Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Para Haenyeo, Penyelam Perempuan dari Jeju yang Menyelam Tanpa Masker Oksigen
1 Februari 2024 19:44 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Ladies, jika kamu pernah menonton drama Korea Our Blues atau Welcome to Samdal-Ri, kamu pasti sudah tidak asing lagi dengan istilah haenyeo. Ya, haenyeo (해녀) adalah komunitas penyelam perempuan dari Pulau Jeju, Korea Selatan, yang menyelam untuk menangkap hasil-hasil laut sebagai mata pencaharian mereka.
ADVERTISEMENT
Haenyeo sendiri bermakna sea women atau perempuan laut. Komunitas ini terdiri dari perempuan berbagai usia, bahkan hingga mereka yang sudah lanjut usia.
Mereka menyelam hingga kedalaman 10 meter tanpa menggunakan alat bantu selam seperti masker atau tabung oksigen dan bermodalkan kekuatan napas. Nah, kegiatan menyelam yang haenyeo lakukan ini disebut sebagai mul-jil (물질). Dilansir Visit Jeju, ketika para haenyeo naik ke permukaan untuk mengambil napas, mereka menghasilkan suara unik yang dinamakan sumbisori (숨비소리).
Para haenyeo menangkap hasil-hasil laut seperti kerang abalon, bulu babi, hingga rumput laut. Dikutip dari situs resmi Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) PBB, tangkapan laut itu kemudian dijual oleh para haenyeo. Sisa dari hasil tangkapan tersebut juga bisa dikonsumsi langsung oleh keluarga mereka.
ADVERTISEMENT
Pekerjaan haenyeo tergolong berat, bahkan tak jarang bisa mengancam nyawa. Dilansir Visit Jeju, biota laut yang berbahaya seperti ubur-ubur beracun bisa membahayakan nyawa para haenyeo. Kemudian, jika alat bitchang yang digunakan mengalami malfungsi, haenyeo bisa tertahan dan tak bisa naik ke permukaan untuk mengambil napas.
Yang dibawa dan dikenakan para haenyeo
Dilansir situs resmi UNESCO, setiap hari, haenyeo menyelam dan menangkap hasil laut selama tujuh jam. Panen ini berlangsung selama 90 hari dalam satu tahun. Saat menyelam, mereka membawa alat bernama tewak yang terdiri dari pelampung dan jaring-jaring untuk menyimpan hasil tangkapan mereka. Mereka juga menggunakan alat untuk mengambil hasil laut dari bebatuan di dasar laut yang bernama bitchang, kkakkuri, dan golgaengi.
Tradisi oleh haenyeo ini tercatat sudah dilakukan sejak berabad-abad lalu, sekitar 1629 silam. Menurut Divers O’Clock, sebelum adanya baju selam atau wetsuit, para haenyeo menyelam hanya dengan mengenakan baju yang terbuat dari katun. Dilansir situs Visit Jeju, busana para haenyeo disebut mulot (물옷) atau “baju air”. Baju atasan mereka disebut muljeoksam (물적삼), celana mereka bernama mulsojoongi (물소중이), dan penutup kepala disebut mulsoogeon (물수건).
ADVERTISEMENT
Kini, para haenyeo sudah mengenakan baju selam khusus lengkap dengan penutup kepala dan diving fin atau kaki katak.
Ritual dan tingkatan haenyeo
Sebelum para haenyeo menyelam, mereka melakukan ritual doa kepada dewi laut, Jamsugut, untuk memberkahi mereka dengan keselamatan dan tangkapan yang berlimpah. Para haenyeo juga menciptakan altar untuk menghormati dewi laut yang bernama haesindang (해신당).
Terdapat tiga tingkatan haenyeo sesuai dengan kemampuan, pengalaman, karakter, dan usia para perempuan. Dikutip dari situs resmi FAO, tiga tingkatan tersebut adalah sanggun (tingkat atas), junggun (tingkat menengah), dan hagun (tingkat bawah).
Haenyeo yang sudah berada di tingkat atas atau sanggun menjadi pemimpin dari komunitas haenyeo setempat. Tak hanya harus memiliki kemampuan menyelam dan menangkap yang baik, mereka juga harus punya kemampuan prediksi cuaca yang akurat. Bahkan, menurut Visit Jeju, para sanggun bisa memprediksi cuaca hanya dengan mendengarkan suara ombak laut.
ADVERTISEMENT
Haenyeo memberdayakan perempuan dan melestarikan lingkungan
Haenyeo tercatat dalam warisan budaya tak benda UNESCO sejak 2016 lalu berkat pemberdayaan perempuan, perayaan resiliensi perempuan, dan mempromosikan penangkapan hasil laut yang ramah lingkungan.
Dikutip dari Visit Jeju, komunitas haenyeo menentukan jam kerja, hari kerja, dan ukuran minimal tangkapan laut yang dikumpulkan. Bahkan, alat-alat yang dipakai harus disetujui terlebih dahulu oleh komunitas. Kearifan lokal ini mendukung para haenyeo dalam menangkap hasil laut tanpa merusak ekosistem dan melestarikan penangkapan hasil laut yang berkelanjutan.
Budaya ini terus dilestarikan lewat berbagai bentuk, mulai dari mewariskan ilmunya secara turun temurun hingga dibukanya The Haenyeo School dan Haenyeo Museum di Jeju.