambahnya.
Mantan Wamenag itu menjelaskan, mengucapkan salam semua agama tidak keluar dari koridor keagamaan. Sehingga dia meminta semua pihak menghidupkan narasi kerukunan, bukan sebaliknya.
"Semua harus membatasi diri dalam memberikan suatu statement, tanpa mengurangi kebebasan publik untuk berpendapat. Kita perlu kearifan untuk membangun bangsa besar seperti ini," sebutnya.
ADVERTISEMENT
Sementara itu Yenny Wahid menuturkan, selalu ada dimensi sosial dan dimensi ilahiah (ketuhanan) dalam kehidupan umat manusia. Dia menegaskan saat ini diperlukan kebutuhan tentang adanya kerukunan.
"Dari kacamata itu, maka kita sebagai warga bangsa, perlu melakukan upaya-upaya salah satunya dengan menghargai perbedaan yang ada di antara kita," kata Yenny.
Yenny Wahid di acara Kartini Antikorupsi 2019, di Gedung ACLC KPK, Jakarta, Jumat (26/4). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Sehingga, bagi Yenny, mengucapkan salam semua agama bukan berarti menghilangkan dimensi teologis seorang umat beragama. Namun lebih kepada menguatkan hubungan sosial yang ada di masyarakat.
"Fatwa itu mengikat kalau itu dia merasa ini diniatkan sebagai suatu hal yang punya dampak atau memiliki dimensi teologis. Tetapi kalau dari perspektif berbeda, dalam dimensi sosial, tak ada salah sama sekali untuk melakukan upaya menghormati kepercayaan orang lain," tandas Yenny.
ADVERTISEMENT
Imbauan MUI Jatim soal salam semua agama tersebut sebelumnya terlampir dalam surat bernomor 110/MUI/JTM/2019 yang diteken Ketua MUI Jatim, KH. Abdusshomad Buchori.
Dia mengatakan, ucapan salam pembuka bagi umat Islam adalah doa, yang merupakan inti dari ibadah. Sehingga, bagi umat Islam, setiap ucapan salam pembuka bukan merupakan basa-basi, melainkan bagian dari ibadah.
"Mengucapkan salam semua agama yang dilakukan oleh umat Islam adalah perbuatan baru yang merupakan bid'ah, yang tidak pernah ada di masa lalu. Minimal mengandung nilai syubhat (samar kehalalannya) yang patut dihindari," kata Buchori dalam keterangannya, Sabtu (9/11).