Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.90.0
Apa adanya adalah kata yang cocok untuk menggambarkan sosok Hannah Al Rashid . Hal ini terlihat langsung ketika saya menyapa Hannah yang baru sampai di lokasi wawancara dan pemotretan bersama kumparanWOMAN beberapa lalu.
“Hallo, saya Hannah,” sapanya sambil tersenyum hangat dan menjabat tangan saya. Kala itu, Hannah datang dengan gaya yang sangat sederhana, tak ada kesan glamor sedikitpun. Ia hanya mengenakan jaket army, kaos, celana jeans, tas ransel, dan sandal jepit. Jika dilihat sepintas, Anda mungkin tidak akan tahu jika perempuan ini merupakan salah satu selebriti ternama Indonesia yang sudah memerankan berbagai film layar lebar.
Tak hanya dari segi penampilan, sifat apa adanya ini juga ia tunjukkan dari kebiasaannya yang lebih memilih naik ojek ketimbang kendaraan pribadi untuk bermobilisasi setiap hari. Ya, postingan Hannah di media sosial saat ia mengenakan helm ojek online, hair cap, dan kacamata memang bukan hanya gimmick semata. Ia benar-benar melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Dan bagi Hannah Al Rashid ini merupakan hal yang normal.
“Kalau ada yang bilang saya keren karena kemana-mana naik ojek, itu absurd karena orang Jakarta juga banyak yang naik ojek setiap hari. Maksud saya itu tidak penting, meskipun saya bekerja di industri hiburan, saya juga orang normal. Saya tidak suka kalau orang yang bekerja di industri saya dianggap berbeda dibandingkan orang lainnya,” ungkap Hannah kepada kumparanWOMAN saat ditanya soal kebiasaannya naik ojek.
Apa adanya dari seorang Hannah Al Rashid juga bisa diartikan sebagai keterbukaannya dalam membicarakan sesuatu. Dalam hal ini konteksnya adalah soal ketidakadilan yang dilakukan masyarakat karena terlanjur memberikan stigma glamor pada selebriti. Sehingga menjadi barang langka jika ada selebriti yang naik ojek kemana-mana.
Selain itu, keterbukaan Hannah dalam membicarakan sesuatu juga terlihat ketika kami membahas soal isu kesetaraan gender, di mana perempuan masih sering diperlakukan tidak adil dan tak jarang suara mereka dikesampingkan.
“Realitasnya begini, kalau perempuan yang berbicara pasti jarang sekali didengar. Tapi kalau ada laki-laki yang berbicara soal hal yang sama, entah kenapa mereka akan lebih didengar,” ungkap Hannah dengan penuh penekanan.
Tetapi ia tidak ingin hal tersebut terus menerus terjadi di Indonesia. Hannah tidak mau perempuan, terutama mereka yang mengalami pelecehan seksual dan ketidaksetaraan berbasis gender, berdiam diri karena budaya patriarki yang masih kental di lingkungan masyarakat kita.
“Mungkin akan ada banyak laki-laki yang merasa dirugikan kalau banyak perempuan yang speak up soal kesetaraan gender, tapi sebenarnya tidak akan ada pihak yang dirugikan. Kalau ada yang merasa rugi, ya berarti mereka pernah melakukan kesalahan terkait isu ini. If you so against this, I have to question it. Why are you so against it? Apa yang sudah Anda lakukan sehingga Anda sama sekali tidak setuju dengan ini?” tanya Hannah secara gamblang mengenai ketidaksetujuan laki-laki yang melihat perempuan maju memperjuangkan hak-haknya.
Jadi Aktivis Perempuan setelah Alami Pelecehan Seksual
Hannah Al Rashid memang terkenal aktif dan outspoken soal isu-isu perempuan. Namun sebagian dari Anda juga tentu mengenal dirinya lewat layar kaca maupun layar lebar.
Hannah memulai kariernya di dunia hiburan Tanah Air pada tahun 2007 dengan menjadi model video klip musik. Ia juga sempat membintangi sejumlah acara televisi sampai akhirnya ia serius bermain film hingga sekarang.
Beberapa tahun belakangan ini film-filmnya yang banyak diperbincangkan di antaranya adalah Warkop DKI Reborn (2016), Aruna dan Lidahnya (2018), The Night Come for Us (2018), Gundala (2019), dan yang paling anyar adalah Ratu Ilmu Hitam (2019). Di kelima film tersebut, ia selalu memerankan perempuan dengan karakter yang outspoken, memiliki power, dan tidak hanya mengandalkan fisik untuk mendapatkan apa yang ia mau.
Selain menjadi seorang profesional dalam dunia perfilman, Hannah juga dikenal sebagai aktivis perempuan sekaligus menjadi salah satu Sustainable Development Goals (SDGs) Mover dari PBB untuk kesetaraan gender. Keberaniannya dalam meyuarakan isu-isu perempuan bisa kita lihat dari aktivitasnya di dunia maya. Ia banyak membuat konten dengan topik-topik yang mengulas isu kesetaraan gender yang terjadi di Indonesia.
Hannah mengaku mulai aktif dan berkomitmen menyuarakan isu-isu perempuan setelah ia mengalami pelecehan seksual di ruang publik pada 2014 lalu. Kala itu ia sedang dalam perjalanan pulang setelah makan malam bersama teman. Saat berjalan kaki di kawasan Cipete, Jakarta Selatan, tiba-tiba dari arah belakang ada dua orang laki-laki mengendarai sepeda motor dan salah satu di antara mereka memegang payudara Hannah. Belum sempat bereaksi, kedua pengendara itu langsung melaju kencang.
“Saya tidak sempat melakukan apa-apa karena terlalu kaget. Setelah kejadian itu saya merasa marah dengan diri sendiri karena memiliki respon yang lambat dan tidak bisa berbuat sesuatu dalam situasi seperti itu. Namun setelah kejadian itu saya menjadi sangat aware dengan lingkungan di sekitar saya, terutama saat saya sedang dalam perjalanan. Mau itu jalan kaki atau naik ojek, saya pasti selalu waspada,” cerita Hannah kepada kumparanWOMAN.
Sayangnya, peristiwa itu tak hanya terjadi sekali. Kejadian serupa kembali menimpa Hannah beberapa bulan kemudian. Di daerah yang sama, ia menjadi sasaran pelecehan seksual untuk kedua kalinya. Namun kali ini ia lebih sigap dan sempat melawan.
Bagi Hannah, kejadian itu bukanlah hal yang mudah untuk dilupakan. Ia pun memilih meluapkan emosinya lewat tulisan yang ia buat di sebuah laman media online perempuan. Belum sembuh lukanya karena dilecehkan di ruang publik, Hannah harus mendengar komentar teman perempuannya yang menyarankan agar lain kali ia naik taksi saja kalau pulang.
“Mendengar hal itu saya jadi semakin marah. Dalam artian, kenapa saya harus membatasi kebebasan saya sendiri karena saya dilecehkan? Seharusnya yang kebebasannya dibatasi itu si pelaku, bukan saya sebagai korban. Dengan adanya teman perempuan yang bicara seperti itu, saya semakin sadar kalau ternyata ada banyak perempuan yang juga belum paham soal isu ini. Oleh karena itu saya jadi semakin ingin menyuarakan isu pelecehan ini,” ungkap aktris berusia 33 tahun ini.
Sejak saat itu, Hannah Al Rashid menjadi semakin mantap untuk terus berkomitmen dan tidak akan berdiam diri demi memperjuangkan kesetaraan, kekerasan berbasis gender, pelecehan seksual, dan isu-isu perempuan lainnya.
“Pengalaman pelecehan seksual yang saya alami sendiri itu menjadi turning point bagi saya,” ungkapnya.
Punya Jiwa Feminis Sejak Kecil
Lahir dan besar di London, Inggris, Hannah Al Rashid merupakan anak perempuan satu-satunya dari keluarga campuran Prancis-Indonesia. Ibunya berasal dari Prancis dan ayahnya berasal dari Makassar, Sulawesi Selatan. Tumbuh dan besar di luar negeri tidak membuatnya jauh dari akar Indonesia, sebab sang ayah yang dulunya merupakan atlet pencak silat pun menurunkan tradisi tersebut kepada Hannah. Tak sia-sia, pemeran Elena dalam film The Night Come for Us ini pernah masuk ke dalam tim kejuaraan pencak silat di Inggris dan meraih kemenangan di sejumlah pertandingan di Asia dan Eropa.
Lewat pencak silat, Hannah tak hanya belajar soal ilmu bela diri, melainkan juga nilai-nilai kehidupan. Salah satunya adalah soal memperjuangkan keadilan. “Karena ayah saya silat dan dari kecil saya sudah terpapar dengan prinsip silat yang selalu berjuang untuk mendapatkan keadilan, saling menghargai, dan jujur. Jadi dari kecil kalau melihat sesuatu yang tidak adil, saya akan protes. Dan saya paling tidak suka diperlakukan berbeda hanya karena saya perempuan,” jelasnya.
Lebih lanjut Hannah bercerita bahwa keberaniannya dalam menentang ketidakadilan itu juga datang dari kedua orang tuanya yang sejak dulu selalu mengajarkannya untuk berani mengutarakan pendapat dan mengambil langkah jika terjadi sesuatu yang dirasa tidak adil.
“Dulu waktu saya SD usia 10 tahun, sekolah saya di London punya tempat latihan sepak bola khusus. Tapi setiap anak perempuan mau main, anak laki-laki tidak pernah mau kasih bola karena kita cewek dan mereka menganggap kita tidak bisa. Saking tidak sukanya dengan hal itu, saya dan sahabat saya melobi ke kepala sekolah agar anak perempuan diberikan waktu khusus untuk memakai tempat latihannya. Menurut kami itu adalah solusi dan ternyata usulan kami disetujui oleh kepala sekolah. Setelah itu kami jadi dimusuhin sama anak laki-laki karena mereka merasa kita tidak adil,” kenang Hannah.
Jadi meski dulu ia belum mengenal istilah feminis itu apa, namun prinsip-prinsip dasar feminisme yang menuntut keadilan untuk perempuan itu sebenarnya sudah ia miliki sejak kecil. Dan itu yang ia tanamkan dalam kehidupannya dari dulu hingga sekarang.
“Mungkin waktu kecil saya tidak tahu feminis itu apa. Tapi prinsip-prinsipnya yang bicara soal keadilan dan equality, itu sudah saya jalankan dari kecil. Hal ini saya dapatkan dari orang tua yang sangat mendorong saya, anak perempuan satu-satunya untuk percaya bahwa saya bisa melakukan semuanya dan saya ini setara dengan kakak adik saya yang laki-laki. Saya tidak pernah dibedakan karena saya perempuan,” ujarnya.
Suarakan Isu Perempuan Lewat Karakter di Film
Selama delapan tahun bergelut di industri perfilman, Hannah pun terus mengalami perkembangan dan semakin selektif dalam memilih film. Terutama ketika ia sudah bertekad untuk menjadi agen kesetaraan gender. Tak dapat dipungkiri, nilai-nilai dan prinsip hidupnya sebagai aktivis perempuan memiliki pengaruh yang cukup besar dalam perjalanan kariernya.
“Lingkungan kita itu sangat mudah terpengaruh oleh faktor-faktor dari luar. Jadi menurut saya cukup bahaya ketika ada film yang melanggengkan stereotip patriarki yang justru merugikan perempuan. Saya enggak mau jadi bagian dari itu. Makanya saya berusaha untuk memilih peran yang sebisa mungkin memberikan perspektif berbeda dari seorang perempuan atau setidaknya menunjukkan kekuatan dari seorang perempuan. Bukan menunjukkan sesuatu yang akan merugikan kelompok saya. Itu yang saya usaha lakukan dalam berkarier,” tuturnya.
Hal ini ia terapkan langsung saat akan membintangi karakter Sophie dalam film Warkop DKI Reborn (2016) garapan Rako Prijanto. Hannah berdiskusi langsung dengan Indro, aktor senior dan pemain film-film Warkop terdahulu. Ia mengungkapkan bahwa dirinya ingin menghadirkan karakter Warkop Angel (sebutan untuk pemain perempuan di film Warkop DKI) yang berbeda dari sebelum-sebelumnya. Sebab dulunya film tersebut sangat identik dengan sexist jokes yang tidak ramah perempuan.
“Saya ingin menciptakan image Warkop Angel yang baru dan ketika berdiskusi dengan Indro, dia juga setuju dengan usulan saya. Bahwa zamannya sudah berubah dan sexist jokes itu sudah tidak relate lagi. Jadi karakter Sophie yang saya perankan itu tidak lagi menampilkan perempuan seksi yang menggoda, tetapi saya berusaha menonjolkan sisi positif lainnya dari Sophie,” jelasnya.
Berani Bersuara Bukan karena Status Selebriti
Bicara soal film, Hannah sendiri sebenarnya tidak setuju jika film dijadikan sebagai platform untuk mengedukasi. Sebab menurutnya film hanya menyampaikan sebuah cerita. Jika penonton bisa memetik hal positif dari situ, itu merupakan sebuah bonus.
Hanya saja Hannah merasa cukup beruntung karena dengan profesi yang dijalani saat ini, ia jadi memiliki platform untuk menyuarakan apa yang ingin ia sampaikan, yaitu soal pentingnya melek terhadap isu-isu perempuan seperti pelecehan seksual dan kesetaraan gender.
Namun jika ditanya apakah keberaniannya untuk bersuara ini datang karena ‘power’ dari profesinya, Hannah sama sekali tidak setuju.
“Saya bisa berani berbicara soal isu-isu perempuan bukan karena pekerjaan yang saya jalani saat ini, namun karena saya mengenal banyak sekali perempuan di industri saya yang pernah mengalami sexual harassment tapi tidak berani bilang. Jadi karena kita bekerja di industri ini bukan berarti kita punya keistimewaan atau privilege bahwa kita akan lebih berani, terbuka, dan lebih teredukasi soal isu-isu ini. Karena dalam pengalaman saya, itu sama sekali tidak terjadi. Malah menurut saya karena judgment pada public figure itu lebih gila lagi dan membuka peluang lebih besar untuk dihujat, makanya tidak banyak yang berani bicara,” ungkap Hannah.
Menurut Hannah, menyuarakan isu-isu perempuan itu memang bukanlah hal yang mudah. Sebab keberanian saja tidak cukup. Kita juga harus bisa memanfaatkan apa yang kita miliki untuk membicarakan sesuatu yang nantinya membawa perubahan positif.
“Saya melakukan ini bukan karena pekerjaan saya, tapi saya merasa punya moral obligation atau social obligation untuk melakukan sesuatu yang baik. Jadi setidaknya lewat pengalaman dan networking, saya jadi bisa banyak belajar untuk menjadi agent yang bagus. Kalau saya membicarakan sesuatu yang saya tidak tahu, walaupun itu baik, tapi pasti tidak otentik dan saya tidak menjiwainya. Tapi kalau soal isu ini (isu perempuan), I live and breathe it everyday karena saya adalah seorang perempuan,” ungkapnya.
Oleh karena itu, ia terus aktif dan banyak melakukan kolaborasi bersama dengan organisasi maupun rekan-rekan yang juga memperjuangkan hak-hak perempuan. Ia banyak terlibat dalam kampanye-kampanye besar seperti 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan mendukung kesejahteraan anak-anak perempuan lewat kolaborasinya dengan Yayasan Plan International Indonesia dalam acara diskusi Summit on Girls awal Desember lalu. Tapi satu hal yang perlu diingat menurut Hannah, jika kita menginginkan perubahan semuanya harus dimulai dari diri kita sendiri.
Sebab ia yakin, untuk menghadirkan perubahan kita harus mulai dari diri sendiri dan banyak menyebarkan hal positif terhadap lingkungan sekitar. “Kita tidak bisa menunggu orang lain mengubahnya, jadi kita memang harus aktif dalam membuat perubahan yang positif. Jadi karena itu saya berani,” tegas Hannah Al Rashid menutup pembicaraan.