Konten dari Pengguna

Survei Tim Gender dan Politik BRIN: Aktivis Perempuan Rentan Mengalami Kekerasan

Kurniawati Hastuti Dewi
Kurniawati Hastuti Dewi adalah peneliti senior di Pusat Riset Politik LIPI, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Minat penelitiannya pada bidang gender dan politik, perempuan dan politik. Ia mendirikan Tim Gender dan Politik LIPI/BRIN.
26 November 2024 15:22 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kurniawati Hastuti Dewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menurut Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), kekerasan terhadap perempuan masih menjadi salah satu pelanggaran hak asasi manusia yang paling umum dan meluas. Tahun 2024 ini menandai 25 tahun sejak dicanangkannya Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan oleh PBB. Untuk terus mengingatkan komitmen global penghapusan kekerasan terhadap perempuan, seluruh penjuru dunia menggelar kampanye 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan yang berlangsung mulai 25 November yang merupakan Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan hingga 10 Desember yang merupakan Hari HAM Internasional.
ADVERTISEMENT
Tulisan saya terdahulu di kumparan.com berjudul Pilkada dan Ancaman Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Politik memaparkan berbagai jenis kekerasan yang dapat menimpa politisi dalam kontestasi politik elektoral termasuk Pilkada Serentak 2024. Sebagai lanjutan tulisan terdahulu, dan dalam rangkaian kampanye 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan. Maka, tulisan ini memaparkan bagian kedua dari hasil survei daring oleh Tim Gender dan Politik BRIN (yang terdiri dari Kurniawati Hastuti Dewi, Ari Purwanto Sarwo Prasojo, Ade Latifa, Wahyu Prasetyawan, Nur Iman Subono) terhadap 283 perempuan aktivis/anggota ornop perempuan (organisasi non-pemerintah perempuan) berusia 21 tahun/lebih, di 30 Provinsi yang dilakukan menjelang Pemilu 2024 yaitu pada Juni 2023.
Survei tersebut menanyakan pandangan dan pengalaman mereka mengenai kekerasan terhadap perempuan dalam politik. Survei daring dipandu dengan 5 tipologi kekerasan terhadap perempuan dalam politik (violence againts women in politics, disingkat VAWP) yang dikemukakan oleh Krook (2020) yang meliputi: kekerasan fisik, psikologis, seksual, ekonomi, semiotika. Krook (2020) memberikan contoh kekerasan terhadap perempuan dalam politik elektoral. Kemudian, tim Gender dan Politik BRIN membuka cakrawala pandang yang lebih baru dan luas untuk menelisik kekerasan terhadap perempuan dalam politik non-elektoral pada lingkup politik sehari-hari atau daily politics.
ADVERTISEMENT
Hal ini didasarakan pada posisi Tim Peneliti yang mengacu pada konsep partisipasi politik dalam perspektif radikal atau “radical perspective” sebagaimana dikemukakan Pippa Norris (Norriss 1991, 56) yang mengajak untuk mengalihkan perhatian kita yang umumnya fokus pada partisipasi politik elektoral, ke aktivitas politik yang lebih luas terutama asosiasi komunitas yang lebih ad hoc, organisasi sukarela dan kelompok-kelompok yang relatif tidak terstruktur, di mana perempuan pada umumnya banyak aktif dalam kegiatan tersebut.
Atas dasar itulah, Tim Peneliti melakukan survei di ranah politik non-elektoral, di mana para perempuan aktif melakukan berbagai kegiatan di masyarakat yang sebenarnya merupakan aktivitas politik. Dua Gambar di bawah ini mengilustrasikan hasil survei dalam ranah politik non-elektoral.
ADVERTISEMENT
Gambar 1. Pendapat tentang VAWP untuk Politik Non-elektoral
Sumber: Hasil Survei Tim Gender dan Politik BRIN, 2023
Gambar 1 menyajikan hasil survei yang menggambarkan tingkat pemahaman responden yang merupakan aktivis perempuan mengenai berbagai tindakan yang dianggap sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam konteks politik non-elektoral. Hasil survei memperlihatkan sebagian besar responden menyadari dan setuju bahwa kelima jenis tindakan yaitu: i) menyebarkan fitnah yang merugikan perempuan (kekerasan semiotika), ii) perusakan sumber nafkah (kekerasan ekonomi), iii) kekerasan seksual dengan berbagai macam bentuknya, iv) hujatan dari laki-laki atau perempuan (kekerasan psikologis), dan v) kekerasan fisik, termasuk dalam bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam politik sehari-hari (daily politics).
ADVERTISEMENT
Lalu, di antara 5 jenis tindakan, kekerasan fisik dari laki-laki karena perempuan berpartisipasi dalam masyarakat menjadi hal yang paling tinggi disadari sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam politik, di mana hanya 12,37% yang tidak setuju (mencakup sangat tidak setuju dan setuju) bahwa tindakan ini merupakan kekerasan terhadap perempuan dalam politik sehari-hari.
Gambar 2. Pengalaman VAWP untuk Politik Non-elektoral
Sumber: Hasil Survei Tim Gender dan Politik BRIN, 2023
Gambar 2 menyajikan pengalaman VAWP untuk ranah politik non-elektoral. Hasil survei memperlihatkan bahwa hujatan psikologis dari laki-laki karena perempuan berpartisipasi dalam masyarakat menjadi peristiwa yang paling banyak dialami oleh para aktivis/anggota ornop perempuan. Sebanyak 27,21% responden melaporkan kadang-kadang mengalami, 7,42% sering mengalami, dan 3,53% selalu mengalami. Ini menandakan bahwa kekerasan psikologis cukup sering terjadi menimpa para aktivis anggota ornop perempuan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Selain itu, fitnah yang merugikan karena perempuan berpartisipasi dalam masyarakat menjadi peristiwa berikutnya yang banyak dialami oleh aktivis/anggota ornop perempuan responden. Sekitar 23,6% responden melaporkan kadang-kadang mengalami, 7% sering mengalami, dan 2,4% selalu mengalami. Ini menyiratkan bahwa kekerasan semiotika juga cukup sering terjadi dalam ranah politik sehari-hari.
Selain kedua jenis peristiwa tersebut, kekerasan fisik menjadi peristiwa berikutnya yang juga cukup sering terjadi dan dialami oleh para aktivis/anggota ornop perempuan. Survei Tim Gender dan Politik BRIN memperlihatkan adanya 3 besar risiko tindakan kekerasan terhadap perempuan dalam politik non-elektoral atau politik sehari-hari yang kerapkali dialami para aktivis/anggota ornop perempuan, yakni kekerasan psikologis, kekerasan semiotika, dan kekerasan fisik.
Hasil survei Tim Gender dan Politik BRIN memperlihatkan aktivis perempuan rentan mengalami kekerasan. Data di atas memperlihatkan hujatan psikologis dari laki-laki karena perempuan berpartisipasi dalam masyarakat menjadi peristiwa yang paling banyak dialami oleh para aktivis/anggota ornop perempuan. Ini mengindikasikan masih adanya pekerjaan rumah besar untuk membongkar pola pikir patriarki yang mendiskriminasikan keberadaan dan suara perempuan dalam berkiprah di masyarakat. Hal ini senada dengan catatan UN WOMEN (2014, 46) yang melakukan riset terhadap beberapa faktor yang menjadi penyebab kekerasan terhadap perempuan dalam politik di India, Nepal, dan Pakistan di antaranya dipicu oleh diskriminasi gender dan pola pikir patriarki.
ADVERTISEMENT
Kekerasan terhadap perempuan tidak pandang kelas sosial kaya atau miskin, karena persoalan ini dapat menimpa perempuan dari latar belakang apa saja termasuk aktivis perempuan. Sebagai contoh nyata, para aktivis dan jurnalis perempuan seringkali dihadapkan dengan berbagai ancaman yang mengancam kesejahteraan dan keselamatan mereka.
Pastinya, dibutuhkan komitmen, solidaritas, gerakan lintas organisasi, serta kolaborasi multipihak untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan. Mari bersama sama menyadari bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak hanya dapat terjadi di ranah politik elektoral seperti Pilkada Serentak saat ini seperti narasi seksis dalam kampanye, tetapi kerap terjadi di ranah politik sehari-hari sebagaimana data yang disajikan oleh Tim Gender dan Politik BRIN. Yuk mari terus kita kawal!