Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Dalam jangka waktu 30 tahun mendatang, populasi dunia diperkirakan akan menggelembung hingga 10 miliar jiwa, naik hampir 50% dari total jumlah populasi sekarang yang mencapai 7 miliar jiwa.
ADVERTISEMENT
Tujuh atau sepuluh miliar bukanlah angka yang kecil. Baik jika kita menghitung jumlah uang, atau jumlah manusia. Tetapi jika kita berbicara masalah manusia, maka sepuluh miliar manusia yang hidup bersamaan di seluruh permukaan bumi berarti tantangan besar bagi semua negara secara global.
Karena itu, isu lingkungan seperti sampah, air bersih, polusi, serta pemanasan global menjadi isu yang semakin mendesak untuk diatasi. Tidak hanya bagi pemerintah, namun juga oleh semua organisasi dan industri, termasuk industri fashion .
Sejak lama, industri fashion dituduh sebagai salah satu penyebab terbesar kerusakan lingkungan di muka bumi. Industri fashion bahkan disebut sebagai penyebab polusi air nomor 2 terbesar setelah industri pertambangan.
Sebuah tulisan di situs United Nations Environment Program mengungkapkan bahwa industri fashion menyumbang 20 persen limbah global dan 10 persen emisi karbon global. Jumlah ini melebihi emisi karbon yang dihasilkan oleh penerbangan dan perjalanan kapal internasional secara total. Sementara itu, proses pewarnaan produk tekstil menjadi penyumbang kedua terbesar dalam hal polusi air secara global. Kabarnya, butuh 2000 galon air untuk membuat sepasang jeans yang basic.
ADVERTISEMENT
Ini mungkin bukan data yang mengada-ada. Itu bisa saja benar terjadi, apalagi sejak pertumbuhan retail yang masif dan cepat yang mulai menjadi tren sejak 20 tahun terakhir. Model bisnis yang serba cepat ini (koleksi baru selalu datang setiap minggu di butik-butik) disebut dengan istilah Fast Fashion, yang bisa kita lihat pada merek-merek pakaian seperti H&M, Zara, Stradivarius, Bershka dan berbagai merek serupa.
Namun Uniqlo , retail pakaian asal Jepang yang berada di bawah naungan perusahaan bernama Fast Retailing menyanggah bahwa mereka merupakan bagian dari model bisnis fast fashion ini. Dikutip dari tulisan Forbes.com berjudul Uniqlo Dismissed The Idea That’s It’s Fast Fashion Through The Concept of LifeWear, President of Global Creative Uniqlo, John C. Jay, saat momen pameran global LifeWear Uniqlo di London September lalu, mengungkapkan kepada media mengenai betapa pusingnya mereka untuk menjelaskan makna Fast Retailing yang sesungguhnya pada orang-orang.
ADVERTISEMENT
“Ini adalah bagian yang membuat kami paling frustasi,” ujar laki-laki yang pernah dijuluki manusia paling kreatif di dunia ini oleh Majalah Fast pada 2011. “Mr Yanai (Tadashi Yanai, Chairman, President & CEO Fast Retailing) mengatakan bahwa ia ingin mendirikan sebuah perusahaan yang bergerak cepat dalam aspek inovasi. Itulah yang menginspirasi dia untuk mendirikan sebuah perusahaan dengan nama Fast Retailing. Tapi saya ingin menegaskan bahwa kami bukanlah fast fashion, karena kami tidak pernah membuat pakaian yang mudah untuk dibuang,” ujarnya.
Uniqlo memang sangat yakin dengan konsep mereka yang bukan merupakan fast fashion dan bahwa isu sustainability atau isu keberlanjutan lingkungan menjadi isu yang sangat serius bagi mereka. Hal ini ditunjukkan oleh Uniqlo melalui konsep LifeWear yang menjadi filosofi bagi mereka dalam mengkreasi pakaian.
ADVERTISEMENT
Dalam pameran tahunan Uniqlo di London pada 16-22 September lalu, Uniqlo meng-highlight berbagai aspek yang menyoroti konsep LifeWear ini, yaitu konsep Uniqlo yang menghadirkan pakaian sehari-hari yang sederhana dan berkualitas tinggi dengan keindahan praktis dan dirancang untuk membuat kehidupan semua orang agar menjadi lebih baik.
Pada pembukaan pameran ini, Uniqlo mengundang media dan influencer dari 23 negara, termasuk kumparan yang mewakili Indonesia.
Dalam sesi konferensi media, Chairman, President & CEO Fast Retailing, Tadashi Yanai, menegaskan komitmen mereka terhadap industri fashion yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. “Misi kami adalah membuat pakaian yang tidak cepat dibuang, bertahan lama, memiliki komponen sempurna, dan memberikan fungsi yang terbaik dalam pakaian sehari-hari. Ini yang menjadi pendekatan kami terhadap isu berkelanjutan,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Pakaian yang tahan lama, dan tidak cepat dibuang memang menjadi isu dasar dalam program sustainability Uniqlo. Berbeda dengan konsep fast fashion yang mendorong konsumen untuk membeli koleksi baru agar tidak ketinggalan tren, Uniqlo justru mendorong konsumennya untuk memakai Uniqlo selama mungkin.
“Produk kami harus bertahan hingga 100 tahun, jadi orang tidak hanya bisa memakainya untuk beberapa musim saja. Jika Anda menjaga pakaian Anda dengan baik, Anda benar-benar bisa memakainya hingga 10 atau 20 tahun,” ujar Yukihiro Katsuta, Group Senior VP Fast Retailing saat sesi tanya jawab bersama media.
Ia kemudian menjelaskan pendekatan isu lingkungan dan keberlanjutan dari sisi Uniqlo. Bahwa bagi Uniqlo, sebagai sebuah produsen pakaian, mereka memikirkan bagaimana mereka menciptakan pakaian yang bisa di-recycle dan digunakan tahan lama. “Ide bahwa sebuah produk bisa tahan lama, itu adalah salah satu cara kami berkomitmen terhadap isu berkelanjutan. Sehingga orang-orang tidak terlalu sering membeli,” ujarnya
ADVERTISEMENT
Misi kurangi plastik hingga 85% di 2020
Selain berpijak pada teknologi yang memungkinkan sebuah pakaian bisa bertahan lama, Uniqlo juga berkomitmen pada dua isu penting dalam industri fashion; penggunaan air dan plastik.
Mengenai ini, kumparan berbincang dengan Mr. Yukihiro Nitta, Group Senior Vice President Uniqlo Global. “Karena produk kami timeless, mereka bisa dipakai untuk waktu yang lama. Dengan cara itu, kami mencoba untuk mengurangi sampah dari produk-produk kami. Kami juga sedang berusaha mengeliminasi penggunaan cara membungkus dengan plastik,” ungkapnya.
Untuk urusan plastik ini, Uniqlo cukup optimistis bahwa pada 2020 nanti, mereka bisa mengurangi pemakaian plastik hingga 85%. Untuk saat ini, jika Anda berbelanja di toko Uniqlo Anda masih kerap mendapat kantong belanja plastik, meski kadang juga sudah bisa mendapat kantong belanja kertas.
ADVERTISEMENT
Sementara untuk isu air, Uniqlo berkomitmen bahwa dalam 10 tahun mendatang, atau pada 2030, mereka sudah akan dapat mengurangi pemakaian air hingga 15%.
Sebagai bagian dari komitmen mereka terhadap isu sustainability dan lingkungan, Uniqlo terus bekerjasama dengan perusahaan teknologi asal Jepang, Toray.
“Kerjasama kami bertujuan untuk menciptakan nilai-nilai baru sambil berkontribusi pada isu keberlanjutan,” ujar Yanai. “Dan melalui kerjasama ini kami terus melakukan upaya inovasi untuk memenuhi kebutuhan dunia terhadap pakaian simpel, berfungsi maksimal, kualitas top dan dapat dipakai untuk waktu yang sangat lama.”
Sejalan dengan komitmen tersebut, pada pembukaan pameran LifeWear yang berlangsung di Somerset House London tersebut, Uniqlo juga mengumumkan inovasi terbaru mereka pada koleksi Dry Ex (koleksi dengan teknologi yang memungkinkan baju cepat kering dan menyerap keringat secara maksimal). Inovasi tersebut adalah kaos Dry Ex yang akan terbuat dari material botol plastik bekas. Satu buah kaos dari Dry Ex bisa dibuat dari 6 buah botol bekas.
Koleksi dan inovasi terbaru dari Uniqlo tersebut baru akan diluncurkan di Jepang Oktober ini, setelah itu baru akan dilanjutkan di negara-negara lain.
ADVERTISEMENT