UN Women Ungkap Kemiskinan Jadi Sebab Jutaan Perempuan Tak Bisa Beli Pembalut

29 Mei 2024 13:30 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
UN Women ungkap kemiskinan jadi penyebab perempuan tak bisa beli pembalut. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
UN Women ungkap kemiskinan jadi penyebab perempuan tak bisa beli pembalut. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ladies, 28 Mei diperingati sebagai Menstrual Hygiene Day atau Hari Kebersihan Menstruasi setiap tahunnya. Kali ini kita diajak untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan ramah bagi perempuan yang menstruasi lewat kampanye bertajuk “Together for a #PeriodFriendlyWorld.”
ADVERTISEMENT
Dikutip dari laman resmi Menstrual Hygiene Day, tema kampanye ini bertujuan untuk menghapus stigma dan pandangan tabu tentang menstruasi dari lingkungan perempuan. Kemudian setiap perempuan memiliki akses terhadap edukasi menstruasi, fasilitas seperti toilet yang layak, hingga produk menstruasi berkualitas yaitu kebutuhan pembalut.
Sayangnya, masih banyak perempuan dewasa dan remaja di belahan dunia ini yang nyatanya tidak memiliki akses yang layak untuk menjangkau salah satu kebutuhan primer mereka saat menstruasi datang. Hal ini terjadi karena banyak perempuan mengalami period poverty alias kemiskinan menstruasi.

Jutaan perempuan miskin tak bisa beli pembalut

Ilustrasi sakit perut menstruasi. Foto: sitthiphong/Shutterstock
UN Women melansir, kemiskinan menstruasi merupakan kondisi di mana adanya ketidakmampuan perempuan dan anak perempuan di dunia dalam mengakses produk-produk menstruasi seperti pembalut, fasilitas sanitasi, kebersihan, hingga edukasi soal kesadaran untuk mengelola kesehatan menstruasi. Hal ini dialami oleh jutaan perempuan dan anak perempuan sehingga dapat mengganggu kehidupan, hak, dan kebebasan mereka.
ADVERTISEMENT
Adanya stigma yang sudah menahun, mahalnya harga produk menstruasi, kurangnya fasilitas, dan sanitasi menjadi penyebab utama kemiskinan menstruasi di dunia. Salah satu yang paling dirasakan adalah adanya kebijakan yang dianggap buta gender dan undang-undang perpajakan di beberapa negara yang menerapkan pink tax alias pajak untuk produk feminin.
Sebut saja di beberapa negara bagian Amerika Serikat, ada produk bernama Viagra yang fungsinya untuk disfungsi ereksi justru diklasifikasikan sebagai produk bebas pajak, sementara produk sanitasi dikategorikan sebagai barang mewah yang kena pajak tinggi. Kemudian di Lebanon –selama krisis ekonomi 2020– harga pembalut dan produk sanitasi lainnya meningkat 98–234 persen yang membuat 66 persen perempuan tidak mampu membelinya saat menstruasi.
Kemiskinan menstruasi ini merupakan masalah kesehatan global yang memengaruhi perempuan di negara kaya atau pun miskin. Produk yang digunakan perempuan untuk mengatasi menstruasi sangat lah bervariasi, tergantung kepada pendapatan dan di mana mereka tinggal.
ADVERTISEMENT
Contohnya, di Bangladesh, Mesir, India, Madagaskar, dan Zimbabwe, perempuan yang tinggal di perkotaan cenderung menggunakan pembalut daripada mereka di pedesaan yang memakai kain. Kemudian menurut data UNICEF, satu dari lima perempuan di pedesaan Ethiopia bahkan tidak mampu menggunakan keduanya.
Survei yang dilakukan oleh Plan International di Inggris pada tahun 2020 juga menunjukkan bahwa 3 dari 10 anak perempuan di Inggris kesulitan membeli atau mengakses pembalut dan lebih memilih untuk menggunakan tisu toilet. Sementara itu, satu dari empat remaja perempuan di Amerika Serikat dan satu dari tiga perempuan dewasa tidak mampu membeli produk menstruasi, terutama mereka yang merupakan bagian dari rumah tangga berpendapatan rendah.

Stigma, diskriminasi, dan mitos menstruasi yang masih menghantui perempuan

Stigma, diskriminasi, dan mitos menstruasi pada perempuan. Foto: Shutterstock
Menurut data WHO, lebih dari 2 miliar perempuan di dunia mengalami menstruasi setiap bulannya, namun 1,5 miliar dari mereka masih kekurangan sanitasi dasar seperti toilet pribadi. Tidak tersedianya akses terhadap toilet yang dikelola dengan aman membuat banyak anak perempuan terpaksa tidak sekolah dan perempuan dewasa tidak bekerja selama menstruasi. Setidaknya, 1 dari 10 perempuan di dunia, terutama yang tinggal di pedesaan di 12 negara tidak memiliki tempat privat untuk mandi atau berganti pakaian saat menstruasi.
ADVERTISEMENT
Kemiskinan menstruasi juga diperparah oleh stigma dan minimnya informasi serta edukasi. Jadi, bukan perempuan yang minim kesadaran atau tidak siap dalam menghadapi menstruasi, melainkan pihak-pihak di sekolah dan tempat kerja lah yang tidak memiliki pendidikan menstruasi yang komprehensif sehingga ada ketidakmampuan untuk memberikan lingkungan yang aman bagi perempuan saat menstruasi.
Stigma dan diskriminasi meningkat terutama di wilayah masyarakat dengan norma dan budaya yang justru merugikan perempuan. Masih dikutip dari UN Women, di beberapa belahan dunia –hingga saat ini– perempuan yang sedang menstruasi dipandang kotor sehingga tidak boleh disentuh, yang kemudian membatasi pergerakan dan akses mereka terhadap ruang. Belum lagi adanya mitos bahwa perempuan menstruasi tidak boleh menyentuh makanan tertentu karena dikhawatirkan akan membusuk, dilarang memasuki tempat ibadah, bahkan hingga keharusan untuk isolasi diri selama periode menstruasi.
ADVERTISEMENT