Riset: Representasi Perempuan di Film & Media Masih Kurang

7 Januari 2020 18:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Acara diskusi Media Darlings dalam Summit on Girls di Balai Kartini, Jakarta, Selasa (10/12). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Acara diskusi Media Darlings dalam Summit on Girls di Balai Kartini, Jakarta, Selasa (10/12). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
Pembahasan mengenai kesetaraan dan hak-hak perempuan kini makin ramai dibicarakan masyarakat. Di antaranya, termasuk mengenai representasi perempuan di media yang dirasa belum ideal, baik dalam industri perfilman, komersial, maupun berita.
ADVERTISEMENT
Secara khusus, hal ini dibahas oleh para narasumber sesi diskusi Media Darlings dalam Summit on Girls, forum perempuan yang diadakan di Balai Kartini, Jakarta, beberapa saat lalu. Forum ini digelar oleh Yayasan Plan International Indonesia, demi membahas mengenai aneka hal yang perlu diperhatikan untuk memajukan kesejahteraan perempuan, dimulai dari masa kanak-kanak.
Dalam panel diskusi Media Darlings, para narasumber membicarakan soal masalah yang masih dihadapi dalam merepresentasikan perempuan di industri media.
Nazla Mariza, Influencing Director Plan Indonesia membahas mengenai kurangnya representasi perempuan di dunia perfilman dan iklan. Pemaparannya didasarkan pada temuan riset berjudul ‘Rewrite Her Story’ yang digarap oleh Plan International bersama yayasan penelitian The Geena Davis Institute on Gender in Media. Riset ini dibuat dengan meneliti 56 film internasional terlaris pada 2018 di 20 negara, dengan melibatkan 10 ribu responden anak perempuan. Selain itu, mereka juga membahas mengenai sekitar 100 iklan yang paling banyak dilihat oleh anak-anak tersebut.
Influencing Director Plan Indonesia, Nazla Mariza di acara Summit on Girls di Balai Kartini, Jakarta, Selasa (10/12). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Hasilnya, terlihat bahwa representasi perempuan masih sangat kurang. Ini bisa dinilai dari berbagai aspek, termasuk mengenai kurangnya tokoh anak perempuan maupun perempuan panutan dalam film-film internasional itu. Padahal, ini diperlukan untuk perkembangan para anak perempuan.
ADVERTISEMENT
“Anak perempuan perlu melihat dirinya tercermin (dalam karya-karya itu). Kalau semua isinya orang dewasa dan laki-laki, sulit bagi mereka untuk merepresentasikan dirinya," ungkap Nazla dalam sesi diskusi tersebut.
Nazla mengatakan, riset ini juga menunjukkan bahwa masih sedikit perempuan yang memainkan peran penting dalam film. Kalaupun ada, mereka muncul sebagai pemanis cerita romantis dan tubuhnya masih sering dipandang sebagai objek. Secara khusus, dia juga membahas mengenai kurangnya sosok perempuan yang menjadi pemimpin, serta fakta bahwa narasi di dunia perfilman masih lebih banyak dibuat oleh laki-laki.
"Narasi masih didominasi oleh laki-laki. Mau tidak mau, perspektifnya juga masih dari laki-laki," ujarnya.
Hal ini kemudian ditimpali oleh Rachel Amanda, aktris Indonesia sekaligus Youth Advisor at UNFPA (United Nations Population Fund). Menurutnya, hal serupa juga terjadi dalam industri perfilman Indonesia, yang masih minim film maupun produser pro perempuan.
ADVERTISEMENT
"Cukup sulit ketika kita mau mengangkat film atau cerita mengenai perempuan. Kebanyakan berangkat dari production house independen atau kecil, yang hasilnya bagus sekali tapi masih kalah untuk dipasarkan," ujarnya.
Rachel Amanda di acara summit on girls di Balai Kartini, Jakarta., Selasa (10/12). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Representasi perempuan di media berita
Tak hanya pada dunia perfilman maupun iklan, penggambaran perempuan juga belum optimal dalam industri berita. Ini disampaikan oleh Atnike Sigiro selaku Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan.
"Salah satu yang jadi korban dalam media adalah perempuan. Entah karena pemberitaan yang clickbait atau bias gender," tuturnya.
Lebih lanjut, Atnike mengatakan bahwa media masih sering melakukan berita yang mengedepankan sensualitas, mengkomodifikasi perempuan, bahkan menyudutkan korban. Padahal, seharusnya media bisa menjadi alat untuk menginspirasi publik mengenai kesetaraan. Namun, hal ini masih belum dilakukan oleh media di Indonesia, yang dianggapnya masih tunduk terhadap keinginan pasar.
Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, Atnike Nova Sigiro di acara Summit on Girls di Balai Kartini, Jakarta, Selasa (10/12). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Pembahasan Atnike ditimpali oleh Fitria Sofyani, Chief of kumparanWOMAN yang hadir sebagai salah satu panelis diskusi. Ia mengatakan, perspektif gender dalam industri media memang diperlukan dan sedang diusung dalam media tempatnya bekerja.
ADVERTISEMENT
"Kalau di kumparanWOMAN, kami berkomitmen menghadirkan profil perempuan yang beragam. Kami ingin menginspirasi pembaca bahwa ada banyak jenis profesi itu yang bisa dilakukan (oleh perempuan),” tutur Fitria.
Chief of kumparanWOMAN at kumparan, Fitria Sofyani di acara Summit on Girls di Balai Kartini, Jakarta, Selasa (10/12). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Selain itu, Fitria juga menggarisbawahi bahwa terkadang, perspektif gender sering luput diterapkan dalam pemberitaan media, karena tak semua jurnalis memiliki pemahaman mengenai hal tersebut. Menurutnya, hal ini memang harus dibangun perlahan.
"Perspektif gender memang harus dibangun dari awal sekali. Kami, para editor perempuan juga berencana mengadakan sesi khusus mengenai pemberitaan dengan perspektif gender kepada reporter," ujarnya menegaskan.