Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Pentingnya Sentuhan Perempuan di Politik: Banyak Perempuan Jadi Korban Kebijakan
16 Februari 2024 20:00 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Ladies, tak terasa, Pemilu 2024 telah selesai diselenggarakan. Di pesta demokrasi lima tahunan ini, rakyat Indonesia tidak hanya memilih presiden dan wakil presiden, tetapi juga para anggota legislatif yang akan menjadi wakil rakyat di pemerintahan. Ini jadi momen untuk memberikan kesempatan lebih besar kepada para perempuan yang ingin berpartisipasi di politik Tanah Air.
ADVERTISEMENT
Selama ini, angka keterwakilan perempuan di parlemen masih kurang memuaskan. Tercatat, selama periode 2019–2024, hanya ada 21 persen dari total kursi di DPR RI yang diduduki oleh perempuan. Ya, jumlah legislator perempuan pada periode tersebut hanya mencapai 120 orang dari total 575 anggota.
Memang, kenapa partisipasi perempuan di panggung politik Indonesia sangat penting? Dalam wawancara bersama kumparanWOMAN di program Ladies Talk, anggota Komisi XI DPR RI, Puteri Komarudin, mengatakan bahwa banyak permasalahan di masyarakat yang terkait dengan perempuan.
“Jadi, ketika aku mengikuti ayahku di situ (Purwakarta, kampung halaman Puteri -red), aku baru sadar, ternyata penting banget sentuhan perempuan di dalam politik,” ucap anak dari politisi senior Ade Komarudin ini.
Bagi Puteri, sentuhan perempuan menjadi sangat penting karena sering kali, perempuanlah yang menjadi korban dari keputusan-keputusan politik. Salah satu contoh yang ia sebut adalah terkait kenaikan harga pangan.
ADVERTISEMENT
“Ketika harga pangan naik misalnya, yang harus mengelola keuangan di rumah itu, kan, perempuan. Jadi, misalnya, suami memberikan gajinya, terus kalau misalnya istrinya tidak bekerja, dia hanya bisa mengelola uang itu dengan baik sehingga bisa memberikan makan untuk anak-anaknya sebaik mungkin dengan gizi yang secukup mungkin,” jelas anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar ini.
Bank emok, masalah ekonomi pelik di kalangan perempuan
Cerita lainnya di masyarakat yang diungkapkan oleh Puteri adalah soal bank emok. Dilansir situs resmi Kementerian Keuangan RI, bank emok dideskripsikan sebagai sistem peminjaman yang dijalankan perorangan atau lembaga dengan persyaratan mudah dan pencairan cepat, tetapi dengan bunga yang tinggi. Bank emok ini menjadi permasalahan pelik di daerah pemilihan Puteri saat ia menjadi caleg pada 2018 lalu.
ADVERTISEMENT
“Jadi, bank emok ini semacam rentenir yang memberikan akses permodalan secara mudah kepada perempuan—dan memang, menyasar hanya kepada kaum perempuan. Mereka ini persyaratannya sangat mudah: Hanya izin suami dan juga KTP. Jadi, banyak yang akhirnya memalsukan izin suaminya ini untuk meminjam uang yang rata-rata mereka pakai juga bukan untuk dirinya sendiri,” terang Puteri.
Sistem pinjaman bank emok merupakan pinjaman kelompok dengan skema bernama tanggung renteng. Jika seorang peminjam tak bisa bayar, maka orang lain di kelompok tersebutlah yang menanggung utang tersebut.
“Akhirnya menimbulkan banyak konflik sosial; ada yang sampai dicerai suaminya, ada yang sampai depresi, bunuh diri, jadi sama seperti fenomena pinjol,” imbuh Puteri.
Ia menegaskan, permasalahan yang dihadapi oleh perempuan teridentifikasi di berbagai bidang. Pun dalam bidang ekonomi seperti ini. Pemahaman Puteri terkait isu-isu perempuan inilah yang menjadi sebuah bentuk “sentuhan” perempuan dalam politik. Puteri mengungkapkan, ia pun berupaya untuk bisa menciptakan kebijakan yang bisa mengatasi masalah yang sensitif gender tersebut.
ADVERTISEMENT
“Waktu aku menemukan fenomena itu di daerah pemilihan aku, aku berikhtiar ingin menjadi sesuatu yang bisa menjadi produk legislasi di DPR.”
Puteri mengatakan, Komisi XI tempatnya bernaung berhasil menetapkan Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. UU tersebut mewajibkan bank untuk mempermudah akses kredit atau permodalan bagi UMKM (Usaha Mikro, Kecil, Menengah) yang kepemilikannya masih didominasi oleh perempuan.