Self-Love Bisa Jadi Negatif, Apa Ciri-cirinya?

16 Januari 2020 16:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi perempuan bahagia karena melakukan self-love. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan bahagia karena melakukan self-love. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Beberapa tahun belakangan, kita mungkin kerap mendengar ajakan untuk melakukan self-love atau mencintai diri sendiri. Artinya, kita diajak untuk menerima kekurangan sekaligus kelebihan diri, sembari terus berusaha mengembangkan diri menuju arah yang lebih positif.
ADVERTISEMENT
Namun, sebuah pertanyaan muncul seiring dengan meningkatnya ajakan untuk melakukan self-love. Sebenarnya, bagaimanakah cara untuk mencintai diri sendiri? Kemudian, apakah ada batasan yang membedakan antara self-love—menerima kekurangan diri—dengan bersikap tidak bertanggungjawab?
Kepada kumparanWOMAN, psikolog klinis, Tara de Thouars, menjawab bahwa praktik self-love sebenarnya sama dengan apa yang kita lakukan saat mencintai orang lain.
“Analoginya, kalau kita cinta kepada orang lain, maka kita akan menerima orang itu apa adanya. Kalau orang yang dicintai berbuat salah, pasti akan dimaafkan. Kalau mereka merasa buruk atau kurang, pasti akan kita angkat. Ini adalah konsep yang sama, hanya saja dilakukan kepada diri sendiri,” tutur Tara saat dihubungi melalui WhatsApp pada Rabu (15/1).
Ilustrasi perempuan bahagia karena self-love. Foto: Shutterstock
Lebih lanjut, psikolog yang bekerja di RSJ Sanatorium Dharmawangsa ini menjelaskan, self-love bisa kita lakukan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam mencintai bentuk tubuh, mengejar prestasi, membina hubungan dengan pasangan, maupun membangun karier. Syaratnya, kita harus bisa menerima hal-hal yang tak bisa diubah dalam diri, sembari berusaha memperbaiki hal-hal yang bisa diubah, dengan tujuan yang positif, wajar, dan tidak melanggar norma.
ADVERTISEMENT
Namun, dalam melakukan self-love, kita tidak boleh sampai merugikan orang lain atau justru merugikan diri sendiri. Bila melakukannya, bisa jadi sebenarnya kita bukan sedang mencoba mencintai diri sendiri.
“Jika ternyata memberikan pengaruh buruk, maka itu bukan self-love. Kita (justru) sedang melakukan kompensasi yang berlebihan dalam menerima diri sendiri. Biasanya, antara jadi self-obsessed (terobsesi kepada diri sendiri) atau self-denial (mengabaikan kekurangan dalam diri),” sebut Tara.
Ilustrasi perempuan tak bahagia. Foto: Shutterstock
Tara menjelaskan, ada beberapa contoh dari tindakan yang bukan merupakan self-love. Misal, mempersilakan diri sendiri untuk makan apa saja sebagai tanda cinta, meskipun orang ini sebenarnya menderita obesitas. Ada juga orang yang sama sekali tidak mau mendengarkan kata orang lain, merasa segala hal harus sesuai dengan kemauannya dengan mengatasnamakan 'memprioritaskan diri'.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks karier, ada beberapa ciri-ciri orang yang tidak melakukan self-love. Di antaranya, dengan bekerja terlalu keras dan tidak merasa bahagia, lantaran terobsesi menjadi sukses. Meski bekerja keras ada baiknya, bisa jadi, itu adalah cara seseorang untuk melakukan kompensasi terhadap kekurangan yang ada. Di sisi lain, ada juga orang yang terlalu santai dan melakukan self-denial dalam pekerjaan. Padahal, sebenarnya, dia ingin bekerja keras dan menghasilkan yang terbaik.
Maka, Tara kembali menegaskan bahwa self-love adalah tindakan mencintai diri sendiri yang berada di tengah-tengah. Dalam artian, ini tidak dilakukan sembari mengabaikan kenyataan, juga tidak dilakukan dengan mengabaikan kepentingan diri sendiri dan orang lain.
Cinta yang sesungguhnya tidak pernah merugikan dan tidak pernah menyakiti. Jadi, jika kita menyakiti dan merugikan (diri sendiri ataupun orang lain), itu namanya bukan cinta tapi mengatasnamakan cinta,” tegas Tara.
ADVERTISEMENT
Bagaimana menurut Anda, Ladies?